Monday 5 December 2011

Cerita Dewasa - Namaku iLalang

Namaku Ilalang
Namaku Ilalang. Itu nama sejenis rerumputan. Aku sengaja menggunakan nama ini, karena dalam pengamatanku tumbuhan ilalang gampang hidup dimana-mana. Berserak di pepinggiran jalan. Ia menjadi saksi dari setiap kejadian di sekelilingnya, tanpa harus menonjolkan diri. Tapi terus terang, ada juga kegetiran di situ. Ilalang tak pernah diperhatikan makhluk lain, tak sebagaimana tumbuhan mawar atau melati. Ia terkucil sendiri. Dan kadang, sesekali dalam hidupku aku juga merasakan itu. Jangan heran bila nanti di beberapa tulisanku, nada getir ini bakal kental terasakan. Anggap saja itu perspektif penulis yang tak perlu diindahkan.

DIARY (1): TERAMUK GELOMBANG

Pagi itu Lang mulai hari dengan hati gembira. Seperti biasa, Kamis ini ia musti siaran radio jam 12 siang. Siaran untuk mengantar pendengar menikmati istirahat makan siangnya. Lang paling suka siaran jam-jam segini, hanya perlu sesedikit mungkin bicara, dan lebih banyak memilih lagu dengan beat-beat rada tenang, sekedar membangun suasana istirahat yang nyaman.

……(sebuah opening tune terdengar)….Hallo kawan muda, jumpa lagi dengan Deva di 108.5 FM. Udah siap maksi atau masih terbenam dalam pekerjaan Anda? Terlalu banyak PR yang harus Anda kerjakan rupanya. Tak perlu berkeluh kesah, Deva akan menemani Anda hari ini hingga pukul 13 nanti dengan tembang-tembang manca negara…. dan sebagai pembuka terimalah Phil Collins dalam Both Side of the Story.

Jemari Lang menurunkan panel mike di mixer dan menaikkan volume CD player 2, dan menurunkan volume CD player 1 di track mixer secara bertahap, hingga fade in dan fade out antara opening tune dan intro lagu itu terdengar mulus di telinga.

Deva adalah nickname siaran Lang. Tanpa terasa hampir dua tahun ini suaranya mengudara menambah sibuk frekuensi di pelataran udara sana. Ia menikmati kegiatannya itu di antara kesibukannya kuliah dan mengasuh anak. Asal tahu saja, usia Lang baru 22 tahun, tapi gadis ini sudah naik nikah dua tahun yang lalu. Meski sudah menikah ia tetap melanjutkan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi negeri di kotanya itu.

Suaminya, Denni terpaut 15 tahun lebih tua dari Lang. Ia adalah salah satu dari penyiar senior di radio yang sama. Selain siaran, Denni juga menjadi AE di radio itu. Dari honor mereka inilah, kebutuhan keluarga itu terpenuhi.

Dari perkawinannya itu mereka dikarunia seorang anak laki-laki, Randu namanya, baru 1 tahun usianya. Bocah itu membetot simpati siapapun yang melihatnya. Wajahnya bundar lucu. Matanya belok seperti ibunya, menyiratkan kecerdasan. Lang sayang sekali kepadanya. Sesekali diajaknya bocah itu ke tempat kerjanya ini, tapi kebanyakan ia menitipkannya di rumah ibunya setiap ia berkegiatan.

Mulut Lang ikut bersenandung, ketika pintu boks siarannya terbuka.

"Lang, ntar malem elo jadi bisa rekaman gak," kepala Abi muncul dari balik pintu itu. Abi adalah produser musik kontemporer di radio itu.

"Hmm…kayaknya bisa deh. Mulai jam 9 malam aja yach?"

"Oke, no problem. Ruang rekaman 2 bebas kok kita gunakan sampai jam berapapun," tutur laki-laki itu.

"Kita jadi mo garap Enigma?" tanya Lang sambil memasukkan kaset ke CD satu, yang bakal jadi player lagu kedua.

"Yupp, itu aja. Ntar kita padukan dengan suara gambang. Aku pengen kita bereksperimen dengan gamelan jawa. Gimana menurut elo?"

"Yeeee…kan elo yang punya konsep. Soal gamelan kan aku blank sama sekali, jadi elo aja deh yang leading. Aku cukup bantuin elo meng-colect source suara yang lain, kay? Rekaman detak jantung gue jadi kepakai kan? Semalam aku juga sudah mampir kok ke Stasiun Tugu untuk ambil suasana pemberangkatan kereta. Jadi kayaknya udah lengkap deh kebutuhan kita," jawab Lang nyerocos aja.

Abi menahan senyum melihat kata-kata keluar dari bibir gadis itu bak metraliur.

"Oh, okay," sahut Abi sambil beranjak akan keluar boks siaran. "Tapi Lang…"

"Apa?"

"Elo serius nanti malam bisa kan?"

"Iya, serius dong, mosok main-main sih. Aku udah pamit kok ke Denni, dan dia bilang terserah, jadi ya lebih baik jalan lah," jawab Lang. "Kenapa sih Bi?"

"Eeh, nggak apa-apa…ingin memastikan saja kau akan ada di sini malam ini," kata Abi setengah terbata.

Lang sebenarnya agak heran melihat wajah Abi penuh keraguan. Tapi diam-diam ia bisa menebak apa yang ada di dalam hati laki-laki itu. Beberapa waktu ini dia mengamati perubahan sikap Abi kepadanya. Cara laki-laki itu memandangnya, gerak tubuhnya, suaranya ketika memanggil namanya, semua hanya mengacu ke satu arah, laki-laki itu mencintainya. Memang selama ini Abi masih berlaku sopan, menjaga jarak, tapi sebagai perempuan dewasa, ia tahu persis isi hati Abi.

Tiba-tiba ada rasa perih menyelinap….hhh….andaikata…..andaikata dia bisa membalas perasaan indah itu. Lang menjenguk isi dadanya sendiri, tatapan Abi selalu menembus relung hatinya. Kadang ia tergoda membiarkan dirinya terbuai dalam perasaan itu. Membiarkan tatap kasih Abi membasuh rasa kering yang ia rasakan dari perkawinannya sendiri. Tapi secepat niat itu terbersit di otaknya, secepat itu pula rasionya menolaknya. Tidak! Ia tak boleh terlena dengan tawaran madu yang sangat jadi bakal berbuah kepahitan itu. Dia bertekad menjaga kehormatannya sebagai seorang istri.

Dada Lang tiba-tiba terasa sesak. Beban, yang selama ini dirasakannya menyeruak. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres antara dia dan Denni, tapi ia tak mampu mendeskripsikan apa masalahnya. Ia hanya merasakan hubungan mereka dingin. Keintimannya dengan Denni tak sehangat yang dia harapkan. Lang sangat suka dimanja, tapi suaminya biasa aja. Lang sangat ingin tidur sambil dipeluk, perlakuan yang menurutnya sangat biasa sebagai suami istri, tapi jangankan dipeluk, ketika tangannya menyentuh tangan Denni secara tidak sengaja dalam tidur seranjangan mereka, dengan cepat suaminya bergerak, seolah tak terencana meniadakan sentuhan itu. Tapi, Lang tahu persis, Denni menghindar!

Hhhh…apa yang salah dari dirinya? Ia memang tak begitu cantik, tapi wajahnya manis. Tubuhnya sintal berisi, terkesan enak dilihat malah. Tinggi berat 160/60 tak kentara di permukaan karena tubuhnya proporsional dan olahraga telah menjadikan badannya kencang. Moleg.

Otaknya pun cerdas. Tingkat kemampuan adaptasinya superhebat dan toleransinya sangat luas - hal yang sangat membantunya bertahan survive selama ini. Bahkan, ia menerima ketika ia harus bekerja karena gaji Denni tak cukup memenuhi kebutuhan mereka. Dan itu berarti dia harus membagi waktu antara bekerja, kuliah, dan mengurusi rumah!

Masih banyak sebenarnya kelebihan yang bisa dilukiskannya, tapi apa manfaatnya? Tidak ada! Suaminya tetap saja menganggapnya sebagai perabot rumah lainnya; meja, kursi, ranjang tidur, atau bak cuci yang bisa digunakannya, atau dibiarkannya penuh debu dan berlumut kerak.

