Cerita Dewsa - Selamat Pagi Cinta 2

Selamat Pagi Cinta 2
Tiga keindahan hakiki dari hidup,
kebebasan jiwa, bebas dan lepas
kehangatan hati, hangat dan nyaman
dan ketenangan pikiran, tenang dan damai

Takkan muncul bila ditunggu,
datang bila dicari,
terasa bila dipahami
Satu tiada lain tiada

Maka,
terkutuk yang merenggutnya,
jahanam yang mengendalikannya,
kasihan yang tak kuasa memilikinya

Kesadaranku adalah pengakuanku, bahwa,
betapa ingin ku mencintaimu, aku sungguh-sungguh
Namun cintaku takkan pernah bersemi
Berharap dibalas saja ia tak berani
Karena tahu itu menyakitkan

Karena cintalah si jahanam, si terkutuk,
dan si pembuat kemalangan itu

Lalu tersodor kasih sayang, hanya untukmu,
gadisku
Sejauh apa yang bisa kuberikan,
di dunia yang terbentuk oleh keberadaan
kau dan aku,

yang ter-nyata dari segala ilusi.........

--------hakekat dunia kecil--------------

"Kita terlalu berbeda," isak Audrey, menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
"Tapi apakah perbedaan itu membuatmu tak ingin menemuiku lagi?"
"Aku nggak bisa, Ray. Aku bukan orang yang bebas seperti itu."
"Aku tahu, Lan," sahut Ray berbisik, memanggil nama kecil si gadis, dan mendekap tubuh Audrey semakin erat.
Lama mereka terdiam, masih berpelukan, meresapi kejadian semalam yang tak disangka-sangka. Saat mereka bercinta, dan saat semua kesadaran kembali menggumpal dalam benak.
"Dan kukira aku takkan pernah jatuh cinta lagi," bisik Ray lirih.
Audrey masih terisak beberapa saat lamanya, sebelum bisikan keluar dari mulutnya,
"Kalau begitu...... cintai aku......"
"Ya."
"Selamanya...."
"Ya.Selamanya......"
"Walau itu sebuah kesalahan besar."
"..............."

Dunia kecil. Satu bagian dari kehidupan individu, dimana tak seorangpun bisa menjamahnya, selain individu itu sendiri. Dunia yang terlahir dari kesadaran akan sebuah luka, yang ditimbulkan dari kenyataan-kenyataan pahit dunia nyata. Keterikatan, pola pikir masyarakat, tata dan aturan. Semua tak ada di dunia kecil. Hanya ada kebebasan, kehangatan, dan ketenangan. Kebahagiaan hidup yang hakiki.

Orang bilang, dunia semacam itu hanya ada dalam mimpi. Dan memang, semua itu hanya sebuah ilusi. Sebuah mimpi yang akan lenyap menjadi kenangan, saat mata membuka.

Ray dan Audrey. Mereka bertemu dalam dunia itu. Dunia yang mereka bentuk bersama. Tak satupun yang mengganggu mereka di sana. Tempat dimana mereka bisa saling menyayangi, memeluk, memberi kehangatan, tanpa khawatir orang-orang itu akan merenggutnya.

Ray tak pernah tahu apa yang membuatnya melakukan kesalahan yang sama sebanyak dua kali. Yang ia tahu, sejak kepergian Enni, dan kemunculan Audrey, hanyalah bahwa ia tak sanggup melepaskan Audrey dari sisinya. Tidak bahkan untuk sehari pun dalam hidupnya. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa Audrey adalah milik keluarganya. Sang puteri yang sudah dipersiapkan sejak kelahirannya untuk mempertahankan keutuhan kerajaan keluarganya.
Gadis yang sama yang sudah menyaksikan bagaimana ia menangis. Gadis yang sudah memeluknya sepanjang malam, setiap hari, yang memberikan kehangatan dan kenyamanan luar biasa di hatinya yang kacau balau.

Audrey pun tak mengerti mengapa ia jatuh cinta pada Ray. Pemuda yang mampu membetot rasa sayang itu dari hatinya. Bukan Dendy, yang sehari-hari dipertontonkan sang ayah di depan matanya sebagai calon putera mahkota. Ia memuja pola pikir Ray yang penuh kebebasan, sebagai dampak dari keterikatan yang selama ini dihujamkan ke benaknya. Ray memberikan baginya sesuatu yang tak didapatkannya selama ini. Sebuah imaji tentang masa depan yang jauh berbeda dengan apa yang selalu didengungkan orang tuanya. Kehidupan yang bebas, pola pikir yang berasal dari diri sendiri. Keindahan yang selama ini selalu dirindukannya.

Mereka jatuh cinta, itu sebuah kesalahan yang meskipun mereka sadari namun tetap mereka jalani, dan terluka saat cinta itu memaksa mereka kembali pada kenyataan. Bahwa mereka takkan pernah saling memiliki. Ya. Memiliki. Sebuah hakekat menyedihkan dari kata cinta.

Lalu dunia itu pun berakhir.
Mata-mata pun terbuka.

----------------------------------------

Selamat Pagi Cinta (ep.2)

Sembilan tahun kemudian......

Day 1

Pengumuman untuk mengenakan kembali sabuk pengaman sudah terdengar. Ray mengencangkan sabuknya, dan memandang keluar jendela. Tak ada apapun yang bisa dilihatnya dalam suasana segelap itu, hanya sayap pesawat yang sedikit berguncang tergesek angin. Pikiran Ray terbang kemana-mana. Pada sebuah kejadian yang baru kemarin dialaminya.

-o-

"Hmm? Bali? Urusan kerja? Ah, hahaha....," gadis yang sibuk menjemur pakaian di halaman belakang tertawa terbahak-bahak. Ray merasa wajahnya memanas seketika.
"Hey, aku sungguh-sungguh," ucap Ray, mengangkat tubuhnya dari kursi dan melangkah keluar dari dapur. Pemuda itu berhenti di belakang gadis yang masih juga sibuk dengan pekerjaannya.
Lengan Ray terangkat, menyentuh lembut pundak Moogie.
"M...."
Moogie meletakkan kaus yang semula hendak dijemurnya, lalu berpaling sambil tersenyum. Bibirnya menemukan bibir Ray, lembut dan hangat.
"Aku tahu. Kamu hendak bersenang-senang, kan? Ya sudah, bersenang-senang saja lah. Aku kan ngga ngelarang kamu."
"Hmmm...," Ray hanya mengeluarkan gumaman panjang. Pemuda itu melumat bibir gadis yang dalam sekejap sudah dalam dekapannya. Tak berapa lama, sebelum Moogie mendorong tubuh Ray menjauh, lalu membalikkan tubuhnya sendiri untuk kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"M, kamu pikir aku bohong, ya?"
"Aku kan ngga perduli," ucap Moogie tanpa berpaling.
"Ngga peduli? Benar?"
"Iya. Aku tahu, dari sinar mata kamu, kalau ada gadis lain di sana. Seperti yang sudah pernah kita bicarakan tentang semua omong kosong ikatan, aku tak mau membicarakan hal itu lagi."
Ray tak mampu berkata apapun. Lama pemuda itu terdiam, memandangi punggung gadis yang ada di depannya.

