Kanthong, seorang pria kurus dengan tinggi badan 155 cm, usil, anak tetangga rumah yang jadi sohibku sejak kanak-kanak, sifatnya yang penakut sehingga jarang sekali melaksanakan setiap hajatnya tanpa seorang teman.
Kulit hitam rambut keriting tampang mirip Rully Nere yang pemain bola (aku dan dia juga hobi bola).
Pak Dwi, pria ganteng dengan tinggi badan sekitar 170 cm, guru STM Swasta di kotaku, lulusan FKIP di kota Yogya, kulit putih, ramah (rajin menjamah;-p), punya dedikasi tinggi dalam mengajar (yang aku lihat dari luar).
Ibu Ning, istri pak guru, perawakan sedang dengan satu anak, jadi belum begitu mekar, kulit sawo matang, muka mirip Sherly Malinton dan potongan rambutnyapun seperti dia. Orangnya supel, enak diajak bicara, keluaran Universitas terkenal di kota Yogya jurusan Teknik mesin, mengajar di STM Negeri di kotaku.
Nunik, adik bu Guru yang punya perawakan sintal, dan wajah mirip sekali dengan kakaknya, Kelas 3 SMEA Swasta, murah senyum, mudah bergaul, jarang terlihat marah.
Genduk, pembantu rumah tangga pak guru, orangnya putih, tinggi 155 cm, wajah tidak cantik tapi enak dipandang, pengasuh anak yang baik.
Aku, pria dengan tinggi 178 cm berat badan 55 kg, julukanku si ceking (maklum krempeng sih), aku bukan seorang Superman atau Hercules yang ada di cerita mimpi, aku dilahirkan dengan nama Onorus yang aku nggak pernah tahu apa artinya. Masa bodo yang penting punya nama. Aku saat ini baru kelas 1 SMA Negeri yang jauhnya 7 Km dari rumah Nenekku (rumah yang aku tinggali).
***
Pagi ini aku sudah menyelesaikan karya tulisku yang akan aku serahkan ke panitia lomba karya tulis ilmiah di sekolahku.
Seperti biasa, aku jalan kaki dari rumah ke selter angkot yang akan membawaku ke terminal kota G tempat sekolahku. Aku gunakan jalan pintas, aku menyeberang jalan di depan rumahku trus masuk pekarangan pak Dwi dan lewat samping rumah pak Dwi kemudian lewat pinggir-pinggir rumah orang kampung Sudagaran. Sekitar 200 meter melangkah aku lihat Ani dakocan (abis mukanya imut-imut kaya boneka) sudah menunggu aku (kalau sempat pengalamanku dengan Ani akan aku tulis nanti).
"Pagi can, gimana tidurmu semalam, mimpi tentang aku?" tanyaku setiap pagi saat bertemu akan berangkat sekolah.
"Pasti dong, tidurku nyenyak. Setiap malam dan malam ini sama dengan malam kemarin, aku mimpi indah bersamamu," sahutnya. Dan kami tersenyum kemudian tertawa berdua.
Ani, salah seorang sahabatku dari kelas 1 SD. Jadi di antara kami selalu ada kemesraan. Namun kali ini tidak akan aku ceritakan tentang dia.
Sesampai di selter sudah banyak teman yang menunggu angkot. Jam 07.05 wib kami sudah sampai di sekolah. Tanpa menyia-nyiakan waktu, setelah aku ambil karya tulisku, tas aku masukkan ke laci mejaku dan aku berlari kecil ke ruang panitia lomba. Di sana sudah ada mbak Marlina, yang cantik (menurutku) yang selalu menunggu karya-karya tulis yang akan diseleksi.
"Sudah selesai On, karya tulismu?" tanyanya.
"Sudah mbak," jawabku sambil menyodorkan hasil karya tulisku. Sambil aku menunggu mbak Marlina membaca ringkasan karya tulisku, aku mulai iseng menaksir berapa besar bra yang dipakai. Ah, paling nggak lebih dari 34.