Sementara, saat ini, kehadiran Abi begitu menggoda. Laki-laki itu begitu memahami dirinya. Ia tahu bagaimana membesarkan hati Lang, membuatnya tertawa dengan leluconnya yang kadang konyol itu. Abi kadang bahkan bisa menebak apa yang dipikirkannya tanpa ia menjelaskan panjang lebar.

Tapi….tapi….Abi bukan laki-laki bebas, ia suami Indi.

Abi dan Indi. Dua makhluk ini di mata Lang nyaris menakjubkan. Laki-laki itu kadang bercerita tentang kehidupannya dengan Indi yang penuh suka duka. Betapa Abi sangat mencintai istrinya itu, dengan caranya yang khas. Konsep cinta bagi Abi bukanlah sesuatu yang mengikat. Ia tak ingin mengikat Indi, sebagaimana ia haus akan kebebasannya sendiri. Abi mengaku kadang jatuh cinta kepada orang lain di luar istrinya, tapi ia menegaskan perasaannya kepada Indi tak berkurang sedikitpun. Ia mengaku jengkel ketika sesekali Indi tak dapat memahaminya dengan utuh.

Di sisi lain, Indi pun sering curhat kepada Lang! Ia mengeluhkan perilaku Abi yang sangat seniman dan impulsif, kadang bahkan kelewatan. Indi jengkel sekali ketika Abi beberapa kali mengaku cinta kepada perempuan lain, tanpa tedeng aling-aling! Ia mengakui perlakuan suaminya tak berkurang sedikitpun, tapi pengakuan semacam itu selalu membuat hatinya panas.

"Aku ini cuma perempuan Lang. Rasanya ingin aku mengakhirinya sampai di sini," kata Indi suatu saat. Tapi, Lang tahu persis, Indi tak bisa dipisahkan dari Abi.

Hanya ketika Abi ada di depannya, Lang mencoba mendeskripsikan perasaan perempuan yang paling enggan dibandingkan, apalagi dimadu. Sedangkan sewaktu Indi yang curhat kepadanya, maka Lang menyarankan agar dia kuat, memahami bahwa suaminya tak pernah berniat buruk kepadanya. Toh selama ini Abi hanya menjadikan perempuan-perempuan lain itu sebagai pacarnya. Sekedar inspirasi buatnya menciptakan nada-nada, berkarya sebagai pemusik. Tidak kurang, tidak lebih.

Tiba-tiba terbersit perasaat perih….jangan-jangan, perhatian Abi kepadanya selama ini juga hanya bagian dari spirit itu? Sekali lagi Lang melihat ke dalam dirinya: Lang sang Deva, memang inspiratif. Dan…ia juga bukan orang bebas. Itu pasti….hhhh…

"Lang…Lang…hoii, ngelamunin apa sih?" panggilan Abi membuat ia tersadar. Apalagi ketika laki-laki itu memberi tanda kalau lagu yang diputarnya hampir habis. Sambil tersenyum kecut Lang sigap memutar lagu di CD satu, setelah memberi pengantar kata secukupnya. Dan ketika dilihatnya Abi masih berdiri di dekatnya, menunggu jawabannya, Lang hanya bisa mengangguk, mengisyaratkan kesanggupannya hadir nanti malam.

"Sehabis aku menidurkan Randu, kay"

Baru saja Abi meninggalkan ruangan itu, ketika tiba-tiba Emma memberi isyarat pada Lang, mengatakan ada telepon untuknya di line 3. Lang menjawab dengan isyarat nggak mau diganggu siarannya, tapi gerakan bibir Emma mengatakan telepon itu penting sekali.

"Hhhh…siapa lagi sih yang gak tahu aturan. Udah tahu aku baru siaran gini kok malah ngeganggu," rutuknya, tapi diangkatnya juga gagang pesawat telepon yang terletak di samping kirinya itu.

"Hallo," ucap Lang.

"Apakah aku bicara dengan Lang?" suara laki-laki terdengar di seberang sana. Suaranya agak tidak jelas, seolah si penelpon sengaja menyamarkan suaranya. Nadanya juga bukan bersahabat, menggoreskan perasaan tak enak di hati Lang.

"Betul, siapa ini?"

"Tidak penting siapa aku. Kau lebih baik segera meluncur ke hotel Andika, kamar 120." Suara laki-laki itu terdengar tegas tak terbantahkan.

"Sekarang? Tidak bisa, aku siaran. Lagian untuk apa sih?" tanya Lang penasaran. Enak saja orang menyuruh-nyuruh dia. Emangnya mo dikemanakan jam siarannya.

"Terserah!!!! Tapi kau akan menyesal setengah mati kalau tidak ke sana sekarang juga. Ini berkait dengan masa depan rumah tanggamu!" suara itu semakin tandas, dan "klik…tuuutt…tuuutt…" telepon itu putus. Tampaknya laki-laki itu meletakkan teleponnya.

Lang tak habis pikir, untuk apa ia ke hotel itu? Apa sih yang bakal dilihatnya di sana? Apa yang dimaksud laki-laki tadi? Berkait dengan kehidupan rumah tangganya, kehidupan yang mana? Kehidupan 'tanpa rasa' yang ia pertahankan? Tapi suara laki-laki misterius di balik telepon tadi menyiratkan ancaman, ada nada yang membuat hatinya mencelos tak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Randu? Tapi tidak, ini pasti bukan karena anak semata wayangnya itu. Lantas?

Segera Lang memencet nomor telepon rumahnya, mencari Denni, tapi tak ada seorangpun yang mengangkat telepon itu. Rumah kosong. Kemana Denni? Bukankah tadi ini pamit nggak ngantor karena kepalanya pusing?

Sambil mengganti lagu demi lagu, tanpa lagi menggubris kata pengantar, Lang meneruskan pencariannya ke rumah orangtuanya. Ketika ibunya mengangkat telepon di seberang sana, Lang sedikit lega karena ternyata Randu di titipkan di sana.

"Setengah jam yang lalu Denni ke sini menitipkan Randu, trus mau ke dokter katanya," Ibu Lang menjawab. Ke dokter? Tidak biasanya Denni ke dokter hanya untuk sekedar sakit kepalanya yang biasa itu.

"Lang…." Ibunya memanggil di balik telepon.

"Ya?"

"Eh…eh…kalian baik-baik saja kan? Tidak ada sesuatu antara kau dan Denni kan?" suara ibunya terdengar berhati-hati sekali.

"Tentu saja tak ada apa-apa di antara kami. Memang kenapa sih?" tegas Lang.

"Hhhh, tidak. Tidak apa-apa," jawab ibunya.

Tapi jawaban ibunya itu bukannya menenangkan hatinya, justru semakin membuatnya terkesiap. Ia merasa ibunya menyembunyikan sesuatu. Pasti ada apa-apa. Pasti.

*****

wahai setan iblis penghuni neraka, bagi aku hangat nikmat dunia, mabokkan kesadaran dalam iming-iming, jebloskan nurani dalam kemaruk nafsu birahi

Dua tubuh itu bergumul sedemikian liar. Mereka saling berciuman, si laki-laki tampak gemas. Terlihat sesekali ia menggigiti bibir bawah si perempuan, sampai Windy, gadis itu berteriak manja. Dan ia membalas perlakuan itu dengan sama panasnya.

Windy sejak lama memang menginginkan laki-laki yang saat ini mencumbuinya itu. Paras laki-laki itu begitu tampan menarik. Kulitnya yang kuning langsat dan tubuhnya yang kekar itu membuatnya mimpi setiap malam. Dulu ia hanya bisa memandanginya saja. Situasinya jelas tidak memungkinkan dia mendapatkan perhatian dari lelaki itu. Tapi Seiring berjalannya waktu, Windy tahu harapannya tak bertepuk sebelah tangan. Setiap laki-laki itu datang ke rumah menitipkan ananknya, sinyal-sinyal saling terpancarkan dari kerling mata mereka. Mereka akhirnya berpacaran diam-diam. Dan ia tak keberatan ketika si lelaki mengajaknya bersebadan. Nafsunya sendiri selalu berkobar setiap dia berdekatan dengannya.