"Bahkan kalau itu membuatku meninggalkan kamu?"
Moogie berhenti bergerak. Masih membungkuk, gadis itu menghela nafasnya dalam-dalam. Sesaat kemudian ia menegakkan tubuhnya, meneruskan pekerjaannya. Tak satupun kata yang keluar dari bibirnya.
Ray menundukkan kepala. Ia tak ingin Moogie tahu bahwa ini bukan sekedar kerja biasa. Meskipun Ray sendiri berusaha menganggapnya demikian, namun yang ada di balik semua cerita keberangkatannya ke Bali bukan sesuatu yang semudah dibayangkan.
Ada sebuah lukisan `masa lalu' di sana.
Ray ingin jujur. Tapi ia tak tahu harus mulai darimana.

Moogie tidak mengantar keberangkatan Ray, gadis itu sudah kembali ke Jakarta pada malam setelah perbincangan itu. Tak ada pesan lain dari si gadis, selain sebuah kecupan yang mesra di bibir dan sebuah kata-kata,
"Aku sayang kamu. Sampai minggu depan."
Ray, yang hanya menatap punggung gadis itu berlalu, tak pula bisa mengatakan apapun. Ia sendiri tak yakin apa yang akan terjadi.

-o-

Benturan antara roda pesawat dengan landasan menimbulkan sedikit guncangan. Ray tersadar dari lamunannya. Beberapa saat kemudian sirip pesawat diturunkan. Ray masih juga memandang lewat jendela. Menyaksikan lampu-lampu gedung yang merambat menghilang.
Lalu pesawat berhenti. Ray menarik nafasnya dalam-dalam, melepaskan sabuk pengamannya. Orang-orang sudah berdiri dan terlihat sibuk mengambil barang bawaan masing-masing. Ray mengamati wajah-wajah mereka. Ada yang terlihat gembira, ada yang terlihat sedih, ada yang tegang. Pemuda itu bertanya-tanya dalam hati, apa yang mereka lihat saat menatapku? Mungkinkah wajahku terlihat bingung?

Ray lalu bangkit berdiri, dengan tanda nomor bagasi pesawat di tangannya. Ia tak membawa banyak dari Surabaya, selain tas besar yang lebih cocok dimasukkan ke bagasi pesawat daripada dibawa-bawa. Tas itu pun hanya berisi ransel, tiga potong baju, empat celana dalam, dan dua celana panjang.

Beberapa pasang mata dari antrian orang menatapnya dengan pandangan ingin tahu. Siapa tidak? Ray lah satu-satunya di antara sekian banyak orang, yang terlihat begitu mencolok. Rambut panjang tersisir rapi ke belakang, janggut tebal di dagu, jas hijau tua dan celana hip-hop kebesaran. Penampilan yang menimbulkan kebingungan, apakah pemuda itu seorang eksekutif muda, ataukah seorang anak jalanan.
Seperti biasa, Ray memang tak pernah perduli dengan apapun yang menempel di tubuhnya selain rambut dan janggutnya.

Ray melangkah memasuki ruang kedatangan bandara Ngurah Rai. Matanya mencari-cari tempat pengambilan bagasi. Usai mengambil tas, matanya kembali mencari-cari. Kali ini ia mencari sosok yang sudah berjanji akan menjemputnya dari bandara.

Ternyata tak susah menemukan Rose, karena gadis itulah satu-satunya dari sekian banyak orang yang memandangnya sambil tertawa. Ray menghampiri gadis itu dan mengulurkan tangan.
"Halo, Rose."
"Halo, Ray."
Lalu tawa terdengar dari mulut mereka.
"Ray, jadi kamu bukan kampret tukang tipu," itu komentar Rose yang pertama, saat mereka berjalan menuju taksi. Ray kembali tertawa. Dunia memang penuh tukang tipu, tapi Ray bukan salah satu dari mereka.
"Ray, cuma ada satu. Ya aku," ucap Ray kemudian, disambut anggukan kepala Rose.

"Kemana kita?" tanya Rose di dalam mobil.
"Check-in. Makan. Lalu selanjutnya terserah."

Taksi segera melaju keluar dari kompleks bandara.

Day 2

Pegi itu Ray pulang ke hotel dengan tersenyum. Semalam yang ia habiskan bersama Rose terasa begitu membekas. Tanpa sadar Ray tertawa. Sopir taksi yang ada di sebelahnya terheran-heran.
"Kenapa, Mas?" tanya si sopir taksi. Ray menggelengkan kepala, masih tersenyum.
"Tidak ada apa-apa. Jalan pelan-pelan ya."
"Iya, Mas."
"Bali itu indah ya, Pak?"
Si Sopir langsung saja mulai bercerita tentang keindahan Pulau Bali, semenit sebelum ia meraih sebuah peta wisata kecil dari laci dashboard, lalu tangannya mulai menunjuk berbagai tempat yang menurutnya menyenangkan untuk disinggahi. Meskipun akhirnya Ray tertawa, kala mengetahui bahwa si Sopir ternyata berasal dari Nganjuk, namun tetap saja Ray harus mengakui bahwa apa yang dikatakan si Sopir benar. Pulau Bali memang indah, dan pasti tetap saja demikian, sejak lima tahun yang lalu terakhir kalinya ia menginjakkan kaki di sana.

Suasana memang indah di pagi yang lengang itu. Langit yang membiru dengan sdikit awan mendung. Sinar matahari pagi yang tak membuat kulit panas. Perbukitan membentang luas di sepanjang jalan sempit dari kompleks perumahan Rose menuju kembali ke Kuta, diselingi gedung-gedung kampus ber-arsitektur menarik. Hujan yang turun rintik-rintik menambah kesejukan hawa pagi itu.
Sebuah sisi lain dari kesunyian yang menurut Rose sebagai suatu keindahan yang mengandung makna tersendiri dalam kehidupan.

Ray membiarkan jendela pintunya terbuka, sehingga ia dapat menikmati udara pagi, dan tetesan lembut air yang menerpa wajahnya. Ray merindukan suasana seperti itu dalam hidupnya. Bukan angin yang membawa terlalu banyak racun knalpot, bukan tetes hujan asam yang bisa membuat kulit gatal-gatal.
"Pak," mendadak Ray berbisik pada si Sopir.
"Kenapa, Mas?" tanya si Sopir heran.
"Saya mau tidur, nanti bangunkan kalau sudah sampai."
"Iya, Mas."

Ray pejamkan matanya. Hari itu mungkin akan jadi hari yang melelahkan. Dan semalaman tanpa istirahat bukan sebuah awal yang baik.

-o-

Senyuman ramah menyambut kedatangan Ray di hotel. Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya yang lemas sambil balas tersenyum, lalu melangkahkan kakinya menelusuri lorong hotel. Baru saja ia hendak memutar kunci, saat telinganya menangkap debur ombak di kejauhan. Tertarik, Ray mengurungkan niatnya untuk segera menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Pemuda itu melangkah menuju bagian belakang hotel. Setapak demi setapak anak tangga, debur itu semakin jelas terdengar. Ray menyipitkan matanya yang lelah menatap kolam renang yang sepi. Waktu itu masih pukul setengah tujuh Indonesia barat, berarti pukul setengah delapan di Indonesia tengah. Tak ada seorangpun di sekitar kolam renang, hanya seorang bartender di pool-side-bar yang tersenyum padanya.

Ray melayangkan pandangannya jauh ke balik pepohonan. Senyum pemuda itu mengembang saat dilihatnya pantai dan ombak bergulung. Cepat-cepat dilangkahkannya kaki menuju ke sana.

Di hatinya menjerit sesuatu yang seolah lama hilang.... kebebasan.