[Komentar Wiro: Banyak lelaki yang salah paham dengan ukuran bra. Angka 34 bukan berarti ukuran buah dada, tapi ukuran lingkar dada. Sedangkan ukuran buah dada ditentukan oleh huruf di belakang angka tersebut (sering disebut ukuran cup). Huruf A untuk buah dada yang terkecil (sekepalan tangan anak SLTP), menyusul kemudian B (telapak tangan hampir sulit menutupi seluruh permukaannya), dan C paling besar (sebesar buah kelapa, ha ha ha). Contoh: Buah dada wanita yang menggunakan BH berukuran 34A lebih kecil daripada buah dada wanita yang menggunakan ukuran BH 34B.]
"Apanya On yang tiga empat?"
Wah gawat nih. Tanpa sadar aku terloncat kata sambil membayangkan nomor bra.
"Enggak, enggak mbak, saya cuma mau bilang pada hitungan ke empat saya mau kembali ke kelas kalau tidak ada yang mesti saya tunggu."
"Oh, gitu."
Aku ngeloyor pergi. Belum lima langkah aku menjauh mbak Marlina memanggil. "On, On, kemari dulu."
"Ada apa mbak?" tanyaku.
"Karya tulismu mustinya diketik, jangan pake tulisan tangan kayak begini. Kacau deh nanti kalau juri mau kasih nilai. Mana tulisan kamu kayak sandi rumput". [Wiro: Gue ingat waktu Pramuka dulu gue harus ngapalin Morse supaya bisa baca sandi rumput. Hm, masa kecil yang indah.]
Wah, alamat aku nggak keburu nih ikutan lomba, padahal waktu tinggal 2 minggu lagi. Aku kan nggak bisa ngetik, trus ke mana akan aku ketikkan karya tulis ini. Pulang sambil terus muter kapala, di mana aku harus ngetik, siapa yang harus aku mintai tolong.
"Dik, jalan kok sambil melamun."
"Eh, maaf mbak Nunik saya nggak liat, maaf ya mbak. Oon numpang lewat ya mbak," kataku gugup karena biasanya aku lewat nggak pernah ada orang di pintu samping.
"Tunggu dik Oon."
Aku menghentikan langkahku.
"Sini dulu dong."
"Ya, mbak."
"Apa yang dik Oon lamunin sih, kayaknya serius banget sampe-sampe mbak ada di pintu nggak lihat," tanyanya.
"Anu mbak, saya lagi bingung. Karya tulisku harus diketik sedang aku kan nggak bisa ngetik."
"Gini aja deh, nanti malam mbak tunggu karya tulisnya."
"Terima kasih mbak." Aku nggak berani kasih sekarang, kan nggak etis, kan dia menawarkannya nanti malam.
***
Jam 8 malam aku bawa karya tulisku ke seberang jalan, ke rumah pak Dwi.
"Siapa?" terdengan suara mbak Nunik dari dalam setelah pintu aku ketuk 3 kali.
"Saya mbak," jawabku.
"Masuk aja dik, pintunya nggak dikunci. Duduk dulu ya dik." Ternyata mbak Nunik masih di rumah dalam.
Aku masuk kemudian duduk. Rumah ini rumah kuno yang dari kecil aku nggak berani masuk rumah ini sendirian. Abis kata orang rumah
ini angker. Bulu kudukku meremang berdiri, Dingin juga dalam rumah ini. Serem. Kenapa kok orang-orang ini betah tinggal di sini, padahal sejak anak beranak yang punya rumah ini meninggal, rumah ini lama sekali tak berpenghuni. Kalau malam aku nggak berani lewat samping rumahnya, padahal ada lampu. Apalagi di dalam rumah sendirian, bisa mati berdiri.
"Kok ngelamun lagi?"
Jantungku seakan berhenti berdenyut karena rasa kagetku diperparah dengan pakaian yang mbak Nunik kenakan, baju terusan putih denga garis hitam tipis membujur.
"Kok bengong? Kaget ya, atau mbak menakutkan?" lanjutnya.
"Sedikit kaget mbak," jawabku nggak berani menatap mukanya. Aku takut tidak sedang berhadapan dengan mbak Nunik.
"Kok nunduk. Mana karya tulisnya?"
"Ini mbak." Barulah aku mendongak. Aku terpana sesaat. Ternyata bedanya mbak Nunik dengan kakaknya hanya warna kulitnya saja. Mbak Nunik tidak secoklat ibu Ning.