Lidah laki-laki itu kini berpindah menjilati payudara Windy, membuatnya menggelinjang penuh kenikmatan. Putingnya mengeras, nafasnya pendek-pendek, sudah tak beraturan, tanda nafsunya sudah di puncak. Laki-laki itu kemudian menyambar pinggang si perempuan agar lebih ke atas, tangannya menyambar sebuah bantal yang terletak tak berjauhan, mendorongnya ke bawah pantat si gadis. Tubuh telanjang gadis itu agak melengkung terganjal bantal, dan tanpa basa-basi laki-laki itu memegang kejantanannya, mengarahkan ke vagina si gadis. Kembali ia menindih tubuh langsing itu, menancapkan kejantanannya ke kemaluan yang masih sempit.

Laki-laki itu masih ingat betul. Ini kali ketiga ia menyetubuhi gadis ini. Dan tercetak dibenaknya betapa persetubuhan pertama telah memuaskan hatinya. Gadis itu masih perawan, dan dia, dia lah yang memerawaninya. Betapa beruntungnya dia. Dan kini, ia kembali bersetubuh dengan Windy. Gadis yang begitu muda, paling baru 17 tahun usianya.

Dengan posisi pantat terganjal, klitoris Windy yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika si lelaki kembali melanjutkan hujaman kelelakiannya, ia menggelinjang dan memekik merasakan sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan. Apalagi si laki-laki terus merangsang putingnya. Sesekali menggigitnya.

Windy menceracau di tengah kenikmatannya. Ditingkahi lenguhan si lelaki yang menggenjot pinggulnya lebih cepat. Dan tubuh-tubuh itu kembali bergerak ritmis, saling bergumul satu sama lain.

Persenggamaan itu hampir selesai, ketika sebuah ketukan terdengar di pintu kamar. Tak ada respon. Mereka tetap melecut nafsu demi nafsu untuk ke puncak. Ketukan itu kembali menggema. Masih didiamkan. Mereka ingin menyelesaikan senggamanya dulu. Sebodo dengan siapapun yang mengetuk kamar itu.

Ketukan itu berulang lagi, lebih keras. Gangguan berikutnya.

"Siapa?" teriak Denni gusar. Gelegak birahinya terhenti.

"Room service," terdengar lamat-lamat suara seorang wanita dari luar.

Flash. Suara itu seperti pernah di dengarnya. Seperti suara……, ah, pasti bukan dia, nggak mungkin dia tahu aku ke sini. Selak kata hatinya sendiri menghibur. Toh ia tadi sudah memastikan situasinya aman untuk pergi ke tempat ini. Tangan si lelaki kini meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia memberi tanda kepada kekasihnya yang masih tergolek setengah tidur agar bergegas masuk, bersembunyi di kamar kecil yang menyatu dengan kamar hotel itu. Windy pun beranjak menurut.

Dengan enggan laki-laki itu bersijingkat mendekat ke lubang fisheye di pintu yang memungkinkannya meneropong situasi luar.

Kekasihnya yang kini berdiri di pintu kamar mandi, yang berdekatan dengan pintu kamar itu menatapnya dengan pandangan bertanya,

"Siapa?" gerak bibir Windy berbisik

"Nggak ada siapa-siapa kok," bisik si lelaki menyeringai dan segera ditariknya tubuh bugil si wanita ke dalam pelukannya. Mereka kembali berciuman penuh nafsu, berusaha meluncaskan kembali birahi yang tertunda. Tapi, sebuah ketukan,…bukan ketukan…tapi gedoran kembali mendarat di pintu kamar itu. Gedoran itu bertalu-talu, menuntut agar pintu dibuka.

Si lelaki gusar kegiatan erotisnya terganggu, ia lepaskan pelukannya pada dari tubuh kekasihnya dan tangannya membuka pintu, siap menyemprot siapapun yang ada di luar. Tapi, ketika pintu itu telah setengah membuka, si lelaki spontan pucat. Jantungnya seolah copot melihat Lang, istrinya telah berdiri di luar dengan wajah kaku.

Lang mendorong pintu kamar hotel itu agar terbuka lebih lebar. "Aku menjemput Windy, dia ada di dalam bukan?" tanyanya dengan suara bergetar. Kentara sekali ia menahan tangis. Mukanya dingin, tak menunjukkan ekspresi apapun. Ketika dilihatnya Windy adik kandungnya berdiri terpaku tanpa busana di depannya ia cuma berbisik lemah.

"Pulang.."

Tak terbantahkan.

Lang tak lagi dapat menahan airmatanya mengalir di pipi. Ia membalik tubuhnya dan berjalan terhuyung menjauh dari kamar itu. Tubuhnya gemetar menahan tangis yang menyesakkan dadanya. Perasaannya beku. Kenyataan pahit yang baru saja dihadapinya telah membuat otaknya berkabut tak mampu diajak berpikir apa-apa. Kenapa mesti Windy? Kenapa harus adik kandungnya?

Di tengah isaknya, perlahan gontai Lang meninggalkan hotel itu. Berjalan kaki…. berjalan, dan berjalan. Arah bukan lagi penting. Ia bahkan tak peduli hendak kemana kakinya membawa. Orang-orang memandangnya heran, perempuan dengan derai airmata tanpa suara. Ia tak lagi peduli. Mereka hanya sosok tanpa makna.

Lang kebingungan merasakan rasa sakitnya. Tak pernah ia siap dengan perasaan seperti ini.

"Aku harus mengalahkan tikaman rasa perih ini! Lang, kau tidak boleh patah hanya karena kejadian ini. Kuat Lang, kuat," bibirnya berkemik lirih, berulang-ulang ia berkata pada dirinya sendiri. Tangisnya tanpa terasa berhenti.

Lang mencoba mengebaskan perasaannya. Dibiarkannya ingatannya semakin membeku. Tanpa sadar ia memblokir memorinya, mengubur dalam-dalam fakta yang tidak ingin dihadapinya. Bahkan di kemudian hari, ia tak ingat bagaimana ia sampai di hotel itu, dan menggunakan kendaraan apa.

Lang hanya ingat ketika Abi mengguncangkan tubuhnya yang terpaku diam. Merebut gagang telepon yang masih dipegangnya kuat. Menariknya keluar dari boks siaran, dan meminta penyiar lain menggantikan siarannya yg terhenti 2-3 menit tanpa suara.

Terngiang jawaban ibunya, yang akhirnya menjawab desakannya….

"Lang, tadi tidak lama setelah Denni pergi,…eh, eh…Windy juga tiba-tiba pamitan mau pergi ke tempat temannya,"

Lang diam…menunggu.

"Dan perasaanku tidak enak melihat kepergian adikmu itu,"

Dada Lang menyesak mendengar itu. Denny & Windy…sama sekali tak terpikir di benaknya. Mrngkinkah terjadi sesuatu di antara mereka? Inikah yang dimaksud si misterius tadi?

"Aku harus tahu," bisik Lang pada dirinya sendiri. Dan tak dipedulikannya lagi kelebatan orang yang melarangnya pergi.

Ternyata kekhawatirannya terjawab. Sangat menyakitkan.

Dan Lang sang Deva……hanya bisa menangis. Hanya menangis. Tangis tanpa suara, tanpa airmata. Tangis yang bahkan semakin tidak menemukan katupnya. Apalagi ketika ia tahu nanti, bahwa darah perawanannya lah yang jadi momoknya selama ini.

(Tuhan, kapan kau renggut darah perawanku?)

Cerita Dewasa - Dangerous Game

Dangerous Game
Hari Pertama - Berangkat.

Setelah pertandingan Denmark dan Senegal untuk piala dunia 2002 dengan skor 1-1, kita berangkat dengan menggunakan sebuah bus. Seminggu sebelumnya keberangkatan ini direncakan menggunakan kendaraan pribadi masing-masing. Oleh karena dirasa kurang kompak, dan rusaknya jalan pantura setelah Cikampek hingga sebelum Cirebon, serta kurangnya tempat parkir di tempat tujuan maka diputuskan untuk menggunakan sebuah bis saja.

Mudik kali ini bertujuan untuk mengikuti resepsi pernikahan saudara sepupu dari istri. Jadi bisa dibayangkan keluarga besar istri yang ada di Jakarta berangkat mudik dengan beberapa kali keberangkatan. Untuk para sesepuh ada yang diberangkatkan 3 hari sebelum kita berangkat, juga kerabat yang mempunyai peran penting dalam acara tersebut diberangkatkan sehari sebelum kita berangkat.

