Dangerous Game
Setelah pertandingan Denmark dan Senegal untuk piala dunia 2002 dengan skor 1-1, kita berangkat dengan menggunakan sebuah bus. Seminggu sebelumnya keberangkatan ini direncakan menggunakan kendaraan pribadi masing-masing. Oleh karena dirasa kurang kompak, dan rusaknya jalan pantura setelah Cikampek hingga sebelum Cirebon, serta kurangnya tempat parkir di tempat tujuan maka diputuskan untuk menggunakan sebuah bis saja.
Mudik kali ini bertujuan untuk mengikuti resepsi pernikahan saudara sepupu dari istri. Jadi bisa dibayangkan keluarga besar istri yang ada di Jakarta berangkat mudik dengan beberapa kali keberangkatan. Untuk para sesepuh ada yang diberangkatkan 3 hari sebelum kita berangkat, juga kerabat yang mempunyai peran penting dalam acara tersebut diberangkatkan sehari sebelum kita berangkat.
Aku sendiri berangkat tentunya dengan membawa istri dan anak-anakku. Kebetulan sekolah lagi diliburkan karena ada Ujian Akhir Nasional. Saat melakukan absensi sebelum keberangkatan ada beberapa orang yang tidak aku kenal, karena untuk keluarga dekat wajah-wajah tersebut tidak asing saat acara arisan keluarga setiap bulannya. Salah satunya sebut saja Linda, seorang Network Manager dari Multi Level Marketing sebuah bisnis dari Luar Negeri, tinggal di sekitar TMII. Salah seorang tante dari istriku bernama Lisye ternyata Sub-Network nya.
"Mas Budi, ini Jaketnya yah?" tanyanya, padahal aku tidak kenal dan belum berkenalan. Segera aku ambil jaketku yang tertinggal entah kapan dan di mana, seraya mengucapkan terima kasih. Manis juga, gigi taringnya ada yang ompong, bila tersenyum tampak manis. Dahi yang agak ke depan dengan rambut di high-light dengan warna coklat-kemerah-merahan, dan dikuncir kuda. Aku taksir berumur sekitar 30-35an, dari logatnya seperti orang jawa.
Dia duduk di kiri bangkuku bersama tante Lisye. Di dalam perjalanan beberapa kali dia melakukan kontak denganku, melalui tawaran permen atau makanan kecil lainnya. Beberapa kali pula mata istriku mengawasiku dari sebelah kananku.
Saat di Pemanukan, bis melakukan istirahat di sebuah rumah makan. Masih sempetnya dia menggodaku dengan menanyakan di mana letak toilet, padahal dengan jelas sekali tertulis kata toilet dengan arah panah. Tak berapa lama perjalan dilanjutkan, hari mulai gelap, lampu di dalam bus pun dimatikan. Esok pagi setelah subuh, kita sampai di tempat tujuan.
Hari Ke dua - Sampai tujuan dan jalan-jalan.
Beberapa orang dibagi penginapannya ke tetangga terdekat pemilik hajatan; sebetulnya tetangga tersebut masih kerabat dekat dengan keluarga istriku. Keluargaku beserta tante Lisye dan Linda dalam satu rumah.
Kemudian kita segera membersihkan diri. Takut keduluan aku segera menuju kamar mandi. Ternyata Linda dengan membawa cd, bra, dan kimono dari bahan handuk (kesemuanya bergambar donald duck - udah tua masih aja gila kartun!!) akan masuk ke dalam kamar mandi. Mengetahui bahwa aku akan mandi dia segera mengurungkan dan mempersilahkan diriku untuk duluan dengan alasan dia agak lama kalau mandi; maklum wanita katanya. Tawarannya aku terima. Saat aku masuk ke kamar mandi, dia permisi untuk mengambil pakaian dalamnya kecuali kimononya. Jadilah kita sesaat berdua di dalam kamar mandi. Takut terjadi pergunjingan segera aku keluar terlebih dahulu. Khan aku sedang di dalam kerajaan istriku. Bisa terjadi perang dunia kalau ada yang mengetahuinya.
Istirahat sebentar dan siap jalan-jalan sekitar kota.
Daerah ini jarang hujan. Walau demikian air sumur tidak begitu dalam, hanya 5 meteran, jarang terlihat mendung, selalu cerah dengan langit biru. Banyak tanah sawah retak-retak, sungai susut hanya tinggal seperti parit dengan air berwarna coklat. Bila malam langit cerah dan bermandikan bintang dan sinar bulan.