"Oke deh, mbak janji dalam waktu satu minggu karya tulismu selesai."
Dia berjanji menyelesaikan, setelah aku bacakan karya tulisku dan kapan aku musti harus mengumpulkannya.
"Saya pulang dulu mbak."
"Malam Minggu kok pulang cepet-cepet, baru jam sembilan."
"Kanthong udah nunggu di teras buat main gitar."
***
"On, pernah ngintip orang lagi kuda-kudaan belon?" tanya si Rully Kanthong Nerre sambil sejenak dia berhenti memetik gitarnya. Aku bukannya suci tapi kalau ngintip orang lagi begituan, aku takut kalau ketahuan. Lebih-lebih aku takut kalau aku malah kepingin. Trus nanti bagaimana, sedang aku ingin menjaga perjakaku sampai lulus sekolahku.
"On, denger nggak?" desaknya. Aku diam.
"On, aku doain kupingmu torek seumur umur."
"Eh, aku denger thong!"
"Nah gitu dong. Diajak ngomong kok cuma diem, sentil-sentil gitar mulu." Mungkin dia sebel kali.
"Iya emang siapa yang main, kok kamu intip?"
"Pak Dwi sama adik iparnya."
"hah! yang bener Thong."
"Kau sudah lihat pak Dwi pulang saat kau di sana?"
"Sudah ada di rumah kok."
"Bu Dwi kan siang tadi pulang ke Yogya sama Genduk dan si kecil, nah pasti malam ini kita punya malam Minggu yang panjang, sambil nonton live show. Jam berapa sekarang?"
Kacau juga nih Kanthong sohibku.
"Jam setengah sepuluh."
"Wah, pertunjukan pasti sudah dimulai."
Kami berkemas, kemudian berangkat 'berburu', istilah baru yang aku dapat dari sohib, senjata yang dia bawa 2 buah jarum kasur.
"Jangan berisik, jangan nafsu, jangan ..."
"Sudah, mau berangkat apa tidak?"
"Olesin bagian badanmu yang terbuka dengan remasan daun ini, untuk mengusir nyamuk yang suka ngeganggu orang lagi asik," dia nyerocos terus.
Sesampai di samping rumah pak Dwi (bukan yang biasa aku lewati), tepat di bawah jendela kamar tengah Aku dan Kanthong menaruh potongan kayu nangka yang diambil dari belakang rumah yang biasa dipakai duduk-duduk keluarga Dwi di sore hari.
Kanthong menusukkan jarum kasur yang dia bawa ke daun jendela kemudian menariknya. Ternyata seberkas cahaya lampu menerobos ke luar. Dia berikan isarat untuk memegang jarum dan sesuatu yang terbawa, kemudian dia mengambil jarum yang lain dan melakukan hal yang sama. Tanpa dikomando lagi aku dan dia melihat lewat celah yang ada di depan mata kami.
***
"Ach, mas jangan dimasukkan dulu, aku belum siap."
"Ngapain tadi Oon datang ke sini?"
"Ada order ngetik karya tulis."
"Berapa dia mau bayar?"
"Seratus lima puluh ribu rupiah."
"Ya sudah, nanti aku bantuin ngetiknya."
Sambil mataku terus mencari di sebelah mana asal suara di keremangan kamar yang jelas-jelas aku kenal suara itu, aku sambil mengingat-ingat kapan mbak Nunik minta bayaran Rp 150.000,-. Seingatku dia hanya mengatakan seminggu lagi pasti beres. Aku tidak menemukan jawaban di mataku. Kanthong membisikkan agar aku lebih konsentrasi agar bisa melihat.
"Nik, sebaiknya dinyalain aja ya?"
"Tapi aku malu mas."
"Ah, kau malu seperti baru pertama kalinya."
Sejenak aku melihat bayangan berjalan dan lampu menjadi terang. Aku meneguk liurku yang kering. Sempurna! Aku melihat dengan jelas mbak Nunik tergolek tanpa busana dengan tetek yang membusung menantang. Torpedo pak Dwi mencuat menantang. Dia naik ke ranjang. Aku lihat dengan jelas tangannya meremas tetek kiri Nunik, yang diremas memejamkan mata sambil tangan kirinya menggapai torpedo pak Dwi.
"ough Nik, jangan terlalu keras."