Aku sendiri berangkat tentunya dengan membawa istri dan anak-anakku. Kebetulan sekolah lagi diliburkan karena ada Ujian Akhir Nasional. Saat melakukan absensi sebelum keberangkatan ada beberapa orang yang tidak aku kenal, karena untuk keluarga dekat wajah-wajah tersebut tidak asing saat acara arisan keluarga setiap bulannya. Salah satunya sebut saja Linda, seorang Network Manager dari Multi Level Marketing sebuah bisnis dari Luar Negeri, tinggal di sekitar TMII. Salah seorang tante dari istriku bernama Lisye ternyata Sub-Network nya.

"Mas Budi, ini Jaketnya yah?" tanyanya, padahal aku tidak kenal dan belum berkenalan. Segera aku ambil jaketku yang tertinggal entah kapan dan di mana, seraya mengucapkan terima kasih. Manis juga, gigi taringnya ada yang ompong, bila tersenyum tampak manis. Dahi yang agak ke depan dengan rambut di high-light dengan warna coklat-kemerah-merahan, dan dikuncir kuda. Aku taksir berumur sekitar 30-35an, dari logatnya seperti orang jawa.

Dia duduk di kiri bangkuku bersama tante Lisye. Di dalam perjalanan beberapa kali dia melakukan kontak denganku, melalui tawaran permen atau makanan kecil lainnya. Beberapa kali pula mata istriku mengawasiku dari sebelah kananku.

Saat di Pemanukan, bis melakukan istirahat di sebuah rumah makan. Masih sempetnya dia menggodaku dengan menanyakan di mana letak toilet, padahal dengan jelas sekali tertulis kata toilet dengan arah panah. Tak berapa lama perjalan dilanjutkan, hari mulai gelap, lampu di dalam bus pun dimatikan. Esok pagi setelah subuh, kita sampai di tempat tujuan.


Hari Ke dua - Sampai tujuan dan jalan-jalan.

Beberapa orang dibagi penginapannya ke tetangga terdekat pemilik hajatan; sebetulnya tetangga tersebut masih kerabat dekat dengan keluarga istriku. Keluargaku beserta tante Lisye dan Linda dalam satu rumah.

Kemudian kita segera membersihkan diri. Takut keduluan aku segera menuju kamar mandi. Ternyata Linda dengan membawa cd, bra, dan kimono dari bahan handuk (kesemuanya bergambar donald duck - udah tua masih aja gila kartun!!) akan masuk ke dalam kamar mandi. Mengetahui bahwa aku akan mandi dia segera mengurungkan dan mempersilahkan diriku untuk duluan dengan alasan dia agak lama kalau mandi; maklum wanita katanya. Tawarannya aku terima. Saat aku masuk ke kamar mandi, dia permisi untuk mengambil pakaian dalamnya kecuali kimononya. Jadilah kita sesaat berdua di dalam kamar mandi. Takut terjadi pergunjingan segera aku keluar terlebih dahulu. Khan aku sedang di dalam kerajaan istriku. Bisa terjadi perang dunia kalau ada yang mengetahuinya.

Istirahat sebentar dan siap jalan-jalan sekitar kota.

Daerah ini jarang hujan. Walau demikian air sumur tidak begitu dalam, hanya 5 meteran, jarang terlihat mendung, selalu cerah dengan langit biru. Banyak tanah sawah retak-retak, sungai susut hanya tinggal seperti parit dengan air berwarna coklat. Bila malam langit cerah dan bermandikan bintang dan sinar bulan.

Bila siang panasnya cukup terik, dan malam sangat dingin. Tak satupun kartu ponsel yang dapat digunakan di daerah ini, No Signal. Warnet tidak ada, Wartel cukup jauh. Nampaknya daerah ini mengandalkan hutannya, karena pertanian hanya mengandalkan turunnya hujan yang lumayan jarang.

Aku perhatikan beberapa wanita belasan telah menjalani G2 (Gandeng-Gendong), alias telah memiliki dua anak, yang besar baru bisa berjalan sambil digandeng, satu lagi sedang digendong. Usia 20 tahun merupakan perawan tua di sini. Malah ada yang belum dapat haid telah melangsungkan pernikahan.

Pasarnya kecil sekali, berada di dekat stasiun kereta api, yang hanya dilalui kereta eksekutif tanpa berhenti, hanya berhenti untuk kereta barang yang digunakan untuk mengangkut penumpang antar stasiun kecil dengan jumlah kereta hanya sekitar empat gerbong.

Jarum jam di sini terkesan lambat sekali. Aku sudah banyak melakukan pekerjaan, tetapi waktu seakan lebih lambat dari Jakarta. Aku coba melakukan perjalan dengan naik becak keliling desa. Pulangnya aku naik dokar, kadang aku coba belajar menjalankan dokar.

Perekonomian di sini benar-benar sulit. Konyolnya banyak orang-orang tua yang menggadaikan sepeda, kain bahkan piring untuk memasang togel atau toto gelap. Aku tahu setelah naik dokar dan melewati tempat penggadaian, dan itu dijelaskan oleh pak kusir. Tak jauh dari situ seorang ibu dengan naik sepeda siap menulis nomor-nomor yang akan dipasang. Dia berlari menjemput bola masuk ke rumah-rumah penduduk.

Kalau di kota besar ada pengamen, di sini pun demikian. Pernah aku lihat suami istri mengamen dengan mengendarai sepeda. Suaminya naik sepeda dan berhenti di pinggir jalan yang terik sementara si istri keluar masuk halaman rumah penduduk yang berada di pinggir jalan. Keduanya menggunakan caping (topi yang biasa digunakan petani di sawah).

Bila masuk ke tempat jajan yang ada di emperan toko, tampak tulisan: "NGAMEN GRATIS", teguran halus khas Jawa. Mungkin di Jakarta, banyak tulisan `Dilarang Ngamen', di sini tidak dilarang tetapi tidak boleh meminta uang - khas Jawa, ngono yo ngono, ning ojo ngono.

(Masakan yang ada di tempat hajatan, tidak cocok dengan seleraku membuat aku hampir setiap pagi menjadi langganan nasi pecel, siang pecel lagi makan malam tahu lontong, kadang makan malam bersama tukang becak atau kusir dokar serta sarapan pagi dengan pedagang di pasar.)

Sementara aku keliling desa, tante serta Linda juga melakukan hal yang sama. Bedanya aku melihat suasana pedesaan, kalau mereka berdua melakukan penjualan barang-barang dari MLM mereka. Penjualan mereka berhasil akibat salah seorang sesepuh di desa itu sembuh dengan menggunakan obat dari MLM tersebut. Akibatnya cukup banyak permintaan dari beberapa orang dan berita menyebar hingga tetangga desa, walau harga lumayan mahal untuk ukuran daerah mereka - dibanding dengan biaya ke dokter atau dukun terdekat, belum lagi biaya obat atau sajen untuk dukunnya. Mungkin ini mengapa tante membawa Manager Network ke desa. Bener-bener "time is money".

Sepulang dari jalan-jalan, tenda dan sound system mulai dipasang, kemudian peralatan karawitan dipasang di panggung. Rencananya ada campursari serta musik dangdut dengan solo-organ dan gitar tunggal.

Saat istriku menemani keluarganya untuk belanja ke pasar, aku sendirian sambil menyaksikan pertandingan sepak bola antara Swedia-Nigeria yang berakhir dengan 2-1. Linda ikut menyaksikan sambil cerita tentang bisnisnya di Multi Level Marketing. Kemudian dilanjutkan dengan kisah pernikahannya yang sudah dijalani selama 10 tahun dan belum dikaruniai seorang anak. Menurutnya dia sudah melakukan test dengan hasil normal, sementara sang suami enggan untuk diperiksa.

Menurutnya kemungkinan karena si suami waktu semasa muda sering mengkonsumsi narkoba. Saat ini suaminya pengangguran dan hanya mengandalkan uang dari orangtuanya yang pensiunan dan cukup kaya dengan menunggu warisannya. Untuk mengisi kekosongangan dia melakukan bisnis di MLM.

Dia mengatakan sangat menginginkan anak. Dia berkata, "Mas Bud, menurut kamu aku lumayan langsing nggak?" tanyanya sambil menarik kancing jins nya ke depan dan menarik kaosnya ke atas. Nampaklah cd dan rambut halus berjejer antara puser ke bawah. Aduh si mbak ini mancingnya udah kelewatan, sudah tahu ini siang-siang panasnya minta ampun, udah lama nggak "keluar", rumah sepi, dari kemarin disuguhi kesempatan menarik. Untung kesabaran dan kesadaranku masih ada. Aku masih ingat ini ada di mana.