Segala beban yang ada dihatinya seolah lenyap, saat kakinya menginjak pasir-pasir pantai. Ray berlari menuju air, tak perduli kalau ia masih mengenakan sepatu dan celana panjangnya. Dalam sekejap, air sudah membasahinya sampai ke paha. Pemuda itu tertawa-tawa. Membentangkan kedua tangannya, memejamkan mata. Sesaat kemudian jari tengahnya mengacung ke arah barat.

"FUCK YOU!!" pemuda itu berteriak, membuat seorang pria bule dengan surf-board berpaling ke arahnya sambil tertawa. Ray berteriak lagi beberapa kali sampai suaranya serak.
Entah pada siapa dia memaki. Yang pasti kepuasan ada di hatinya.

-o-

Lelah benar, saat ia melangkahkan kakinya kembali ke kolam renang. Senyuman di wajahnya. Ray merasa lebih segar dari biasanya. Nyeri-nyeri pikiran yang sering membuat benaknya jungkir balik setiap malam seolah terbang terhanyut ombak, tertanam di pasir, dan dibawa angin pantai.
Ray kembali ke hotel, masuk ke kamarnya, melepaskan baju dan celana, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.

-o-

"Ray? Ray?" suara-suara memanggilnya. Ray menggeliat, membuka matanya dan menemukan kegelapan menyelimuti pandangannya. Nafasnya terasa berat. Ray menurunkan tepian selimut, mendapati kamar yang masih terang benderang oleh cahaya matahari. Mata pemuda itu masih terasa lelah, sehingga ia memilih untuk terpejam kembali.
"Ugh," gumamnya, sekali lagi menggeliatkan tubuhnya, menikmati suara gemeratak yang keluar saat tulang-tulangnya bergesek.

"Ray?" satu suara lagi memanggilnya. Bagaikan disambar petir, Ray tersadar bahwa ada seseorang yang berada di luar pintu. Pemuda itu menyelinap dari balik selimut, sedikit mengeluh karena ia belum bersiap sama sekali.
"Ray? Ini aku. Buka dong?" lagi suara gadis itu terdengar.
Ray mengangkat bahunya dan melangkah ke arah pintu kamar. Saat pemuda itu membuka pintu, yang pertama kali dilihatnya adalah sepasang selop berwarna merah muda, lalu betis berkulit putih bersih, lalu...
"Ray?" suara gadis itu menyeret matanya ke atas. Ray mengangkat kepalanya, dan melihat sebuah senyuman yang mengembang.
"Audrey... Lan..?" Ray menggumam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Sudah lama sekali, Ray," gadis di depan Ray berkata.
Ray masih menatap Audrey. Lama. Masih juga tak percaya pada pandangannya.
Gadis dengan kaca mata minus, mata sipit yang menatap nakal di baliknya, rambut sepunggung berwarna kemerahan, wajah berbintik cokelat, bibir merah muda dengan senyum dikulum. Serasa baru kemarin Ray bertemu dengan gadis itu, yang sekarang berdiri di hadapannya, bukan sebagai bunga mimpi, melainkan dalam kenyataan.
"Lan....," bisik pemuda itu.
"Iya, ini aku," gadis di depannya berkata lagi, lalu mendorong tubuh Ray dari pintu.
"Eh?" Ray berseru pelan.
"Aku mau pee," Audrey berkata, langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ray menoleh, melihat sebuah koper berwarna hijau tua yang terlantar di depan pintu. Pemuda itu menundukkan kepalanya, lalu menyeringai dan tertawa.
Terkadang Ray merasa terlalu konyol untuk ber-romantis-ria.
Lagipula apa yang sebetulnya ia harapkan?

Ray meraih koper dan membawanya ke dalam. Pemuda itu lalu mendudukkan tubuhnya di pinggir tempat tidur. Pintu kamar mandi terbuka beberapa saat kemudian. Audrey keluar sambil mengibas-ngibaskan kaki. Saat Ray menatapnya, pemuda itu melihat Audrey sudah melepas kacamatanya. Ray tersenyum, mendapati raut Audrey yang ternyata masih juga tak berubah, masih manis dan menggemaskan. Gadis itu membalas tatapan matanya, lalu memiringkan tubuh sambil berkecak pinggang. Lama mereka bertatapan, sampai sekali lagi tawa mereka berderai. Lalu mendadak Audrey berlari dan melompat ke pangkuan Ray.

"Raaaayy!! I miss you soooo much!!" seru si gadis, memeluk Ray yang masih tertawa-tawa, membuat pemuda itu terguling terlentang di atas tempat tidur.
Lalu mereka sama-sama diam. Ray pejamkan matanya, memeluk tubuh gadis yang menindih separuh tubuhnya. Sampai ia sadari tubuh gadis itu berguncang, dan dadanya basah oleh air mata.

"It's been so long, Lan," bisik Ray. Gadis yang terisak itu mengangguk.
"Let me stay like this," Audrey menyahut tak lama kemudian. Ray menganggukkan kepalanya. Jemarinya mengelus lembut punggung Audrey, menenangkan hati si gadis, sekaligus hatinya sendiri.

Ada sejuta rasa yang berkecamuk dalam satu dekapan.
Ada selaksa kata tak terungkap dalam diam.

.........

"Ray, kamu berpikir, atau sedang menikmati?" terdengar Audrey berbisik.
Ray tersenyum, ternyata gadis itu masih ingat makna ke'diam'an yang sering diutarakannya pada semua orang.
"Aku di ambang batas," bisik Ray. Audrey menggesekkan pipinya di dada Ray.
"Aku boleh cium kamu?" mendadak gadis itu bertanya. Ada nada keragu-raguan dan rendah diri yang amat sangat di sana.
Ray tahu mengapa, tapi ia tak bertanya.
"Sebuah pertanyaan yang bodoh," Ray menjawab. Audrey mengangkat kepalanya, gadis itu tersenyum. Ray menggunakan punggung jemarinya untuk menghapus sisa air di sudut mata si gadis. Audrey menundukkan kepalanya, mengecup bibir Ray, begitu lembut sampai tanpa sadar Ray memejamkan matanya.
Tak ada kecanggungan di sana. Meski bertahun-tahun sudah lamanya.
Hanya kehangatan. Hanya sebuah kerinduan.
"I miss you.. I miss you...." bisik Audrey berulang-ulang.
"Aku juga. Lebih dari yang kamu kira," bisik Ray.

-o-

Ray baru terbangun saat handphone-nya berbunyi. Sebuah pesan dari Jay, yang mengingatkannya untuk tak lupa memakai kondom. Ray tertawa, dan menghentikan tawanya saat merasakan tubuh Audrey bergerak di sampingnya. Ray mematikan handphone lalu menopang kepalanya dengan tangan. Matanya menelusuri garis-garis wajah Audrey. Ia memang masih Audrey yang dulu, batin Ray dalam hati, namun garis-garis itu menunjukkan sesuatu yang sudah jauh lebih dewasa. Beberapa guratan kecil di samping leher si gadis, yang hanya bisa terlihat saat rambut panjang gadis itu tertarik ke samping, mirip bekas-bekas jahitan yang tak rata. Ray tahu, itulah sisa yang ditimbulkan oleh kerusuhan massal beberapa tahun yang lalu di Jakarta. Serpihan kaca yang bertebaran saat sebuah bom molotov meledak. Ledakan yang sama yang membuat Audrey kehilangan segalanya. Keluarga, dan menyusul semua kemewahan itu. Ray tahu semua ceritanya, dari mulut demi mulut. Bahkan saat Audrey terlihat berduaan dengan Mr. X di dalam foto yang disodorkan David, foto yang juga menjadi salah satu alasan mengapa ia berangkat ke Bali, Ray tahu itulah bukti nyata dari gossip yang selama ini berusaha tak diacuhkannya.