Bila siang panasnya cukup terik, dan malam sangat dingin. Tak satupun kartu ponsel yang dapat digunakan di daerah ini, No Signal. Warnet tidak ada, Wartel cukup jauh. Nampaknya daerah ini mengandalkan hutannya, karena pertanian hanya mengandalkan turunnya hujan yang lumayan jarang.
Aku perhatikan beberapa wanita belasan telah menjalani G2 (Gandeng-Gendong), alias telah memiliki dua anak, yang besar baru bisa berjalan sambil digandeng, satu lagi sedang digendong. Usia 20 tahun merupakan perawan tua di sini. Malah ada yang belum dapat haid telah melangsungkan pernikahan.
Pasarnya kecil sekali, berada di dekat stasiun kereta api, yang hanya dilalui kereta eksekutif tanpa berhenti, hanya berhenti untuk kereta barang yang digunakan untuk mengangkut penumpang antar stasiun kecil dengan jumlah kereta hanya sekitar empat gerbong.
Jarum jam di sini terkesan lambat sekali. Aku sudah banyak melakukan pekerjaan, tetapi waktu seakan lebih lambat dari Jakarta. Aku coba melakukan perjalan dengan naik becak keliling desa. Pulangnya aku naik dokar, kadang aku coba belajar menjalankan dokar.
Perekonomian di sini benar-benar sulit. Konyolnya banyak orang-orang tua yang menggadaikan sepeda, kain bahkan piring untuk memasang togel atau toto gelap. Aku tahu setelah naik dokar dan melewati tempat penggadaian, dan itu dijelaskan oleh pak kusir. Tak jauh dari situ seorang ibu dengan naik sepeda siap menulis nomor-nomor yang akan dipasang. Dia berlari menjemput bola masuk ke rumah-rumah penduduk.
Kalau di kota besar ada pengamen, di sini pun demikian. Pernah aku lihat suami istri mengamen dengan mengendarai sepeda. Suaminya naik sepeda dan berhenti di pinggir jalan yang terik sementara si istri keluar masuk halaman rumah penduduk yang berada di pinggir jalan. Keduanya menggunakan caping (topi yang biasa digunakan petani di sawah).
Bila masuk ke tempat jajan yang ada di emperan toko, tampak tulisan: "NGAMEN GRATIS", teguran halus khas Jawa. Mungkin di Jakarta, banyak tulisan `Dilarang Ngamen', di sini tidak dilarang tetapi tidak boleh meminta uang - khas Jawa, ngono yo ngono, ning ojo ngono.
(Masakan yang ada di tempat hajatan, tidak cocok dengan seleraku membuat aku hampir setiap pagi menjadi langganan nasi pecel, siang pecel lagi makan malam tahu lontong, kadang makan malam bersama tukang becak atau kusir dokar serta sarapan pagi dengan pedagang di pasar.)
Sementara aku keliling desa, tante serta Linda juga melakukan hal yang sama. Bedanya aku melihat suasana pedesaan, kalau mereka berdua melakukan penjualan barang-barang dari MLM mereka. Penjualan mereka berhasil akibat salah seorang sesepuh di desa itu sembuh dengan menggunakan obat dari MLM tersebut. Akibatnya cukup banyak permintaan dari beberapa orang dan berita menyebar hingga tetangga desa, walau harga lumayan mahal untuk ukuran daerah mereka - dibanding dengan biaya ke dokter atau dukun terdekat, belum lagi biaya obat atau sajen untuk dukunnya. Mungkin ini mengapa tante membawa Manager Network ke desa. Bener-bener "time is money".
Sepulang dari jalan-jalan, tenda dan sound system mulai dipasang, kemudian peralatan karawitan dipasang di panggung. Rencananya ada campursari serta musik dangdut dengan solo-organ dan gitar tunggal.
Saat istriku menemani keluarganya untuk belanja ke pasar, aku sendirian sambil menyaksikan pertandingan sepak bola antara Swedia-Nigeria yang berakhir dengan 2-1. Linda ikut menyaksikan sambil cerita tentang bisnisnya di Multi Level Marketing. Kemudian dilanjutkan dengan kisah pernikahannya yang sudah dijalani selama 10 tahun dan belum dikaruniai seorang anak. Menurutnya dia sudah melakukan test dengan hasil normal, sementara sang suami enggan untuk diperiksa.