Ciuman pak Dwi mendarat di putihnya tetek kanan Nunik. Oh, bukan ciuman, ternyata sedotan yang makin lama semakin rakus melahap tetek Nunik. Ah, Juniorku ikut-ikutan mengembang.
"Mas," desahan Nunik sayup-sayup sampai di telingaku.
Disusurinya belahan dada Nunik, turun ke perut dengan tangan kanannya tetap memerah gunung yang semakin mencuat. Tangan kanan Nunik sudah berada di bongkahan gunung sebelah kanan dan tangan kirinya menjambak rambut pak Dwi. Kini aku melihat betapa rimbunnya hutan yang berada di selangkangan Nunik saat kaki-kaki Nunik membentang. Kepala pak Dwi menyusup di antaranya. Aku nggak tahu apa yang diperbuat. Yang kini aku lihat Nunik begitu menikmati sambil kedua tangannya meremas sendiri kedua gunungnya.
"Ach mas, aku nggak tahan."
"Sekarang Nik?"
Pak Dwi mengambil sesuatu dari samping kepala Nunik, kemudian disobek dengan satu tangan dan mulutnya. Itukah yang namanya kondom? pikirku. Aku tidak tahu gimana cara pakainya. Yang kini aku lihat torpedo sudah terbungkus selaput tipis. Pak Dwi mengarahkan torpedonya sambil tangannya mengangkangkan kedua kaki Nunik. Hanya sekejap kemudian hilang tertelan memek Nunik.
pak Dwi diam sesaat. Nunik membuka matanya sambil terus memijit puting teteknya yang mencuat.
"Mas, kita dosa sama mbak Ning."
"Jangan berfikir dia kalau kita sedang begini, Nik."
Aku lihat pantat pak Dwi naik turun ibarat orang sedang memompa. Cukup lama aku melihat adegan ini, tiba-tiba mereka berguling dan Nunik ada di atas.
"Oh, Nik, nikmat sekali."
Tetek Nunik bergoyang seirama dengan naik turun badan dan rambutnya yang tergerai di punggungnya, menambah sensasi keindahan.
Aku melihat badan Nunik melengkung ke belakang. Juniorku makin keras dan makin terasa sakit karena himpitan jeans yang aku pakai. Selang beberapa lama.
"Nik, aku mau keluar Nik."
Nunik turun dari tempatnya kemudian tangan kirinya memegang pangkal torpedo pak Dwi dan tangan kanannya mengurut batang torpedo. Hap, seiring dengan tergulungnya kondom dan terlepas, mulut mungil Nunik langsung menyambar torpedo. Pak Dwi dengan sigap berdiri di atas tempat tidur dengan torpedo masih dalam kuluman Nunik. Kepala Nunik maju mundur sambil tangan kirinya mengendalikan kedalaman masuknya torpedo. Aku lihat ini karena tepat di samping mereka, aku tidak berkedip memandang keindahan tubuh Nunik.
"Ah, Nik. Aku mau keluar Nik!"
Aku tidak tahu nunik dengar atau tidak tapi aktivitasnya tidak berhenti. Pak Dwi aku lihat seperti orang terpanggang kaku kemudian.
"Oh Nik..."
Nunik berhenti sesaat seolah meneguk sesuatu, dan kembali beraktivitas. Pak Dwi terlentang kembali. Torpedo masih mencuat, kemudian Nunik kembali merangkak dan memasukkan torpedo ke memeknya dan dia berirama seolah sedang menggerus sesuatu dengan memeknya. Akhirnya Nunik tertelungkup diatas pak Dwi. Aku tidak mendengar lagi kata-kata yang saling dibisikkan.
***
"Ayo Thong kita pulang," bisikku pelan.
Dia mengangguk. Aku berjalan pulang yang hanya sekitar 50 meter dari rumah pak Dwi. Aku bayangkan gimana kalau aku yang main sama mbak Nunik, tapi aku masih terlalu hijau untuk itu, walau pas foto aku sudah pernah lakukan.
Di tembok jembatan rumahku dia masih sempet bilang sambil masing-masing pegang gitar.
"Ada satu Alu tiga Lumpang."
"Hah......???????"