Audrey menjadi wanita simpanan, itu kata sahabat-sahabatnya dari Jakarta di penghujung tahun 2000. Kabar yang sempat membuatnya mengerang dalam hati. Waktu itu Ray bertahan, tidak memikirkan segalanya, dan tetap memelihara beku di hatinya. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang bergolak di hatinya saat ini, yang memaksanya untuk berpikir tentang hal itu. Tentang Audrey, yang mencari duit dengan sodoran kenikmatan. Pekerjaan berkedok yang paling hina yang bisa dilakukan seorang wanita. Bahkan lebih hina dari pelacur yang tanpa kedok menjajakan dirinya di jalanan. Sesuatu yang membuat Audrey terkucil dari pergaulannya. Tak ada yang bisa mengerti alasan `terpaksa' dalam kata `simpanan'.

Ray tak pernah mengira bahwa dirinya masih punya perduli, saat apatisnya sudah melebihi ambang batas manusia normal. Itu membuatnya sedikit ketakutan.

Ray mengangkat sebelah lengannya yang bebas, membentangkan jemarinya, menempelkannya di wajah Audrey, lalu mulai menelusurinya dari kening sampai ke dagu.
"Kenapa?" bisik pemuda itu lirih. Tak ada sahutan. Ray tersenyum kecut, menundukkan kepalanya dan mengecup pipi si gadis.
"Katakan kalau itu salahku," bisik Ray sekali lagi, sebelum mengangkat tubuhnya dan menuju kamar mandi. Ray membasuh dirinya di bawah siraman shower. Mungkin tanpa sadar ia menitikkan air mata, tapi air mata itu menjadi kabur saat terbawa titik-titik air.

.................

Ia telah bercinta dengan gadis itu. Dulu dan baru saja. Saat Audrey masih menjadi sosok sempurna di matanya, dan saat gadis itu menjadi cerminan keputusasaan dan kebodohan manusia.
Entah mengapa ia mau bercinta dengan gadis itu, Ray berusaha menemukan jawaban di tengah tirai air yang mengguyur tubuhnya.
Tanpa sadar emosi menguasai batinnya.

Ray teringat, hanya ada dua pesan dari Ibunda Ray, sosok moderat yang menjadi panutannya dalam hidup. Salah satunya adalah tentang bercinta.
"Ray, kamu boleh dan Mama yakin bisa bercinta dengan siapapun juga yang kamu mau, karena kamu anak Mama. Tapi ingat tiga hal: jangan hamili anak orang, jangan pernah membeli, dan jangan pernah dibeli."
Lalu apa yang terjadi sekarang? Ia bercinta dengan Audrey! Sosok yang sama dengan sosok-sosok lain yang sehari-hari menempati kolom `hina' di hatinya.
Lebih rendah dari pelacur yang bisa dibeli!!
Pengacau rumah tangga orang!!
SIMPANAN!!
LEBIH RENDAH DARI PELACUR-PELACUR KOTOR ITU!!

.....................

HEY RAY!! Batin pemuda itu berteriak. Ray tersentak.

SETAN SIAPA KAMU YANG BISA MENILAI ORANG?
"Aku... aku...," Ray terbata, matanya menatap sosok kabur dirinya sendiri di cermin yang tertutup embun.
KAMU JAHAT!
"Aku....tidak...jahat...," bisik Ray, melangkah keluar dari bath-tub, menggunakan lengannya mengusap permukaan cermin.
KAMU PERNAH MENCINTAINYA!
"Mencintainya... hampir...iya...aku.. cinta...," bisik Ray lagi, dan ia sudah menatap wajahnya sendiri. Sebuah rasa mencuat dari lubuk hatinya. Ia tak bisa munafik lagi sekarang, ia memang `pernah' mencintai Audrey. Bukan `hampir' seperti yang selalu diserukannya pada otaknya yang bebal.
CINTA ITU YANG MEMBUAT KAMU MEMBENCINYA!
"Ya... itu benar.. ," bisik Ray, dan pemuda itu tersenyum. Lagi-lagi cinta, yang selalu membuat orang-orang dipenuhi cemburu, rasa tidak terima, egoisme. Kebodohan nalar.

SEGALA SESUATU PASTI ADA ALASANNYA!!
JANGAN BIARKAN EGO MEMBUATMU BUTA!!!

"Tapi kenapa aku bercinta dengannya?" Ray bertanya pada sosok di cermin.

Karena kamu masih simpan kehangatan untuknya.
Karena kamu menginginkannya.
Karena kamu merindukannya.
Dan sejuta alasan lain.

Ray tak lagi bertanya pada `skizo-man' yang sempat muncul di cermin. Pemuda itu mengeringkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar mandi. Mendapati Audrey masih terlelap, Ray membaringkan tubuhnya di belakang si gadis, dan memeluk gadis itu dari belakang. Audrey menggeliat, Ray mengencangkan pelukannya dan berbisik, "Ssshh, biarkan aku peluk kamu dari belakang."
Tak ada sahutan, tapi Audrey berhenti bergerak.

Ray melirik ke arah arloji yang tergeletak di atas meja lampu samping tempat tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh waktu Indonesia barat. Ray merasa lapar, tapi setelah ia memejamkan mata dan menempelkan kepalanya di bekas-bekas luka di leher Audrey, laparnya lenyap. Yang ada cuma keinginan untuk memberikan seluruh kehangatannya pada si gadis. Semua kerinduan yang ia harus akui dalam dirinya. Juga sebuah pernyataan maaf atas pemikiran yang egois di benaknya beberapa menit yang lalu.
"Aku...," bisiknya, "...tak ingin berpikir."

Kemudian hari kedua yang panjang dan melelahkan berlalu.

Day 3

"Hahahaha," Ray tertawa-tawa, kakinya menghempas di atas air. Audrey mengikuti di belakangnya, juga berlari sambil tertawa-tawa. Sesekali mereka berhenti, hanya untuk saling menyiramkan air asin ke tubuh masing-masing.
Pagi itu memang indah sekali. Langit cerah tak berawan. Angin berhembus sepoi-sepoi. Pantai yang masih sepi dengan matahari yang belum terik. Hanya ada beberapa orang pejogging di pagi itu, bahkan penjual jasa pijat bermomor dada belum muncul. Tapi keramaian yang dirasakan Ray dan Audrey lebih bermakna di dalam dada, daripada sekedar pandangan mata. Dan itu membuat pagi semakin indah, seiring dengan canda dan tawa yang keluar dari mulut mereka.

Ray berhenti setelah ombak menyapu lututnya. Audrey berhenti juga, tak berapa jauh dari Ray. Tertawa, si gadis meraih air dengan talapak tangannya.
"Ray, lihat sini!" seru si gadis, tapi Ray tak bergerak. Audrey menjatuhkan air yang sudah di dalam telapak tangannya. Gadis itu melangkah sampai ke samping si pemuda. Membungkuk, gadis itu melihat mata Ray mengambang menuju horison.
"Kenapa, Ray?" tanya Audrey sambil berbisik. Ray tak menyahut beberapa lama, sampai akhirnya pemuda itu menoleh dan tersenyum.
"Aku jadi ingat, waktu kamu dulu pernah bilang alasan kenapa kamu manjangin rambut," ucap si pemuda kemudian. Audrey balas tersenyum, lalu menyusupkan sebelah lengannya ke ketiak Ray. Kepala Audrey menyandar di bahu si pemuda.
"Jadi mermaid," bisik Audrey. Ray mengangguk perlahan, lalu memalingkan kembali wajahnya jauh ke barat.
"Puteri duyung," desis Ray.
"Mau lihat ada apa di dalam laut...."
"Kebebasan."
Audrey mengangguk,"Ya, kebebasan."
Mereka sama-sama diam, sama-sama memandang jauh.