Menurutnya kemungkinan karena si suami waktu semasa muda sering mengkonsumsi narkoba. Saat ini suaminya pengangguran dan hanya mengandalkan uang dari orangtuanya yang pensiunan dan cukup kaya dengan menunggu warisannya. Untuk mengisi kekosongangan dia melakukan bisnis di MLM.
Dia mengatakan sangat menginginkan anak. Dia berkata, "Mas Bud, menurut kamu aku lumayan langsing nggak?" tanyanya sambil menarik kancing jins nya ke depan dan menarik kaosnya ke atas. Nampaklah cd dan rambut halus berjejer antara puser ke bawah. Aduh si mbak ini mancingnya udah kelewatan, sudah tahu ini siang-siang panasnya minta ampun, udah lama nggak "keluar", rumah sepi, dari kemarin disuguhi kesempatan menarik. Untung kesabaran dan kesadaranku masih ada. Aku masih ingat ini ada di mana.
"Langsing," jawabku sambil melihat replay golnya Swedia. Dia mencoba membandingkan dengan milik istriku yang memang agak ke depan, walau telah berusaha melakukan senam. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan aku segera keluar rumah dan bergabung dengan tetangga lain yang sedang menonton bola. Selamat, Selamat, Selamat!
Saat malam, aku berkenalan dengan anak si empunya rumah, namanya Evie. Usianya baru 16 tahun, memiliki bayi berumur 6 bulan, nikah saat dia kelas 1 SLTA akibat kecelakaan. Wajahnya lumayan manis dan masih kecil. Suaminya pengangguran, sesekali kerja di kota, tetapi lebih banyak makan - tidur, dan mengandalkan mertua. Sang suami --Nanang namanya-- juga masih muda. Aku taksir umurnya belum 20 tahun.
Karena belum bisa memandikan bayi, maka yang melakukan adalah ibunya Evie; tante Ila namanya, sementara untuk mencuci pakaian bayi dan pakaian Evie dikerjakan bapaknya Evie, Oom Kartiko. Ibunya membersihkan rumah dan memasak. Ampun deh kalau aku punya anak dan mantu seperti ini.
Anehnya hingga hari ini aku belum pernah melihat mereka berdua mesra layaknya suami istri. Evie bila malam malah tidur dengan oom Kartiko di ruang tengah, karena kamar oom Kartiko serta kamar Evie digunakan oleh para tamu. Kalau siang malah Evie menghindar untuk bertemu suaminya, Nanang.
***
Hari ke tiga.
Setelah pagi hari acara pernikahan selesai, (dan) dilanjutkan dengan resepsi yang diiringi dengan musik karawitan. Malamnya dilanjutkan dengan hiburan dangdut. Yang gila bola tetap fokus pada pertandingan Italia-Kroasia, yang berakhir 1-2. Yang gila dangdut berjoget bersama di sekitar panggung.
Aku memilih melihat sepakbola sendirian, karena seisi rumah keluar menyaksikan dangdut, karena bintangnya desa sedang bernyanyi.
"Mas Bud nggak lihat dangdut, katanya mau joged?" tanya Evie, yang pulang dari nonton dangdut. Evie ini ternyata mantan penyanyi campur sari, dan bintangnya di desa ini. Entah mengapa dia koq tidak mengenakan pakaian kebaya untuk menyumbang lagu campur sari, tetapi mengenakan pakaian dengan rok agak mini berwarna biru langit.
"Nggak, ini tim kesayanganku lagi main," jawabku.
"Mas, bisa minta tolong?" tanyanya.
"Iya apaan?" jawabku sambil tetap melihat televisi.
"Anterin ke belakang dong, takut nih!" katanya.
Memang di daerah ini rata-rata kamar mandi terpisah dari rumah, begitu juga dapur. Dapur masih menggunakan kayu bakar, agar asap tidak masuk ke rumah maka letaknya agak ke belakang. Begitu juga kamar mandi dan wc-nya pun juga dekat dapur, mungkin karena tempat kotor jadi dijauhkan dari rumah, demi kesehatan.
Terpaksa deh nganterin. Sambil berdiri aku melihat keramaian di luar. Kenapa sih koq bukan suaminya yang nganterin, kataku dalam hati. Sambil ke belakang, Evie menjelaskan kalau suaminya udah mabuk minuman keras. Jangankan disuruh mengantar ke belakang, lihat wajah istrinya saja mungkin sudah tidak mengenali lagi.