"Langsing," jawabku sambil melihat replay golnya Swedia. Dia mencoba membandingkan dengan milik istriku yang memang agak ke depan, walau telah berusaha melakukan senam. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan aku segera keluar rumah dan bergabung dengan tetangga lain yang sedang menonton bola. Selamat, Selamat, Selamat!

Saat malam, aku berkenalan dengan anak si empunya rumah, namanya Evie. Usianya baru 16 tahun, memiliki bayi berumur 6 bulan, nikah saat dia kelas 1 SLTA akibat kecelakaan. Wajahnya lumayan manis dan masih kecil. Suaminya pengangguran, sesekali kerja di kota, tetapi lebih banyak makan - tidur, dan mengandalkan mertua. Sang suami --Nanang namanya-- juga masih muda. Aku taksir umurnya belum 20 tahun.

Karena belum bisa memandikan bayi, maka yang melakukan adalah ibunya Evie; tante Ila namanya, sementara untuk mencuci pakaian bayi dan pakaian Evie dikerjakan bapaknya Evie, Oom Kartiko. Ibunya membersihkan rumah dan memasak. Ampun deh kalau aku punya anak dan mantu seperti ini.

Anehnya hingga hari ini aku belum pernah melihat mereka berdua mesra layaknya suami istri. Evie bila malam malah tidur dengan oom Kartiko di ruang tengah, karena kamar oom Kartiko serta kamar Evie digunakan oleh para tamu. Kalau siang malah Evie menghindar untuk bertemu suaminya, Nanang.

***


Hari ke tiga.

Setelah pagi hari acara pernikahan selesai, (dan) dilanjutkan dengan resepsi yang diiringi dengan musik karawitan. Malamnya dilanjutkan dengan hiburan dangdut. Yang gila bola tetap fokus pada pertandingan Italia-Kroasia, yang berakhir 1-2. Yang gila dangdut berjoget bersama di sekitar panggung.

Aku memilih melihat sepakbola sendirian, karena seisi rumah keluar menyaksikan dangdut, karena bintangnya desa sedang bernyanyi.

"Mas Bud nggak lihat dangdut, katanya mau joged?" tanya Evie, yang pulang dari nonton dangdut. Evie ini ternyata mantan penyanyi campur sari, dan bintangnya di desa ini. Entah mengapa dia koq tidak mengenakan pakaian kebaya untuk menyumbang lagu campur sari, tetapi mengenakan pakaian dengan rok agak mini berwarna biru langit.

"Nggak, ini tim kesayanganku lagi main," jawabku.
"Mas, bisa minta tolong?" tanyanya.
"Iya apaan?" jawabku sambil tetap melihat televisi.
"Anterin ke belakang dong, takut nih!" katanya.

Memang di daerah ini rata-rata kamar mandi terpisah dari rumah, begitu juga dapur. Dapur masih menggunakan kayu bakar, agar asap tidak masuk ke rumah maka letaknya agak ke belakang. Begitu juga kamar mandi dan wc-nya pun juga dekat dapur, mungkin karena tempat kotor jadi dijauhkan dari rumah, demi kesehatan.

Terpaksa deh nganterin. Sambil berdiri aku melihat keramaian di luar. Kenapa sih koq bukan suaminya yang nganterin, kataku dalam hati. Sambil ke belakang, Evie menjelaskan kalau suaminya udah mabuk minuman keras. Jangankan disuruh mengantar ke belakang, lihat wajah istrinya saja mungkin sudah tidak mengenali lagi.

Aku antar dia ke kamar mandi yang beratapkan langit dengan taburan bintang dan terangnya sinar bulan yang mengalahkan terangnya lampu sebesar 5 watt di kamar mandi. Sambil bersandar di pohon kelapa aku melihat bintang yang bertaburan di langit. Tak lama terdengar suara mendesis dari kamar mandi.

Tiba-tiba terdengar jeritan. Aku sih dengar, tetapi orang di luar pasti tidak akan mendengar, karena kerasnya musik, yang hampir seluruh desa mendengar.

"Ada apa, vie?" tanyaku.
"Ada cecek mas di pintu," katanya. Pintu kamar mandi tinggi tidak penuh hanya menutup hingga bahu ku, jadi aku bisa membuka dari luar. Setelah terbuka, cecek itu berlari mendekati Evie. Dianya lari dan mendekatiku, jadilah kita berpelukan. Aku berusaha mengusir cecek.

Setelah cecek pergi, jarak antara bibirku dan bibir dia dekat sekali hingga bau nafasnya tercium olehku. Sinar rembulan membentuk bayang-bayang rambutnya di wajahnya; aku sudah lupa pertandingan bola yang kutonton. Diam sejenak, terusin apa nggak ya? Sadar aku akan di mana aku berada, sangat berbahaya bila aku melakukan permainan ini.

Belum sempat aku mengambil keputusan untuk menyelamatkan diri, bibir Evie sudah menempel, hanya menempel tidak lebih, dengan dengus nafas yang tak beraturan. Tidak ada jilatan. Selanjutnya dia menguak bibirku dengan lidahnya. Mengisap bibir bawahku, dan dia yang lebih aktif.

Lupa akan bola dan lupa di mana aku, kuterima juluran lidahnya. Evie mengangkat kaos berikut branya ke bawah dan menaikkan roknya. Ternyata setelah kencing dia belum menggunakan cd, karena keburu cecek dateng.

Kuhisap putingnya. Aku merasakan ada cairan; masih mengeluarkan cairan - bayinya masih 6 bulan. Gumpalan yang mengandung asi cukup besar dan menantang, kujilat sambil melihat wajahnya yang mendongak tapi bukan melihat bulan dan bintang, tetapi merasakan kumis kasarku yang sedang membersihkan puting dari kerak ASI yang meleleh. Aku tidak mengisap hanya menjilati dan menggesek kumis dan jenggot kasarku saja.

(Kalau kuhisap kasihan bayinya bila akan minum nanti kehabisan!!!)

Capek berdiri dia menahan gejolak nafsu, Evie bersandar pada tiang sumur, dan meletakkan kakinya di bibir sumur yang mempunyai ketinggian satu meter. Aku masih menggunakan pakaian lengkap. Segera kutelusuri perutnya dan turun ke bawah.

Oh My God. Ternyata masih buljar, alias bulu jarang. Halus banget bulunya, bukan rambut ini sih, masih bulu.

"Jangan mas! Kotor.." katanya. Aku tidak mengacuhkan. Terlintas di pikiranku, tadi cecek dateng sama cebok duluan mana yah? Ah bodo amat, dagingnya aja enak apalagi kuahnya. Ku jilat sambil melihat wajahnya. Oh begitu indah, sambil menggigit bibir bawahnya dan di depannya tampak bulan purnama bersinar terang. Sementara dia menjambak rambutku.

"Udah mas," katanya sambil menarik rambutku ke atas. Padahal enak banget di bawah, pemandangan alamnya itu lho. Ada bulan, ada wajah wanita yang manis, serta ada bulu halus dan ada clit yang malu-malu sembunyi. Mungkin dia malu karena banyaknya cairan yang sudah keluar.

(Kadang heran, mengapa wanita selalu malu bila kemaluannya basah sekali di hadapan pria yang bukan suaminya. Mungkin tante Ila, tante Puja atau Tante Monik bisa jelasin nggak ya??)

Dia menciumku dengan ganas, menjilati kupingku, lubang kupingkupun dimasukin lidahnya yang mungil. Leherkupun tak luput jadi sasaran. Sambil melakukan dia menuntun batangku untuk memasuki lorong yang sudah sangat basah sekali.

Walau sudah sangat basah, sempitnya menyulitkan untuk penetrasi (ternyata dia dijahit hingga 10 jahitan luar dalam, kebayang deh, usia 16 tahun melahirkan dan dijahit sebanyak itu). Berkali-kali meleset; aku tertawa dalam hati - koq seperti pengantin baru aja yah.

Akhirnya masuk juga, karena badannya yang lebih kecil dari aku maka aku memeluknya berikut tiang sumur; sekalian buat pegangan untuk mengayun. Kaki yang satu di bibir sumur yang satu lagi aku angkat (dia agak pendek). Nggak kuat menahan sempitnya, aku keluar di dalam (lupa koq nggak dikeluarin di luar - kalau sudah nikmat kadang suka lupa segalanya - seperti Kes. Brazil, kalau sudah nyerang lupa pertahanannya).