"Ray, kamu tampak begitu, uh, aneh....," bisik Audrey, membuang keheningan.
"Kenapa?" tanya Ray, "Karena aku tak bertanya-tanya?"
Audrey tak menyahut beberapa lama, lalu mengangguk.
"Lan, ini Bali. Tempat ini namanya Pantai Kuta."
"Lalu?"
Ray menundukkan kepala, menekan wajah Audrey ke atas dengan pipinya. Satu kecupan lembut mendarat di bibir si gadis.
"Aku ngga bisa ngelakuin ini di jalanan Surabaya."
"Di Jakarta juga tak pernah," bisik Audrey, matanya terpejam.
"Di sini aku bisa," ucap Ray kemudian.
"Aku tak paham."
"Inilah kebebasan. Jangan pikirkan apa-apa lagi."
Audrey tersenyum, mengangguk lalu melumat bibir Ray. Hanya semenit sebelum Ray menarik tubuhnya menjauh. Pemuda itu lalu mengedipkan mata dan berkata, "Jadi, mau lihat apa yang ada di dalam laut?"
Audrey menatap heran, saat pemuda itu mengangkat sebelah lengannya yang memegang sandal, lalu melontarkan sandal itu jauh-jauh ke tepian pantai.
"Hey, tunggu!" seru Audrey, ketika Ray berlari ke tengah air laut. Gadis itu tertawa saat Ray menerjang ombak.
"Lemparkan sandalnya!" seruan Ray terdengar, "Nanti kita beli lagi!"
Audrey terkekeh, melemparkan sandalnya ke pantai sekuat tenaga, lalu berlarian menuju Ray.

Ombak memainkan jiwa mereka, tubuh mereka.
Tapi ombak menghapus semua beban mereka.
Tertawa, bercanda, bersenda gurau.
Terseret dan terhanyut ke tepian, untuk maju lagi menerjang.

Satu kesempatan, Ray memeluk tubuh Audrey erat-erat. Berdiri membelakangi arus, Ray membiarkan tubuhnya melindungi Audrey dari tamparan ombak.
"Lan," bisik Ray, matanya menatap mata gadis di depannya, "ini satu kenyataan dari impian yang belum pernah kita wujudkan. Kamu dan aku."
Audrey mengangguk, "Tapi sekarang kita di sini."
"Ya, kita di sini. Menikmati segala sesuatunya."
"Ray, aku rindu........."
"Ssshhhh," Ray berbisik, membekap bibir Audrey dengan bibirnya. Tepat saat sebuah ombak setinggi kepala menghantam dari belakang. Ray terseret enam langkah menuju pantai. Bibir mereka terasa asin, dan mata memanas. Ray menyembul keluar dari air, nafasnya tersengal. Didapatinya Audrey beberapa langkah lebih jauh darinya, sibuk menyeka wajahnya sendiri. Ray tertawa, berjalan menuju Audrey dan meraih lengan gadis itu.
"Ayo, kita terjang ombak sialan itu, terus kita ciuman lagi di sana."
Audrey terkekeh, mengangguk, mengikuti langkah Ray.
Mereka berciuman lagi, dan ombak kembali menerjang.

Persis seperti dulu, saat pertama kali mereka bertemu.
Banyak hempasan, saat kemesraan itu datang.
Mungkin lebih dari sekedar air yang membelah saat kaki kokoh menancap.
Tapi tetap saja membangkitkan semangat pemberontak yang lama lelah lenyap.

-o-

"Jangan jauh-jauh, Lan," ucap Ray, mendudukkan tubuhnya di belakang Audrey. Jemari pemuda itu lalu memijat kepala gadis di depannya. Busa-busa mulai bermunculan di sela jemarinya.
"Hmmm, enak," sahut Audrey. Ray tersenyum, meraih rambut panjang si gadis, dan mulai membersihkannya. Beberapa menit Ray membuat gadis itu diam, menikmati pijatan-pijatan lembut di kepalanya. Audrey mengerang saat jemari Ray terangkat.
"Lagi," bisik Audrey. Ray tertawa, mengambil shower dan mulai membasahi rambut si gadis. Audrey mengerang protes, tapi Ray malah mengguyur seluruh tubuh gadis itu. Gusat, Audrey membalikkan tubuhnya, merebut shower dan ganti membasahi tubuh Ray. Pemuda itu terkekeh-kekeh.
"Aku yang keramasin kamu sekarang," ucap Audrey. Ray mengangguk. Gadis itu meletakkan shower, lalu mengambil botol kuning dari pinggir bath tub. Semenit kemudian ia mulai sibuk mengeramasi Ray.

"Hey, Ray," Audrey memanggil, sementara jemarinya masih sibuk bekerja.
"Hmmm?"
"Bagaimana kamu bisa?"
"Bisa apa?"
"Tidak menanyakan apapun? Bahkan kabarku?"
"Aku sudah bilang tadi kan?"
"Apa?"
"Ngga mikirin apapun?"
"Uhh," Audrey menggumam, "tapi ngga ngerasa kalau itu aneh benar?"
"Kenapa aneh?"
"Yah, kamu dan aku bercinta semalam. Juga tanpa ada pertanyaan apapun. Begitu saja terjadi. Semua canda tawa. Seolah tak ada masalah apapun."
"Lalu, ada masalah apa?"
"Entahlah. Setidaknya, tanyakan bagaimana kabarku."
"Ya, bagaimana kabarmu, Lan?"
Audrey tertawa, mendorong pelan kepala Ray.
"Konyol."
"Lha, aku kan bertanya, kok malah salah?"
"Iya ya?" sahut Audrey, tersenyum, "Aku baik-baik saja. Kamu?"
"Aku? Mungkin kalau aku sebulan di sini aku bakal bilang baik-baik saja."
"Hmm. Masih penuh problema dan misterius."
"Eh...?" Ray menggumam. Audrey tertawa, meraih shower dan mulai membersihkan kepala si pemuda. Ray ikut tertawa, lalu menempelkan pipinya di lengan Audrey. Gadis itu menghentikan gerakannya dan menarik kepala Ray ke dalam pelukan. Lama mereka terdiam dalam posisi demikian.

"Lan," akhirnya Ray berbisik, "aku memang merindukan kamu."
"Hmmm," Audrey mengecup kening basah Ray.
"Aku punya sejuta pertanyaan. Mungkin sejak dulu kusimpan. Tapi...."
"Kenapa ngga nanya?"
"Aku....," Ray terdiam sejenak, ".....aku takut akan merusak segalanya."
"Segalanya?"
"Ya. Pertemuan ini. Semuanya. Aku cuma takut."
Audrey tertawa kecil, mendekap kepala Ray erat-erat, menciumi ubun-ubun kepala pemuda itu. "Ray," bisik si gadis, "kamu lebih bodoh daripada aku."
"Mungkin," bisik Ray, "aku ngga mau membebani otakku dengan pemikiran yang macam-macam. Aku ngga mau kehilangan setiap waktu pun, aku ngga...."
Audrey menarik kepala Ray mundur, melumat bibir pemuda itu.
"Aku tahu. Aku paham benar. Tapi sekarang...aku... mau....," desah Audrey.
Mereka lalu bercinta. Dari kamar mandi sampai ke tempat tidur. Dari siang sampai gelap menjelang. Satu lagi senja terlewatkan.