Aku antar dia ke kamar mandi yang beratapkan langit dengan taburan bintang dan terangnya sinar bulan yang mengalahkan terangnya lampu sebesar 5 watt di kamar mandi. Sambil bersandar di pohon kelapa aku melihat bintang yang bertaburan di langit. Tak lama terdengar suara mendesis dari kamar mandi.
Tiba-tiba terdengar jeritan. Aku sih dengar, tetapi orang di luar pasti tidak akan mendengar, karena kerasnya musik, yang hampir seluruh desa mendengar.
"Ada apa, vie?" tanyaku.
"Ada cecek mas di pintu," katanya. Pintu kamar mandi tinggi tidak penuh hanya menutup hingga bahu ku, jadi aku bisa membuka dari luar. Setelah terbuka, cecek itu berlari mendekati Evie. Dianya lari dan mendekatiku, jadilah kita berpelukan. Aku berusaha mengusir cecek.
Setelah cecek pergi, jarak antara bibirku dan bibir dia dekat sekali hingga bau nafasnya tercium olehku. Sinar rembulan membentuk bayang-bayang rambutnya di wajahnya; aku sudah lupa pertandingan bola yang kutonton. Diam sejenak, terusin apa nggak ya? Sadar aku akan di mana aku berada, sangat berbahaya bila aku melakukan permainan ini.
Belum sempat aku mengambil keputusan untuk menyelamatkan diri, bibir Evie sudah menempel, hanya menempel tidak lebih, dengan dengus nafas yang tak beraturan. Tidak ada jilatan. Selanjutnya dia menguak bibirku dengan lidahnya. Mengisap bibir bawahku, dan dia yang lebih aktif.
Lupa akan bola dan lupa di mana aku, kuterima juluran lidahnya. Evie mengangkat kaos berikut branya ke bawah dan menaikkan roknya. Ternyata setelah kencing dia belum menggunakan cd, karena keburu cecek dateng.
Kuhisap putingnya. Aku merasakan ada cairan; masih mengeluarkan cairan - bayinya masih 6 bulan. Gumpalan yang mengandung asi cukup besar dan menantang, kujilat sambil melihat wajahnya yang mendongak tapi bukan melihat bulan dan bintang, tetapi merasakan kumis kasarku yang sedang membersihkan puting dari kerak ASI yang meleleh. Aku tidak mengisap hanya menjilati dan menggesek kumis dan jenggot kasarku saja.
(Kalau kuhisap kasihan bayinya bila akan minum nanti kehabisan!!!)
Capek berdiri dia menahan gejolak nafsu, Evie bersandar pada tiang sumur, dan meletakkan kakinya di bibir sumur yang mempunyai ketinggian satu meter. Aku masih menggunakan pakaian lengkap. Segera kutelusuri perutnya dan turun ke bawah.
Oh My God. Ternyata masih buljar, alias bulu jarang. Halus banget bulunya, bukan rambut ini sih, masih bulu.
"Jangan mas! Kotor.." katanya. Aku tidak mengacuhkan. Terlintas di pikiranku, tadi cecek dateng sama cebok duluan mana yah? Ah bodo amat, dagingnya aja enak apalagi kuahnya. Ku jilat sambil melihat wajahnya. Oh begitu indah, sambil menggigit bibir bawahnya dan di depannya tampak bulan purnama bersinar terang. Sementara dia menjambak rambutku.
"Udah mas," katanya sambil menarik rambutku ke atas. Padahal enak banget di bawah, pemandangan alamnya itu lho. Ada bulan, ada wajah wanita yang manis, serta ada bulu halus dan ada clit yang malu-malu sembunyi. Mungkin dia malu karena banyaknya cairan yang sudah keluar.
(Kadang heran, mengapa wanita selalu malu bila kemaluannya basah sekali di hadapan pria yang bukan suaminya. Mungkin tante Ila, tante Puja atau Tante Monik bisa jelasin nggak ya??)
Dia menciumku dengan ganas, menjilati kupingku, lubang kupingkupun dimasukin lidahnya yang mungil. Leherkupun tak luput jadi sasaran. Sambil melakukan dia menuntun batangku untuk memasuki lorong yang sudah sangat basah sekali.
Walau sudah sangat basah, sempitnya menyulitkan untuk penetrasi (ternyata dia dijahit hingga 10 jahitan luar dalam, kebayang deh, usia 16 tahun melahirkan dan dijahit sebanyak itu). Berkali-kali meleset; aku tertawa dalam hati - koq seperti pengantin baru aja yah.