Begitu aku cabut, koq ada darah sepanjang batangku. Aku menimba air untuk membersihkan kemaluan kita berdua. Kulihat dia meringis kesakitan saat membasuk kemaluannya. Entah batangku yang besar atau sempitnya lorongnya Evie.

"Kamu nggak takut hamil, vie?" tanyaku.
"Baru selesai kemarin mas," jawabnya. Pantes koq libidonya tinggi.
Selesailah permainan berbahaya yang kita lakukan, dan aku pergi ke acara dangdut di depan rumah. Evie pergi mengambil bayinya dan tidur sambil menyusui bayinya. Untung aku nggak merokok, kalau merokok, bayinya bisa nggak mau nyusu...

Waktu sudah menunjukkan sekitar jam 2300, saat aku datang campur sari sudah berganti dengan dangdut. Tua muda ramai-ramai berjoget hingga menutup jalan raya.

Aku lihat istriku duduk dekat pelaminan dan pergi ke rumah Evie, mungkin sudah nggak kuat menahan kantuk. Selamat! Nonton dangdutnya aku duduk agak jauh dari panggung dengan kursi bambu di samping rumah tetangga yang digunakan untuk menampung tamu juga. Tiba-tiba Linda ada disampingku.

"Joget yuk!" katanya.
"Nggak bisa," jawabku.
"Yah gerak-gerak aja, pakai poco-poco juga nggak apa-apa," katanya.
"Nggak ah. Di sini aja ah," jawabku. Bukannya apa-apa, aku masih terasa capek saat di sumur tadi gara-gara cecek.

Saat penyanyi membawa lagu "Mandul", Linda mendengarkan dengan seksama, dan lama-kelamaan bahunya bersandar pada pundakku. Tak lama buah dadanya menempel. Kulirik dia meneteskan air mata.

(untuk mendengarkan lagunya klik di bawah ini:
http://groups.yahoo.com/group/Pembaca_CCS/files/My%20
Musics/Mandul2.mp3)

"Koq jadi sentimentil gitu?" tanyaku.
Dia menyeka air matanya dengan jemarinya.
"Kamu salah masuk kali bikinnya," godaku, untuk menghilangkan kesedihan.
"Salah masuk gimana?" tanyanya.
"Ngkali masuk lubang yang lain," jawabku.
"Gila, apa!" jawabnya.

"Kalau bikin tuh nyantai, nggak usah pake gaya macem-macem," kataku.
"Udah semua gaya mas, tetep aja, kalau sawahnya subur, tetapi benihnya nggak bagus ya, nggak panen-panen," jawabnya ketus.
"Yah, ganti aja biangnya, khan ada Generasi Biang," jawabku, sambil memperhatikan goyangan penari yang menyanyikan "Goyang Dombret".

Penyanyi yang melantunkan lagu "Mandul", naik ke panggung lagi dan membawakan lagu "Malam Terakhir" sesuai permintaan yang nyawer.

(untuk mendengarkan lagunya klik di bawah ini:
http://groups.yahoo.com/group/Pembaca_CCS/files/My%20
Musics/Malam%20Terakhir2.mp3)

Linda semakin penuh menyandarkan tubuhnya.

"Mas anterin ke belakang yuk, aku takut sendirian," katanya. Kulihat wajahnya penuh harap sambil meringis menahan kencing. Wah kejadian sumur bisa terulang nih, mudah-mudahan ada cecek! Mikir bentar, jalan jangan, jalan jangan.
"Ayo deh," kataku.

Kalau tadi di sumur Oom Kartiko, sekarang di sumurnya Oom Aryo. Di sini lebih terang lampunya karena menggunakan neon 40W, karena tak jauh dari situ cahaya dibutuhkan untuk penerangan di sekitar tempat masak. Tampak ibu-ibu yang membantu memasak kelelahan dan tidur dekat tempat memasak, bahkan karena capeknya ada yang sampai ngorok. Ketawa kita berdua saat melewati mereka.

Setelah kencing, kita kembali ke tempat asal dan menonton dangdut hingga selesai jam 0200, dan kembali ke rumah oom Kartiko. Aku tidur di kursi ukir-ukiran jati yang panjang di ruang tamu yang besar (rata-rata rumah di sini model pendopo - jadi ruang tamunya lumayan besar). Linda masuk ke kamar Oom Kartiko, dan tak lama keluar lagi.

"Kenapa?" tanyaku.
"Udah penuh," jawabnya.
"Itu di kamarnya Evie aja," kataku.
"Sama, penuh juga!" jawabnya.

"Aku tidur di bawah aja deh, pakai ini," katanya sambil menggelar tikar.
"Jangan! Kamu tidur di kursi ini aja," kataku sambil bangun. Dia menuruti, tidur di kursi lalu menutupi badannya dengan selimut. Aku tidur di bawah beralaskan tikar. Untuk menghindari sinar lampu, aku menyusun koper-koper para tamu sedemikian rupa agar aku tidak terlalu silau dan mengurangi dingin. Dinginnya hawa pedesaan hingga membuat aku tidur miring sambil mendekap tanganku sendiri di selangkanganku.

Dari tempat penikahan terdengar lagu "Mandul" yang merupakan hasil rekaman acara "Live" tadi. Tiba-tiba dari belakang ada yang memelukku, ehmp dingin-dingin empuk nih.
"Mas, mau nggak jadi Generasi Biang," bisiknya di telingaku, bahkan bibirnya sempat menempel di telinga. Aku membalikkan badan.

"Gila lu, ini ruang tamu dan banyak orang di sekitar kita," jawabku beralasan.
"Khan tadi mas bilang, kalau bikin tuh nyantai, nggak usah pake gaya macem-macem," katanya, sambil menutup badan kita berdua dengan selimut. Tak lama dia menurunkan celana jeannya, sambil tidur, lalu menggosokkan pantatnya ke kemaluanku. Bangun deh tuh dedek, di sms, sama temennya sih.

Ku turunkan juga celana jeansku, sebatas dedek ku bebas. Kucium tengkuknya, dia menggenggam batangku, dan menuntun ke kemaluannya, terasa sudah basah. Kapan aku merangsangnya.
"Koq, kamu sudah ba..." tanyaku.
Segera dia mengulum bibirku, dengan cara menoleh kebelakang, jadilah kita ber-doggy style, sambil tiduran miring.

Dia berpegangan erat di kaki kursi jati (kursi ini lumayan besar dan berat). Semakin lama kepalanya menjauh dari kepalaku, tetapi pantatnya semakin mendekat. Lagu di tempat resepsi sudah berubah menjadi "Goyang Dombret". Aku semakin lama semakin terdorong, takut koper dibelakangku roboh karena aku terdorong. Aku menggenjot sekuat tenaga ke arah depan, sambil berpegangan pada kaki kursi yang lain, hingga Linda terdorong masuk ke bawah kolong kursi, sampai dia mengeluarkan bunyi seperti orang tertindih.

"Eghk," segera kututup mulutnya. Gerakanku lamban tetapi terus-menerus, bahkan mengikuti irama lagu. Karena kejadian di sumur, maka jadi agak lamaan. Tetapi posisi miring mengakibatkan rapatnya lorong kemaluan Linda, akhirnya aku keluar juga. Dia mencengkram tanganku yang sedang memegang kaki kursi.

Tiba-tiba mataku tertusuk. Aku segera membuka mata dan kulihat anakku sedang menusuk pensil ke mataku, dan kulihat sekeliling, oh aku ada dirumahku sendiri.

Diam sejenak. Untuk menyadarkan diri. Anakku memang lagi belajar menulis, apa saja ditulis, tidak terkecali mata papanya.

Ohh, ternyata hanya mimpi. Kurasakan GT-MANku seperti licin. Wah tembus nih sampai kasur tipis yang kutiduri di ruang tamuku. Aku kecapaian dari mudik dan tertidur di ruang tamu. Selain itu sudah kelamaan nggak "ganti oli".

Bila prajurit mimpinya aja perang, nah kalau hidung belang mimpinya aja selingkuh.