Kulit hitam rambut keriting tampang mirip Rully Nere yang pemain bola (aku dan dia juga hobi bola).
Pak Dwi, pria ganteng dengan tinggi badan sekitar 170 cm, guru STM Swasta di kotaku, lulusan FKIP di kota Yogya, kulit putih, ramah (rajin menjamah;-p), punya dedikasi tinggi dalam mengajar (yang aku lihat dari luar).
Ibu Ning, istri pak guru, perawakan sedang dengan satu anak, jadi belum begitu mekar, kulit sawo matang, muka mirip Sherly Malinton dan potongan rambutnyapun seperti dia. Orangnya supel, enak diajak bicara, keluaran Universitas terkenal di kota Yogya jurusan Teknik mesin, mengajar di STM Negeri di kotaku.
Nunik, adik bu Guru yang punya perawakan sintal, dan wajah mirip sekali dengan kakaknya, Kelas 3 SMEA Swasta, murah senyum, mudah bergaul, jarang terlihat marah.
Genduk, pembantu rumah tangga pak guru, orangnya putih, tinggi 155 cm, wajah tidak cantik tapi enak dipandang, pengasuh anak yang baik.
Aku, pria dengan tinggi 178 cm berat badan 55 kg, julukanku si ceking (maklum krempeng sih), aku bukan seorang Superman atau Hercules yang ada di cerita mimpi, aku dilahirkan dengan nama Onorus yang aku nggak pernah tahu apa artinya. Masa bodo yang penting punya nama. Aku saat ini baru kelas 1 SMA Negeri yang jauhnya 7 Km dari rumah Nenekku (rumah yang aku tinggali).
***
Pagi ini aku sudah menyelesaikan karya tulisku yang akan aku serahkan ke panitia lomba karya tulis ilmiah di sekolahku.
Seperti biasa, aku jalan kaki dari rumah ke selter angkot yang akan membawaku ke terminal kota G tempat sekolahku. Aku gunakan jalan pintas, aku menyeberang jalan di depan rumahku trus masuk pekarangan pak Dwi dan lewat samping rumah pak Dwi kemudian lewat pinggir-pinggir rumah orang kampung Sudagaran. Sekitar 200 meter melangkah aku lihat Ani dakocan (abis mukanya imut-imut kaya boneka) sudah menunggu aku (kalau sempat pengalamanku dengan Ani akan aku tulis nanti).
"Pagi can, gimana tidurmu semalam, mimpi tentang aku?" tanyaku setiap pagi saat bertemu akan berangkat sekolah.
"Pasti dong, tidurku nyenyak. Setiap malam dan malam ini sama dengan malam kemarin, aku mimpi indah bersamamu," sahutnya. Dan kami tersenyum kemudian tertawa berdua.
Ani, salah seorang sahabatku dari kelas 1 SD. Jadi di antara kami selalu ada kemesraan. Namun kali ini tidak akan aku ceritakan tentang dia.
Sesampai di selter sudah banyak teman yang menunggu angkot. Jam 07.05 wib kami sudah sampai di sekolah. Tanpa menyia-nyiakan waktu, setelah aku ambil karya tulisku, tas aku masukkan ke laci mejaku dan aku berlari kecil ke ruang panitia lomba. Di sana sudah ada mbak Marlina, yang cantik (menurutku) yang selalu menunggu karya-karya tulis yang akan diseleksi.
"Sudah selesai On, karya tulismu?" tanyanya.
"Sudah mbak," jawabku sambil menyodorkan hasil karya tulisku. Sambil aku menunggu mbak Marlina membaca ringkasan karya tulisku, aku mulai iseng menaksir berapa besar bra yang dipakai. Ah, paling nggak lebih dari 34.
[Komentar Wiro: Banyak lelaki yang salah paham dengan ukuran bra. Angka 34 bukan berarti ukuran buah dada, tapi ukuran lingkar dada. Sedangkan ukuran buah dada ditentukan oleh huruf di belakang angka tersebut (sering disebut ukuran cup). Huruf A untuk buah dada yang terkecil (sekepalan tangan anak SLTP), menyusul kemudian B (telapak tangan hampir sulit menutupi seluruh permukaannya), dan C paling besar (sebesar buah kelapa, ha ha ha). Contoh: Buah dada wanita yang menggunakan BH berukuran 34A lebih kecil daripada buah dada wanita yang menggunakan ukuran BH 34B.]