Akhirnya masuk juga, karena badannya yang lebih kecil dari aku maka aku memeluknya berikut tiang sumur; sekalian buat pegangan untuk mengayun. Kaki yang satu di bibir sumur yang satu lagi aku angkat (dia agak pendek). Nggak kuat menahan sempitnya, aku keluar di dalam (lupa koq nggak dikeluarin di luar - kalau sudah nikmat kadang suka lupa segalanya - seperti Kes. Brazil, kalau sudah nyerang lupa pertahanannya).
Begitu aku cabut, koq ada darah sepanjang batangku. Aku menimba air untuk membersihkan kemaluan kita berdua. Kulihat dia meringis kesakitan saat membasuk kemaluannya. Entah batangku yang besar atau sempitnya lorongnya Evie.
"Kamu nggak takut hamil, vie?" tanyaku.
"Baru selesai kemarin mas," jawabnya. Pantes koq libidonya tinggi.
Selesailah permainan berbahaya yang kita lakukan, dan aku pergi ke acara dangdut di depan rumah. Evie pergi mengambil bayinya dan tidur sambil menyusui bayinya. Untung aku nggak merokok, kalau merokok, bayinya bisa nggak mau nyusu...
Waktu sudah menunjukkan sekitar jam 2300, saat aku datang campur sari sudah berganti dengan dangdut. Tua muda ramai-ramai berjoget hingga menutup jalan raya.
Aku lihat istriku duduk dekat pelaminan dan pergi ke rumah Evie, mungkin sudah nggak kuat menahan kantuk. Selamat! Nonton dangdutnya aku duduk agak jauh dari panggung dengan kursi bambu di samping rumah tetangga yang digunakan untuk menampung tamu juga. Tiba-tiba Linda ada disampingku.
"Joget yuk!" katanya.
"Nggak bisa," jawabku.
"Yah gerak-gerak aja, pakai poco-poco juga nggak apa-apa," katanya.
"Nggak ah. Di sini aja ah," jawabku. Bukannya apa-apa, aku masih terasa capek saat di sumur tadi gara-gara cecek.
Saat penyanyi membawa lagu "Mandul", Linda mendengarkan dengan seksama, dan lama-kelamaan bahunya bersandar pada pundakku. Tak lama buah dadanya menempel. Kulirik dia meneteskan air mata.
(untuk mendengarkan lagunya klik di bawah ini:
http://groups.yahoo.com/group/Pembaca_CCS/files/My%20
Musics/Mandul2.mp3)
"Koq jadi sentimentil gitu?" tanyaku.
Dia menyeka air matanya dengan jemarinya.
"Kamu salah masuk kali bikinnya," godaku, untuk menghilangkan kesedihan.
"Salah masuk gimana?" tanyanya.
"Ngkali masuk lubang yang lain," jawabku.
"Gila, apa!" jawabnya.
"Kalau bikin tuh nyantai, nggak usah pake gaya macem-macem," kataku.
"Udah semua gaya mas, tetep aja, kalau sawahnya subur, tetapi benihnya nggak bagus ya, nggak panen-panen," jawabnya ketus.
"Yah, ganti aja biangnya, khan ada Generasi Biang," jawabku, sambil memperhatikan goyangan penari yang menyanyikan "Goyang Dombret".
Penyanyi yang melantunkan lagu "Mandul", naik ke panggung lagi dan membawakan lagu "Malam Terakhir" sesuai permintaan yang nyawer.
(untuk mendengarkan lagunya klik di bawah ini:
http://groups.yahoo.com/group/Pembaca_CCS/files/My%20
Musics/Malam%20Terakhir2.mp3)
Linda semakin penuh menyandarkan tubuhnya.
"Mas anterin ke belakang yuk, aku takut sendirian," katanya. Kulihat wajahnya penuh harap sambil meringis menahan kencing. Wah kejadian sumur bisa terulang nih, mudah-mudahan ada cecek! Mikir bentar, jalan jangan, jalan jangan.
"Ayo deh," kataku.
Kalau tadi di sumur Oom Kartiko, sekarang di sumurnya Oom Aryo. Di sini lebih terang lampunya karena menggunakan neon 40W, karena tak jauh dari situ cahaya dibutuhkan untuk penerangan di sekitar tempat masak. Tampak ibu-ibu yang membantu memasak kelelahan dan tidur dekat tempat memasak, bahkan karena capeknya ada yang sampai ngorok. Ketawa kita berdua saat melewati mereka.