Petang itu mereka habiskan dengan berjalan-jalan sepanjang Kuta Center. Memesan tiket pesawat untuk hari Jumat. Lalu dinner di R.Aja's, sebuah rumah makan yang pertama kali direkomendasikan Rose pada Ray. Tak ada perbincangan yang menjurus pada apa yang terjadi selama tahun-tahun terakhir. Semua seputar masa lalu yang bahagia. Tentang sahabat-sahabat yang sudah menjalani kehidupan masing-masing. Perbincangan yang ber-setting masa kini cuma cerita tentang Jay, `soul brother' Ray, dan hubungan unik yang terjadi antara Jay dan Kat di Surabaya. Audrey tergelak saat Ray menceritakan bagaimana terkejutnya Kat saat melihat Ray datang bersama Jay, lalu segala kejadian a la film Cruel Intentions.

Setelah itu mereka berjalan-jalan dan berbelanja. Ray sempat menggeleng-gelengkan kepala melihat Audrey berbelanja tanpa menawar. Mungkin Ray sempat sedih melihat penuhnya dompet si gadis dengan lembaran-lembaran merah proklamator, tapi Ray menepis semua imajinasi buruknya dengan tertawa, bercanda, dan merokok.

Malamnya mereka bercinta lagi, dan terbaring kelelahan sampai datangnya telepon dari Rose, yang mengatakan bahwa ia dan sahabat-sahabatnya ada di lobi hotel.
Ray mengenalkan Audrey, dan Rose mengenalkan teman-temannya. Setelah perbincangan yang diselingi gelak tawa, Rose dan teman-temannya pulang.

Ray dan Audrey kembali berdua. Satu senyuman nakal, dan Ray menggandeng Audrey kembali ke kamar. Bercinta, dan bercinta terus seperti orang gila.

Tak ada pemikiran yang membebani.
Tak ada titik-titik yang harus diisi.
Tak ada tanda tanya yang harus terjawab.
Ray tahu ia sudah kembali dalam ruang kecil itu.
Ray tahu Audrey pun menyadarinya.
Di `dunia kecil'.
Dunia yang penuh kebebasan.
Dunia yang terasing dari dunia masing-masing.
Persis seperti apa yang pernah mereka berdua jalani. Ray dan Audrey.

Day 4

Ray terbangun, tersenyum saat mendapati Audrey sedang menatap dirinya. Pemuda itu menekuk tubuhnya, lalu menyusupkan kepalanya di dada telanjang si gadis. Audrey tertawa kecil, membetulkan letak selimut, dan memeluk kepala pemuda itu.
Tak ada satu katapun yang terucap di antara mereka. Tak satupun yang ingin. Semua seolah tersedot oleh kemesraan yang luar biasa, yang muncul di sela kehangatan yang keluar dari tubuh masing-masing.
Lama kemudian, sampai terdengar Audrey bersenandung lirih.
"My love... there's only you in my heart.. the only thing that's right..."

Ray tak bergerak, mendengarkan dengan mata terpejam, kata demi kata yang keluar dari bibir Audrey. Lirik yang dahulu mereka sering nyanyikan bersama. Saat-saat mereka berdua menatap jauh ke arah langit tanpa batas, mencoba membayangkan apa yang terjadi seandainya mereka bertemu dalam kondisi yang `pas' di mata orang-orang. Seandainya tak perlu ada dunia kecil sebagai syarat untuk terus bersama.

Lalu lagu itu pun berakhir. Ray sadar, matanya sudah basah. Luka itu melebar lagi di hatinya. Perasaan tak ingin berpisah itu mencuat kembali. Kebekuan yang sudah lama terbentuk seolah beroleh secercah kehangatan untuk mencair, membebaskan sebuah jiwa yang selama ini terbelenggu.
"Ray," Audrey berbisik, jemarinya meraba rambut pemuda di pelukannya.
"Hmmm?" gumam Ray.
"Kamu menangis? Menangis untukku?"
Ray menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku hanya mengantuk."
"It's okay, Ray. Semua orang yang mengalami duka sudah wajar untuk menangis."
"Aku hanya mengantuk."
Audrey tertawa lirih dan berkata, "Kamu mau aku nyanyi lagi?"
"Mau," bisik Ray, "tapi lagu yang lain."
"Apa, Sayang?"
"Hmmm. Ray bobo..oohh... Ray bobo...."
"Hihihi."
Ray tersenyum. Kehangatan itu nyata.
"Ray?"
"Ya?"
"Aku sayang kamu. Meskipun itu berat. Tapi aku lebih suka mengatakannya daripada menyimpannya dalam hati."
"Berat...hmmm....," Ray menggumam, "ya... itu memang berat. Tapi itu satu-satunya yang tak salah untuk diucapkan."

"That's how darling.. it's incredible... how someone is so unforgetable...," Audrey bersenandung lagi. Ray mengangkat lengannya, memeluk pinggang Audrey erat-erat. Membiarkan semuanya lepas kini. Air matanya, isaknya yang menyusul kemudian. Suara Audrey pun semakin serak. Keheningan menjadi akhirnya.
Lama. Lama sekali. Hanya berdekapan. Menangisi nasib yang tak menentu. Semuanya terjadi persis seperti saat pertama kali mereka berjumpa. Ray dengan masalahnya. Audrey dengan masalahnya. Dan kehangatan yang muncul juga sama persis. Tak ada bedanya. Kenyamanan itu juga.

Tapi tak ada ketenangan.

"Malam nanti malam terakhir," gumaman Audrey terdengar. Ray menganggukkan kepalanya, tak menjawab dengan kata-kata.
"Ray, bertanyalah," bisik Audrey, "apapun tentang diriku yang kamu ingin tahu."
"Kenapa aku harus?"
"Itu berarti kamu memikirkan aku."
"Aku ngga mau. Itu akan membuatku luka."
"Ray. Kita sudah terluka sejak dulu. Sejak kita berpisah. Kamu juga tahu itu. Luka itu ngga bakal bisa menutup. Apapun yang terjadi," ucap Audrey, menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan, "Kecuali kamu menarikku. Tapi kamu takkan melakukannya, bukan? Kurasa halangan bukan lagi dariku. Tapi dari dirimu sendiri."

Ray termenung. Apa yang dikatakan Audrey memang benar. Semua sekarang ada di dirinya. Ia bisa saja merengkuh Audrey, mendapatkan cintanya yang telah lama hilang. Takkan ada lagi yang menghalangi mereka, terutama dari pihak Audrey. Tapi dari dirinya? Ray sadar, itu semua tak semudah yang ia inginkan.

"Aku tahu, Ray. Bahkan sejak dahulu aku memutuskan untuk menerjang semuanya bersama kamu. Kamu terluka. Luka yang amat parah. Sakit di otak dan di hatimu. Aku sudah tahu, aku takkan bisa memiliki kamu.
"Waktu itu kamu memaksakan dirimu untuk menyeretku. Aku juga tahu itu. Kamu tak menginginkannya. Tapi kamu tak melawannya. Lalu kamu terluka lagi. Sekarang, aku bahkan tak punya secuil pun pikiran kalau kamu mau menyeretku sekali lagi."