"Apanya On yang tiga empat?"
Wah gawat nih. Tanpa sadar aku terloncat kata sambil membayangkan nomor bra.
"Enggak, enggak mbak, saya cuma mau bilang pada hitungan ke empat saya mau kembali ke kelas kalau tidak ada yang mesti saya tunggu."
"Oh, gitu."
Aku ngeloyor pergi. Belum lima langkah aku menjauh mbak Marlina memanggil. "On, On, kemari dulu."
"Ada apa mbak?" tanyaku.
"Karya tulismu mustinya diketik, jangan pake tulisan tangan kayak begini. Kacau deh nanti kalau juri mau kasih nilai. Mana tulisan kamu kayak sandi rumput". [Wiro: Gue ingat waktu Pramuka dulu gue harus ngapalin Morse supaya bisa baca sandi rumput. Hm, masa kecil yang indah.]
Wah, alamat aku nggak keburu nih ikutan lomba, padahal waktu tinggal 2 minggu lagi. Aku kan nggak bisa ngetik, trus ke mana akan aku ketikkan karya tulis ini. Pulang sambil terus muter kapala, di mana aku harus ngetik, siapa yang harus aku mintai tolong.
"Dik, jalan kok sambil melamun."
"Eh, maaf mbak Nunik saya nggak liat, maaf ya mbak. Oon numpang lewat ya mbak," kataku gugup karena biasanya aku lewat nggak pernah ada orang di pintu samping.
"Tunggu dik Oon."
Aku menghentikan langkahku.
"Sini dulu dong."
"Ya, mbak."
"Apa yang dik Oon lamunin sih, kayaknya serius banget sampe-sampe mbak ada di pintu nggak lihat," tanyanya.
"Anu mbak, saya lagi bingung. Karya tulisku harus diketik sedang aku kan nggak bisa ngetik."
"Gini aja deh, nanti malam mbak tunggu karya tulisnya."
"Terima kasih mbak." Aku nggak berani kasih sekarang, kan nggak etis, kan dia menawarkannya nanti malam.
***
Jam 8 malam aku bawa karya tulisku ke seberang jalan, ke rumah pak Dwi.
"Siapa?" terdengan suara mbak Nunik dari dalam setelah pintu aku ketuk 3 kali.
"Saya mbak," jawabku.
"Masuk aja dik, pintunya nggak dikunci. Duduk dulu ya dik." Ternyata mbak Nunik masih di rumah dalam.
Aku masuk kemudian duduk. Rumah ini rumah kuno yang dari kecil aku nggak berani masuk rumah ini sendirian. Abis kata orang rumah
ini angker. Bulu kudukku meremang berdiri, Dingin juga dalam rumah ini. Serem. Kenapa kok orang-orang ini betah tinggal di sini, padahal sejak anak beranak yang punya rumah ini meninggal, rumah ini lama sekali tak berpenghuni. Kalau malam aku nggak berani lewat samping rumahnya, padahal ada lampu. Apalagi di dalam rumah sendirian, bisa mati berdiri.
"Kok ngelamun lagi?"
Jantungku seakan berhenti berdenyut karena rasa kagetku diperparah dengan pakaian yang mbak Nunik kenakan, baju terusan putih denga garis hitam tipis membujur.
"Kok bengong? Kaget ya, atau mbak menakutkan?" lanjutnya.
"Sedikit kaget mbak," jawabku nggak berani menatap mukanya. Aku takut tidak sedang berhadapan dengan mbak Nunik.
"Kok nunduk. Mana karya tulisnya?"
"Ini mbak." Barulah aku mendongak. Aku terpana sesaat. Ternyata bedanya mbak Nunik dengan kakaknya hanya warna kulitnya saja. Mbak Nunik tidak secoklat ibu Ning.
"Oke deh, mbak janji dalam waktu satu minggu karya tulismu selesai."
Dia berjanji menyelesaikan, setelah aku bacakan karya tulisku dan kapan aku musti harus mengumpulkannya.
"Saya pulang dulu mbak."
"Malam Minggu kok pulang cepet-cepet, baru jam sembilan."