Cerita Dewasa - My Story

My Story
Namaku Tina, usia 15 tahun. Aku tinggal di Surabaya, salah satu kota besar di Indonesia yang padat penduduknya. Aku berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Papaku seorang pengusaha yang bergerak di bidang jual beli hasil bumi. Sedangkan mamaku seorang aktivis beberapa organisasi sosial. Aku juga punya seorang kakak perempuan yang kini sedang menyelesaikan studinya di luar negeri.
Sebenarnya hidupku berjalan seperti biasa selama ini. Aku pergi ke sekolah tiap hari. Kemudian pulang sekolah, Andrew pacarku, selalu menemaniku sampai sore. Banyak yang bisa kami lakukan. Main video game, membaca komik, membuat PR atau hanya sekedar ngobrol. Pada malam hari, kami sekeluarga berkumpul bersama. Setelah makan malam, biasanya kami nonton tv dan saling bertukar cerita tentang kegiatan kami seharian. Pokoknya aku cukup bahagia dengan keadaan keluargaku saat itu.
Namun semuanya menjadi berubah sejak aku mengenal narkoba. Aku tak tahu apakah ini perubahan menjadi lebih baik atau lebih buruk. Terus terang aku sangat menikmati gaya hidupku yang baru ini. Aku jadi lebih bahagia, lebih ceria, dan lebih bersemangat. Aku jadi menemukan diriku yang baru. Diriku yang sama sekali berbeda. Tidak ada lagi Tina yang pendiam dan pemalu. Yang ada sekarang adalah Tina yang ceria dan memiliki banyak teman.
Semua ini berawal dari rasa kesepianku di rumah waktu selesai ujian nasional. Tidak biasanya aku kesepian seperti ini. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan. Bangun pagi menganggur. Siang juga menganggur. Tidak ada yang menemaniku.
Orang tuaku baru pulang malam hari. Andrew dan keluarganya masih di Jakarta berlibur sekaligus mengurus kepindahan Andrew ke Amerika. Teman-temanku pada menghilang semua. Ada yang ke luar kota, ada yang pergi sama pacarnya. Pokoknya menyebalkan sekali. Dulu waktu aku dan kakakku masih kecil, mamaku jarang sekali keluar. Tapi sejak aku lulus SD, mamaku mulai aktif dalam suatu organisasi kerohanian. Lama kelamaan, mamaku makin aktif dan terpilih sebagai pengurus organisasi tersebut. Saat ini tidak hanya satu organisasi yang diurusnya, melainkan berkembang menjadi tiga! Saking repotnya, kadang-kadang mamaku sampai menginap di kantor organisasinya.
Aku biasanya bisa maklum dengan kegiatannya yang bejibun seperti itu. Tapi saat ini aku lagi sebal sendirian di rumah. Masak aku harus diam di rumah saja melewati hari-hari liburanku ini. Apalagi setelah Andrew memberi kabar kalau visanya diterima kedutaan Amerika. Serasa dunia ini mau kiamat! Aku akan berpisah dengan Andrew minimal selama dua setengah tahun. Itupun kalau selepas high school dia balik ke Indonesia. Kalau meneruskan kuliah di universitas sana, yaah...
Saat aku kesepian dan suntuk, aku bertemu Ling sahabat lamaku. Mama Ling adalah sahabat baik mamaku. Itu sebabnya sejak kecil aku sudah berteman dengannya meski kami beda usia. Ling lebih tua setahun dariku. Iseng-iseng aku menelponnya dan kami ngobrol berjam-jam. Lalu Ling mengajakku untuk menginap di rumahnya. Aku sih setuju saja. Kupikir tak ada tawaran lain yang lebih menyenangkan saat ini. Maka Ling kuundang datang ke rumahku saat makan malam.
Saat makan malam bersama itulah aku mengutarakan keinginanku untuk menginap di rumah Ling sampai mulai masuk sekolah. Semula orang tuaku tidak setuju aku menginap selama itu. Tapi mereka tak berkutik setelah mendengar protesku bahwa aku kesepian di rumah sepanjang hari. Akhirnya mereka mengabulkan keinginanku tapi dengan syarat bahwa hari Minggu aku harus pulang ke rumah.
Aku segera mengemasi pakaian dan keperluanku dibantu oleh Ling. Ling berbisik menyuruhku untuk membawa beberapa pakaian yang bagus untuk dugem. Wah, Ling mau mengajakku dugem! Aku belum pernah dugem sebelumnya. Sebab orang tuaku tak akan mengijinkan aku pulang lebih dari pukul sepuluh malam. Aku jadi tambah panik menanyakan baju yang bagaimana yang pantas dikenakan. Lalu Ling memberi beberapa saran yang segera kupatuhi. Segera kumasukkan semua pakaian ke dalam koperku beserta peralatan kosmetikku.
Mama dan papaku memberiku uang saku cukup banyak untuk menginap sebulan di rumah Ling. Mereka memberi kami nasehat agar hati-hati menjaga kesehatan dan jangan pulang terlalu malam. Setelah berpamitan, kami segera berangkat menuju rumah Ling.
Rumah Ling terasa sangat sepi. Rumah yang cukup besar ini hanya ditempati Ling dan dua orang pembantu. Orang tua dan adik-adik Ling masih di kota asalnya. Perlahan-lahan mereka akan pindah ke Surabaya. Dimulai dengan kepindahan Ling setelah lulus SD, setelah itu baru akan disusul oleh adik-adiknya. Pada awalnya orang tua Ling sering sekali datang ke Surabaya untuk menengok Ling. Namun lama kelamaan semakin jarang frekuensinya. Saat ini orang tua Ling hanya datang sebulan sekali atau pada saat adik-adik Ling liburan sekolah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kesepiannya Ling sendirian di sini.
Malam itu kami hanya saling curhat untuk memuaskan rasa kesepian kami selama ini. Aku sangat percaya pada Ling. Aku merasa aman membicarakan segala rahasiaku padanya. Kami ngobrol panjang lebar tentang semua hal. Termasuk tentang perilaku seksku dengan Andrew yang agak kelewatan. Ling sampai terkejut dan tak bisa bicara apa-apa mendengar semuanya. Seakan tidak percaya aku yang selalu alim dan pendiam di sekolah bisa seliar itu dengan Andrew. Aku malu sekali saat Ling mentertawakan aku habis-habisan. Berkali-kali dia mengatakan bahwa dia tidak bisa percaya aku melakukannya.
Akhirnya setelah puas mentertawakan aku, Ling juga membuka sebuah rahasia yang tidak kalah mengagetkan. Ling adalah pengguna narkoba! Hampir semua jenis narkoba pernah dicoba. Aku melongo mendengar cerita yang mengalir begitu saja dari mulutnya. Aku kaget sekali! Aku bergidik ngeri mendengar ceritanya saat dia sakauw. Bahkan Ling pernah sakauw di kamar mandi sekolah. Untung Ling bisa mengendalikan diri dan perlahan-lahan mulai mengurangi dosisnya. Sekarang Ling sudah berhenti total menggunakan SS.
Yang mengenalkan Ling pada narkoba adalah teman se'geng'nya di sekolah. Memang sekolah Ling saat ini adalah sekolah yang terkenal borjuis. Tempat sekolah anak-anak orang kaya namun kurang berminat dalam pelajaran. Datang ke sekolah dengan mobil mewah, pulang langsung ke Mall, dan malamnya dugem. Apalagi gedung SMP dan SMUnya berdekatan dalam satu blok, sehingga banyak anak SMP yang dirusak oleh anak SMU. Kupikir Ling ini adalah salah satu korbannya.
Ling mengaku, saat ini dia sudah berhenti menggunakan yang lain kecuali ekstasi atau yang biasa disebut inex. Soalnya inex paling aman karena tidak membuat penggunanya ketagihan dan efeknya paling ringan dari semua jenis narkoba. Ling berkata, pokoknya aku harus mencoba. Sebab di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatannya. Aku menasehatinya agar berhati-hati menggunakan narkoba. Kalau bisa berhentilah menggunakannya. Sebab seringan-ringannya narkoba, pasti memberi pengaruh buruk pada tubuh. Malam itu memang aku menasehatinya agar menjauhi narkoba. Malam berikutnya setelah aku dikenalkan dengan inex, gantian aku yang ketagihan.