"Lan....."

"Ssshhh, Ray. Kamu menciptakan dirimu menjadi seorang bayi besar. Polos. Tanpa kebencian. Tanpa rasa suka. Tanpa bahagia. Tanpa sedih. Hanya kebiasaan yang membuatmu tetap hidup. Katakan kalau aku salah."

"Tidak... kamu benar...."

"Makanya aku ingin kamu bertanya padaku. Sehingga bisa kuceritakan tentang lukaku padamu. Seperti yang sudah pernah kau ceritakan padaku dulu. Sesuatu yang membuat perbedaan antara kamu dan aku. Sesuatu yang membuatku tetap hidup dan berjalan di atas kedua kakiku."

"Kamu tak perlu cerita. Aku sudah tahu."

"Hmm," Audrey menghela nafasnya, "pemahaman dirimu jauh berbeda. Tidakkah kau sadar bahwa pemahaman seorang bocah, yang tahunya bahwa hidup hanya hitam dan putih, tak berlaku di dunia nyata?"

"Kelabu....."

"Bagus. Kamu tahu. Tapi kamu tak mau paham. Bertanyalah, Ray."

"Aku cuma ingin tahu kenapa."

"Karena....," Audrey mulai bercerita. Ray terpukul. Ia tak mengerti. Dan tak mau mengerti. Semua yang diceritakan Audrey seperti sebuah kebodohan tak berdasar. Satu demi satu kata menghantam lubuk nalarnya. Gadis itu berjalan. Berjalan terus. Maju ke depan. Tak sekalipun mundur atau berkelit dari kenyataan. Ia mencari celah sempit di antara semak berduri. Kulitnya terluka, tapi tak sampai ke daging. Sesuatu yang bertolak pikiran dengan Ray, yang lebih memilih untuk melompati semak, atau mencari jalan memutarinya.

"........itulah Ray. Kepedihan yang membuatku semakin kuat hari demi hari. Tapi aku bukan zombie. Bukan pula seorang bayi yang polos. Bukan bocah yang lugu. Aku seorang wanita. Itulah bedanya. Kamu mengerti?"

"Tidak, aku tidak mengerti. Dan aku tak mau tahu."

"Baiklah, tapi boleh aku bertanya, mungkinkah kamu menyeretku?"

"Aku tidak tahu."

"Oke. Satu lagi, bagaimana kita akan menghabiskan hari ini?"

"Dengan tak memikirkan apapun."

"Baiklah, Ray. Baiklah."

Audrey tak lagi mengungkit perbincangan pagi itu. Ray juga tak ingin memikirkannya. Hari itu mereka habiskan dengan bersenang-senang. Berenang, ke pantai, menerjang ombak, berbelanja di Poppis Lane. Mencobai berbagai kalung dan baju. Membuat para penjual geleng-geleng kepala dengan tawaran yang menyakitkan kuping. Tertawa bersama saat Ray membelikan asbak totem sebagai oleh-oleh untuk Jay, dengan alasan bahwa Jay sangat mirip dengan sosok hitam si totem.

Ketika malam tiba, mereka berangkat ke Hard Rock Cafe. Menghabiskan waktu di sana. Bergembira. Bergoyang di floor sampai pukul tiga pagi waktu Indonesia tengah.

-o-

"Hahahaha," Ray tertawa, "kamu jojing seperti orang gila."
Audrey ikut tertawa, lalu mengencangkan pelukannya di lengan Ray. Ray tersenyum, dan tawa mereka pun terhenti. Ada sesuatu dalam diam yang membuat masing-masing menikmatinya. Mereka berdua melangkah menelusuri trotoar, kembali ke hotel yang letaknya tak terlalu jauh.

"Aku dingin," bisik Audrey. Ray menarik lengannya dari pelukan Audrey, lalu melingkarkannya ke bahu si gadis.
"Seperti dulu, waktu di puncak," gumam Ray. Audrey merapat ke dada pemuda itu.
"Aku ngga pernah lupa rasanya," bisik si gadis lagi.
Beberapa langkah kemudian, Ray berhenti. Pemuda itu melepaskan pelukannya, memutar tubuh menghadap Audrey. Mata mereka berdua bertatapan.
"Aku nyaris lupa rasanya, dan itu kesalahanku," Ray mendesah, lalu mengecup bibir gadis di depannya. Mata keduanya terpejam. Tubuh mereka merapat. Ada gejolak dalam hati masing-masing. Ada kerinduan, ada kasih sayang, ada kehangatan, ada bahagia, ada sedih, dan mereka sadari........ bahwa cinta itu ada di sana.

"Lan, ikut aku ke Surabaya. Jangan kembali ke Jakarta," Ray lah yang pertama kali mengungkapkannya. Tak ada satupun lagi yang mampu menghalangi si pemuda dari berkata demikian. Beberapa menit tak ada jawaban dari Audrey, hanya kepala si gadis yang tertarik dari hadapan Ray, dan jatuh ke dada si pemuda.
"Ray," Audrey akhirnya berbisik, "kamu akan mengulangi kesalahan yang sama?"
Ray terdiam. Tak mampu mengatakan apapun. Sekarang baru ia merasakan betapa kesedihan itu muncul setelah sekian lama mengintai dari sudut-sudut sempit hatinya, menunggu sampai ia merasakan kembali cinta di hatinya.

Semuanya kesalahan yang sama. Cinta. Sumber dari egoisme.
Egois, saat ia tak memikirkan apapun selain kepuasan diri sendiri.
Saat ia lupa, bahwa banyak hal yang berkutat di luar `dunia kecil'.
Hal-hal yang tak dapat lagi disatukan secara paksa.
Yang kalaupun bisa, hanya akan menimbulkan lebih banyak konflik.
Lebih banyak duka.

Kesedihan Ray yang paling mendalam, saat ia menyadari bahwa hal-hal itu sekarang berasal dari dirinya sendiri. Terlalu banyak yang terjadi selama ini. Semenjak perpisahannya dengan Audrey. Ada Upay, Jay, Andre. Ada Nia, Meta, Aya, dan gadis-gadis lain.

Ada Moogie...........

Audrey mendadak menarik tubuhnya dari dekapan Ray. Gadis itu tersenyum, meskipun Ray bisa melihat matanya yang basah. Ray menggunakan ibu jarinya untuk mengusap air mata di wajah si gadis.
"Ray," ucap Audrey, "bukankah kamu yang bilang jangan mikir apapun?"
Ray tersenyum, mengangguk walau hatinya pedih. Audrey membalikkan tubuh dan berseru sebelum berlari, "Ayo, Ray. Kejar aku sampai ke hotel."
"Hahaha. Lari yang kencang!" seru Ray, menggerakkan kakinya mengejar.

Di hotel, mereka bercinta sampai matahari terbit.

Day 5

Dua pasang mata itu menatap jauh ke landasan pacu. Ada pantai di kejauhan, dengan ombak yang silih berganti. Langit terlihat begitu cerah, dengan awan biri-biri yang menggumpal dari arah horizon. Pohon-pohon di sepanjang landasan terlihat bergoyang, menandakan angin bertiup sedikit kencang.