Setelah kencing, kita kembali ke tempat asal dan menonton dangdut hingga selesai jam 0200, dan kembali ke rumah oom Kartiko. Aku tidur di kursi ukir-ukiran jati yang panjang di ruang tamu yang besar (rata-rata rumah di sini model pendopo - jadi ruang tamunya lumayan besar). Linda masuk ke kamar Oom Kartiko, dan tak lama keluar lagi.
"Kenapa?" tanyaku.
"Udah penuh," jawabnya.
"Itu di kamarnya Evie aja," kataku.
"Sama, penuh juga!" jawabnya.
"Aku tidur di bawah aja deh, pakai ini," katanya sambil menggelar tikar.
"Jangan! Kamu tidur di kursi ini aja," kataku sambil bangun. Dia menuruti, tidur di kursi lalu menutupi badannya dengan selimut. Aku tidur di bawah beralaskan tikar. Untuk menghindari sinar lampu, aku menyusun koper-koper para tamu sedemikian rupa agar aku tidak terlalu silau dan mengurangi dingin. Dinginnya hawa pedesaan hingga membuat aku tidur miring sambil mendekap tanganku sendiri di selangkanganku.
Dari tempat penikahan terdengar lagu "Mandul" yang merupakan hasil rekaman acara "Live" tadi. Tiba-tiba dari belakang ada yang memelukku, ehmp dingin-dingin empuk nih.
"Mas, mau nggak jadi Generasi Biang," bisiknya di telingaku, bahkan bibirnya sempat menempel di telinga. Aku membalikkan badan.
"Gila lu, ini ruang tamu dan banyak orang di sekitar kita," jawabku beralasan.
"Khan tadi mas bilang, kalau bikin tuh nyantai, nggak usah pake gaya macem-macem," katanya, sambil menutup badan kita berdua dengan selimut. Tak lama dia menurunkan celana jeannya, sambil tidur, lalu menggosokkan pantatnya ke kemaluanku. Bangun deh tuh dedek, di sms, sama temennya sih.
Ku turunkan juga celana jeansku, sebatas dedek ku bebas. Kucium tengkuknya, dia menggenggam batangku, dan menuntun ke kemaluannya, terasa sudah basah. Kapan aku merangsangnya.
"Koq, kamu sudah ba..." tanyaku.
Segera dia mengulum bibirku, dengan cara menoleh kebelakang, jadilah kita ber-doggy style, sambil tiduran miring.
Dia berpegangan erat di kaki kursi jati (kursi ini lumayan besar dan berat). Semakin lama kepalanya menjauh dari kepalaku, tetapi pantatnya semakin mendekat. Lagu di tempat resepsi sudah berubah menjadi "Goyang Dombret". Aku semakin lama semakin terdorong, takut koper dibelakangku roboh karena aku terdorong. Aku menggenjot sekuat tenaga ke arah depan, sambil berpegangan pada kaki kursi yang lain, hingga Linda terdorong masuk ke bawah kolong kursi, sampai dia mengeluarkan bunyi seperti orang tertindih.
"Eghk," segera kututup mulutnya. Gerakanku lamban tetapi terus-menerus, bahkan mengikuti irama lagu. Karena kejadian di sumur, maka jadi agak lamaan. Tetapi posisi miring mengakibatkan rapatnya lorong kemaluan Linda, akhirnya aku keluar juga. Dia mencengkram tanganku yang sedang memegang kaki kursi.
Tiba-tiba mataku tertusuk. Aku segera membuka mata dan kulihat anakku sedang menusuk pensil ke mataku, dan kulihat sekeliling, oh aku ada dirumahku sendiri.
Diam sejenak. Untuk menyadarkan diri. Anakku memang lagi belajar menulis, apa saja ditulis, tidak terkecali mata papanya.
Ohh, ternyata hanya mimpi. Kurasakan GT-MANku seperti licin. Wah tembus nih sampai kasur tipis yang kutiduri di ruang tamuku. Aku kecapaian dari mudik dan tertidur di ruang tamu. Selain itu sudah kelamaan nggak "ganti oli".
Bila prajurit mimpinya aja perang, nah kalau hidung belang mimpinya aja selingkuh.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerita Dewasa /
Cerita Seks
dengan judul Cerita Dewasa - Dangerous Game. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://belajartrikjitu.blogspot.com/2011/12/cerita-dewasa-dangerous-game.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Monday, 5 December 2011
Belum ada komentar untuk "Cerita Dewasa - Dangerous Game"
Post a Comment