"Kanthong udah nunggu di teras buat main gitar."
***
"On, pernah ngintip orang lagi kuda-kudaan belon?" tanya si Rully Kanthong Nerre sambil sejenak dia berhenti memetik gitarnya. Aku bukannya suci tapi kalau ngintip orang lagi begituan, aku takut kalau ketahuan. Lebih-lebih aku takut kalau aku malah kepingin. Trus nanti bagaimana, sedang aku ingin menjaga perjakaku sampai lulus sekolahku.
"On, denger nggak?" desaknya. Aku diam.
"On, aku doain kupingmu torek seumur umur."
"Eh, aku denger thong!"
"Nah gitu dong. Diajak ngomong kok cuma diem, sentil-sentil gitar mulu." Mungkin dia sebel kali.
"Iya emang siapa yang main, kok kamu intip?"
"Pak Dwi sama adik iparnya."
"hah! yang bener Thong."
"Kau sudah lihat pak Dwi pulang saat kau di sana?"
"Sudah ada di rumah kok."
"Bu Dwi kan siang tadi pulang ke Yogya sama Genduk dan si kecil, nah pasti malam ini kita punya malam Minggu yang panjang, sambil nonton live show. Jam berapa sekarang?"
Kacau juga nih Kanthong sohibku.
"Jam setengah sepuluh."
"Wah, pertunjukan pasti sudah dimulai."
Kami berkemas, kemudian berangkat 'berburu', istilah baru yang aku dapat dari sohib, senjata yang dia bawa 2 buah jarum kasur.
"Jangan berisik, jangan nafsu, jangan ..."
"Sudah, mau berangkat apa tidak?"
"Olesin bagian badanmu yang terbuka dengan remasan daun ini, untuk mengusir nyamuk yang suka ngeganggu orang lagi asik," dia nyerocos terus.
Sesampai di samping rumah pak Dwi (bukan yang biasa aku lewati), tepat di bawah jendela kamar tengah Aku dan Kanthong menaruh potongan kayu nangka yang diambil dari belakang rumah yang biasa dipakai duduk-duduk keluarga Dwi di sore hari.
Kanthong menusukkan jarum kasur yang dia bawa ke daun jendela kemudian menariknya. Ternyata seberkas cahaya lampu menerobos ke luar. Dia berikan isarat untuk memegang jarum dan sesuatu yang terbawa, kemudian dia mengambil jarum yang lain dan melakukan hal yang sama. Tanpa dikomando lagi aku dan dia melihat lewat celah yang ada di depan mata kami.
***
"Ach, mas jangan dimasukkan dulu, aku belum siap."
"Ngapain tadi Oon datang ke sini?"
"Ada order ngetik karya tulis."
"Berapa dia mau bayar?"
"Seratus lima puluh ribu rupiah."
"Ya sudah, nanti aku bantuin ngetiknya."
Sambil mataku terus mencari di sebelah mana asal suara di keremangan kamar yang jelas-jelas aku kenal suara itu, aku sambil mengingat-ingat kapan mbak Nunik minta bayaran Rp 150.000,-. Seingatku dia hanya mengatakan seminggu lagi pasti beres. Aku tidak menemukan jawaban di mataku. Kanthong membisikkan agar aku lebih konsentrasi agar bisa melihat.
"Nik, sebaiknya dinyalain aja ya?"
"Tapi aku malu mas."
"Ah, kau malu seperti baru pertama kalinya."
Sejenak aku melihat bayangan berjalan dan lampu menjadi terang. Aku meneguk liurku yang kering. Sempurna! Aku melihat dengan jelas mbak Nunik tergolek tanpa busana dengan tetek yang membusung menantang. Torpedo pak Dwi mencuat menantang. Dia naik ke ranjang. Aku lihat dengan jelas tangannya meremas tetek kiri Nunik, yang diremas memejamkan mata sambil tangan kirinya menggapai torpedo pak Dwi.
"ough Nik, jangan terlalu keras."
Ciuman pak Dwi mendarat di putihnya tetek kanan Nunik. Oh, bukan ciuman, ternyata sedotan yang makin lama semakin rakus melahap tetek Nunik. Ah, Juniorku ikut-ikutan mengembang.
"Mas," desahan Nunik sayup-sayup sampai di telingaku.