"Kita pulang," bisik Audrey. Ray, masih menatap jauh, mengangguk sambil tersenyum.
"Ya, kita pulang," ucap Ray kemudian. Jemari pemuda itu semakin erat menggenggam jemari gadis di sampingnya.
"Aku ke Jakarta, kamu ke Surabaya," lagi Audrey berbisik.
"Cuma setengah jam lagi."
"Ya."
"Aku ngga tahu mesti ngapain di sana."
Audrey menoleh dan tersenyum, mendekatkan tubuhnya dan mengecup pipi Ray. Pemuda itu menoleh, dan balas tersenyum.

"Ray bodoh, kamu akan hidup seperti biasa," ucap Audrey. Ray memalingkan wajahnya kembali ke jendela dan menggeleng, "Entahlah. Aku mungkin bisa kembali seperti biasa. Tapi kurasa empat hari ini, bersama kamu, akan membuat segalanya lebih berbeda."
"Aku tidak bisa munafik, dengan mengatakan bahwa aku takkan demikian," Audrey berkata, menempelkan keningnya di pundak Ray.

"Semua terlalu cepat. Tapi menyisakan terlalu banyak," bisik Ray, setelah keduanya terdiam beberapa saat. Audrey tak menyahut, menggesekkan pipinya di lengan si pemuda.
"Tapi kurasa kita tidak salah lagi, Ray," Audrey berkata lirih.
"Aku ngga yakin masalah itu. Kamu?" tanya Ray.
"Entahlah. Mungkin hanya itu yang bisa kukatakan."
"Kita lihat saja. Kalau itu salah?"
"Kamu harus hubungi aku secepatnya."
"Kalau itu benar?" tanya Ray sekali lagi.
"Berarti........," Audrey berhenti berkata-kata.

"Berarti kita sudah dewasa," bisik Ray.
"Ya. Kita sudah dewasa," sahut Audrey, juga berbisik.

Dan keduanya termenung. Mencoba memahami apa yang telah terjadi selama empat hari yang mereka habiskan bersama. Dari kenangan yang terusik, dari segala rasa yang kembali terungkap, dari kebahagiaan yang tak dapat dipungkiri, sampai sesuatu yang membuat mereka merasa seperti orang bingung di jalan tak berujung.

-o-

Ray melepaskan sabuk pengamannya. Mengangkat tubuh dan hendak mengambil tas yang ia letakkan di bagasi penumpang, saat matanya menatap sosok Audrey dua deret di belakang tempat duduknya. Mereka memang tak duduk bersama, seperti yang sudah mereka sepakati di biro perjalanan. Waktu itu, entah mengapa, keduanya merasa itulah yang terbaik, memberikan waktu bagi masing-masing untuk berpikir dan merenung.

Ray tersenyum saat melihat Audrey asik berbincang dengan seorang pria bertubuh tambun, bermata sipit, dan berpakaian eksekutif warna kuning. Pemuda itu mengambil tasnya dan melangkah menghampiri.
"Lan," panggil Ray, gadis itu menoleh dan tersenyum tipis ke arahnya. Begitu juga dengan si lelaki tambun, yang menatap dengan pandangan kurang senang.
"Sepertinya kamu tidak turun di Surabaya," ucap Ray.
Audrey menganggukkan kepalanya.
"Jadi," kata Ray sambil menunduk, "aku pulang, ya?"
Usai berkata demikan, Ray mengangkat kepalanya dan menyeringai.
"Jangan khawatir, Lan," katanya, "I will survive."
"Ray," Audrey memanggil, lalu menyodorkan selembar kertas yang dilipat dua.

"Jangan dibuka sebelum turun," ucap si gadis sambil tersenyum. Ray mengangguk, memandang sekilas pada si lelaki tambun, lalu membalikkan tubuh. Ada cemburu di hati si pemuda, yang harus segera dihilangkannya.

Ray membalikkan tubuh di depan pintu masuk bandara. Melihat pesawat yang masih diam di tempatnya. Sepuluh menit lagi pesawat itu akan lepas landas. Membawa serta semua yang tak mungkin lagi bisa diraihnya. Semua merupakan bagian dari masa lalu yang pahit. Seorang gadis bernama Audrey yang pernah membuatnya merasakan bagaimana cinta itu benar-benar ada dalam dirinya, dan yang membuktikannya sekali lagi setelah sembilan tahun berselang.

Teringat sesuatu, Ray merogoh kertas di sakunya. Pemuda itu membuka dan membaca kata demi kata yang tertulis rapi:

"Aku mencintaimu, Ray. Dahulu, sekarang, dan selamanya. Kejarlah pesawatku. Ambil aku dan mari kita merasa bersalah karena saling mencintai. -lan-."

Ray tersenyum, matanya lembali menatap nanar ke arah pesawat. Masih cukup waktu baginya untuk mengambil keputusan.

Tapi kakinya begitu kuat menancap di tanah.

Ini Surabaya. Ini kehidupannya.
Banyak yang mengharapkannya, lebih banyak lagi yang tak bisa dikesampingkannya.

Jemarinya meremas kertas itu menjadi gumpalan. Ray membawa gumpalan itu ke bibirnya, mengecup, lalu membuang kertas itu jauh-jauh.
"Thanks, Lan, tapi jangan lagi dunia kecil," bisiknya pada udara. Ia tahu Audrey masih bisa melihatnya dari tempat dimana gadis itu duduk.

Membalikkan tubuh, Ray merasa kakinya tak lagi berat. Menyeringai, pemuda itu melangkahkan kakinya. Mantap. Tanpa ragu-ragu. Sejenak ia merasa sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Mungkin kebekuan yang selama ini bersarang di hatinya berkurang lagi beberapa persen. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa benar-benar menjadi seorang manusia biasa.

Ray tak perduli lagi dengan David, yang pasti menunggu kabar baik darinya di Surabaya. Ia sudah berkata tak ingin memikirkan apapun selama bersama Audrey, dan ia benar-benar melakukannya. Lagipula Ray berpikir, untuk apa? Sementara ia bisa saja menelepon Audrey setiap saat dan meminta bantuan, yang ia tahu takkan ditolak oleh si gadis.

Jay menjemput Ray di bandara. Pemuda itu tertawa melihat sahabatnya bertambah hitam. Setidaknya sampai beberapa minggu ke depan, mereka akan benar-benar menyandang predikat `saudara kembar'.

Satu pertanyaan Jay di dalam mobil.
"Apa yang terjadi di Bali?"
Ray hanya tersenyum, menatap ke arah pohon-pohon dan gedung yang berlari.

"Apa? Hanya sebuah proses menyadari bahwa cinta itu sifat manusia yang takkan pernah hilang. Dan yang terpenting, ada satu sisi baik sekaligus yang menakutkan dari cinta selain hasrat memiliki, yaitu: keabadian. Aku sudah lupa tentang hal itu, tapi seseorang mengingatkannya lagi padaku."

Jay mengangguk, "Cinta memang rumit."
"Ya. Begitulah. Omong-omong, mana mobilku?"
"Dipinjam Hendro. Eh, ngerokok dulu! Ngerokok dulu!"
"Whoaa!!!!"

Demikianlah, Ray mencoba melupakan segala kesedihan dan beban pikirannya, dengan tertawa, bercanda, dan merokok.

Entah dia bakal lupa atau tidak, hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerita Dewasa / Cerita Seks dengan judul Cerita Dewsa - Selamat Pagi Cinta 2. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://belajartrikjitu.blogspot.com/2011/12/cerita-dewsa-selamat-pagi-cinta-2.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Monday 5 December 2011

Belum ada komentar untuk "Cerita Dewsa - Selamat Pagi Cinta 2"

Post a Comment