Disusurinya belahan dada Nunik, turun ke perut dengan tangan kanannya tetap memerah gunung yang semakin mencuat. Tangan kanan Nunik sudah berada di bongkahan gunung sebelah kanan dan tangan kirinya menjambak rambut pak Dwi. Kini aku melihat betapa rimbunnya hutan yang berada di selangkangan Nunik saat kaki-kaki Nunik membentang. Kepala pak Dwi menyusup di antaranya. Aku nggak tahu apa yang diperbuat. Yang kini aku lihat Nunik begitu menikmati sambil kedua tangannya meremas sendiri kedua gunungnya.
"Ach mas, aku nggak tahan."
"Sekarang Nik?"
Pak Dwi mengambil sesuatu dari samping kepala Nunik, kemudian disobek dengan satu tangan dan mulutnya. Itukah yang namanya kondom? pikirku. Aku tidak tahu gimana cara pakainya. Yang kini aku lihat torpedo sudah terbungkus selaput tipis. Pak Dwi mengarahkan torpedonya sambil tangannya mengangkangkan kedua kaki Nunik. Hanya sekejap kemudian hilang tertelan memek Nunik.
pak Dwi diam sesaat. Nunik membuka matanya sambil terus memijit puting teteknya yang mencuat.
"Mas, kita dosa sama mbak Ning."
"Jangan berfikir dia kalau kita sedang begini, Nik."
Aku lihat pantat pak Dwi naik turun ibarat orang sedang memompa. Cukup lama aku melihat adegan ini, tiba-tiba mereka berguling dan Nunik ada di atas.
"Oh, Nik, nikmat sekali."
Tetek Nunik bergoyang seirama dengan naik turun badan dan rambutnya yang tergerai di punggungnya, menambah sensasi keindahan.
Aku melihat badan Nunik melengkung ke belakang. Juniorku makin keras dan makin terasa sakit karena himpitan jeans yang aku pakai. Selang beberapa lama.
"Nik, aku mau keluar Nik."
Nunik turun dari tempatnya kemudian tangan kirinya memegang pangkal torpedo pak Dwi dan tangan kanannya mengurut batang torpedo. Hap, seiring dengan tergulungnya kondom dan terlepas, mulut mungil Nunik langsung menyambar torpedo. Pak Dwi dengan sigap berdiri di atas tempat tidur dengan torpedo masih dalam kuluman Nunik. Kepala Nunik maju mundur sambil tangan kirinya mengendalikan kedalaman masuknya torpedo. Aku lihat ini karena tepat di samping mereka, aku tidak berkedip memandang keindahan tubuh Nunik.
"Ah, Nik. Aku mau keluar Nik!"
Aku tidak tahu nunik dengar atau tidak tapi aktivitasnya tidak berhenti. Pak Dwi aku lihat seperti orang terpanggang kaku kemudian.
"Oh Nik..."
Nunik berhenti sesaat seolah meneguk sesuatu, dan kembali beraktivitas. Pak Dwi terlentang kembali. Torpedo masih mencuat, kemudian Nunik kembali merangkak dan memasukkan torpedo ke memeknya dan dia berirama seolah sedang menggerus sesuatu dengan memeknya. Akhirnya Nunik tertelungkup diatas pak Dwi. Aku tidak mendengar lagi kata-kata yang saling dibisikkan.
***
"Ayo Thong kita pulang," bisikku pelan.
Dia mengangguk. Aku berjalan pulang yang hanya sekitar 50 meter dari rumah pak Dwi. Aku bayangkan gimana kalau aku yang main sama mbak Nunik, tapi aku masih terlalu hijau untuk itu, walau pas foto aku sudah pernah lakukan.
Di tembok jembatan rumahku dia masih sempet bilang sambil masing-masing pegang gitar.
"Ada satu Alu tiga Lumpang."
"Hah......???????"
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerita Dewasa /
Cerita Seks
dengan judul Cerita Dewasa - Satu Alu Dua Lumpang. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://belajartrikjitu.blogspot.com/2011/12/cerita-dewasa-satu-alu-dua-lumpang.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Monday, 5 December 2011
Belum ada komentar untuk "Cerita Dewasa - Satu Alu Dua Lumpang"
Post a Comment