Masih segar dalam ingatanku, saat itu malam minggu ketika kami berdua ke KW diskotik bersama dua teman cowoq Ling. Namanya Sandy dan Martin. Rasanya Sandy dan Ling saling menyukai. Buktinya Ling duduk di sebelah Sandy, sedangkan aku disuruh duduk di belakang bersama Martin. Aku tak tahu dari mana Ling mengenal mereka. Yang jelas, mereka jauh lebih tua dari kami berdua. Sandy berumur 24 tahun sedangkan Martin berumur 25 tahun. Sandy bertubuh kurus dan tingginya sekitar 170cm. Rambutnya yang hi-light merah diset kaku berdiri. Orangnya ramah dan suka bergurau. Martin lebih tinggi sedikit dari Sandy. Badannya kekar dan wajahnya keras. Kalau belum kenal dia sering diam saja. Tapi kalau sudah kenal, wah... lucu sekali. Lebih ramai daripada Sandy! Dia suka membuat lelucon dan kalau tertawa keras sekali. Pokoknya mereka berdua sangat mengasyikan sebagai teman.
Ketika sampai di tujuan, aku tidak bisa menutupi rasa kagumku. Mulai dari area parkir, aku melihat begitu panjang antrean mobil membeli karcis parkir. Begitu hebatnya daya tarik tempat ini? Aku belum pernah dugem sama sekali sebelumnya. Bila ada orang tanya padaku bagaimana kesannya? Waaah luar biasa! Sangat luar biasa! Aku sampai melongo takjup melihat suasana yang sama sekali asing bagiku. Aku melihat banyak cowoq dan ceweq keren, berpakaian trendi, berdandan modis dan seksi, mengendarai mobil-mobil mewah. Mereka menggunakan segala macam pakaian, aksesoris dan model rambut yang sedang ngetren saat ini. Cool banget! Mengingatkan aku pada para pemain serial Meteor Garden. Aku jadi menyesal tidak menggunakan pakaianku yang paling canggih. Tak henti-hentinya aku melihat dandananku sendiri. Apakah sudah setara dengan mereka?
Dulu aku pikir pengunjung diskotik atau club adalah orang-orang yang sudah dewasa. Tapi saat ini kulihat jauh lebih banyak generasi mudanya daripada orang dewasanya. Aku hanya beberapa kali melihat orang yang bertampang om-om atau tante-tante di sana.
Masuk ke dalam aku lebih kaget lagi. Aku tak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap! Hanya lampu disko yang berkilauan sedikit demi sedikit memperjelas pandanganku. Aku hanya mengikuti Martin yang menggandeng tanganku. Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, aku mulai dapat melihat sekelilingku meskipun remang-remang. Saat itu mendekati pukul 23.00. Pengunjung mulai memadati KW diskotik. Aku bingung kita mau duduk di mana. Ternyata kami menuju ke VIP room.
Rupanya nama Martin dan Sandy sudah cukup dikenal di sana. Begitu kami masuk, kulihat beberapa pegawai berjas menyapa dan menyalami mereka dengan akrab. Kami langsung diantar ke VIP yang telah dipesan. Menurut Ling, Martin dan Sandy adalah member yang sangat istimewa. Mereka sudah terlalu banyak menghabiskan uang di KW. Oleh karena itu, para manajer dan pegawai di sana begitu hormat pada mereka.
Di dalam VIP room sudah menunggu teman-teman Ling yang lain. Kuperkirakan ada lima belas orang di dalam. Dalam sekejap kami terseret dalam keramaian. Bising sekali suara lagu house music ditambah suara teman-teman Ling yang saling bergurau dan tertawa. Aku dikenalkan satu persatu dengan mereka, namun aku tidak bisa mendengar nama-nama mereka dengan jelas.
Aku diam saja di sofa melihat tingkah polah teman Ling yang tampak begitu gembira. Mereka bergoyang mengikuti dentuman bass lagu house music sambil merokok dan minum minuman keras. Ada yang menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ada yang berlenggak lenggok seperti penari India. Bahkan ada yang melompat-lompat terus sambil berteriak bagaikan penyanyi rock. Gerakan mereka tampak tidak wajar dan terlalu berlebihan. Aku pikir apa mereka tidak lelah bergerak seperti itu?
Lampu dalam VIP room yang diredupkan membuat aku tak dapat melihat sekeliling dengan jelas. Tiba-tiba Ling mendekat dan duduk di sebelahku. Dia memberi sesuatu dalam genggamanku sambil berkata menenangkan aku kalau `ini' tidak berbahaya dan akan membuatku senang. Pokoknya aku harus menelannya. Sebuah kalimat dari Ling yang masih kuingat adalah, "Kamu harus percaya padaku" Lalu Ling meninggalkan aku dan bergabung dengan teman-temannya untuk bergembira bersama.
Aku bingung dan ragu menggenggam setengah butir pil ajaib ini. Berbagai pikiran dan pertanyaan melintas dalam benakku. Aku pernah dengar tentang inex. Obat doping untuk triping, atau yang di Surabaya disebut nggedek. Amankah? Kalau aku sampai ketagihan gimana? Adakah efeknya yang merugikan tubuh? Aku belum pernah menggunakan narkoba jenis apapun! Masak aku harus merusak diri? Namun Ling mengatakan kalau ini aman-aman saja? Bagaimana ini?
Di saat aku bimbang memegang benda merah muda setengah lingkaran di tanganku, Martin mendekat dan duduk di sebelahku. Martin memberiku advise kalau aku tidak mau tidak usah ditelan. Namun dia menyarankan sebaiknya dicoba, soalnya inex tidak akan membuat penggunanya ketagihan. Apalagi dengan dosis serendah itu tidak akan menimbulkan efek yang merugikan. Martin terus menenangkan diriku dengan menjelaskan bahwa inex tidak berbahaya.
Akhirnya aku memutuskan untuk meminumnya. Dalam pikiranku, kalau aku mengalami sesuatu yang merugikan, aku tidak akan ikut Ling dugem lagi. Aku pasti kapok dan menjauhinya. Entah itu keputusanku yang benar atau salah. Yang jelas, efek yang ditimbulkan sungguh luar biasa! Aku sendiri sampai kagum dengan kehebatannya. Awalnya aku hanya duduk diam menunggu diriku on selama setengah jam. Beberapa kali teman-teman Ling mengajak aku bangkit dan berdisko bersama mereka. Aku cuma tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku sudah cukup senang melihat mereka bergembira bersama.
Perlahan-lahan tanpa kusadari, inex yang kutelan mulai mempengaruhi tubuhku. Pertama kali hanya kepalaku yang bergoyang-goyang mengikuti irama lagu house music. Goyangannya masih samar-samar sehingga aku tidak menyadari kalau itu sudah mulai on. Lalu secara tak sadar badanku mulai ikut bergoyang kekiri dan kekanan. Lagu-lagu yang diputar terasa makin asyik diikuti. Yang terakhir kakiku melonjak-lonjak sendiri. Semua anggota tubuhku bergoyang tanpa kuperintah. Aku jadi tidak bisa duduk dengan tenang. Aku pernah membaca tentang ekstasi dan efek yang ditumbulkannya di majalah dan surat kabar. Aku jadi agak penasaran ingin membuktikan sendiri.
Aku berdiri dari dudukku. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam benakku. Inikah rasanya? tanyaku dalam hati. Badanku bergetar hebat! Aku hampir tak bisa menahan keinginanku untuk menggoyangkan anggota tubuhku! Lalu sambil bergetar aku berjalan menuju Ling dan teman-temannya. Terlihat mereka semua tampak gembira dan bahagia sekali. Mereka tertawa lepas dan saling mengadu kehebatan gaya disko mereka. Mendadak aku merasa hatiku turut senang melihat kegembiraan teman-teman yang lain. Sangaaat senang!
Saat aku berjalan, angin dari blower AC menerpa diriku. Membuat aku makin merasa bersemangat. Tak sadar aku pun ikut bergoyang. Goyanganku sungguh beda dengan biasanya. Aku jadi pingin menggerakkan kepala, tangan, badan dan kaki bersamaan! Aneh sekali! kalau kucoba kuhentikan, malah tidak bisa. Telapak tanganku terasa dingin sekali sampai kaku semua. Ling memberiku permen karet untuk mencegah rahangku mengerat. Aku baru sadar kalau gigiku mengatup rapat sampai rahangku terasa sakit.
Aku ditarik Ling menuju ke tengah teman-temannya. Kurasakan tangan Ling juga dingin sekali! Mereka tertawa dan menyemangati aku agar aku bergoyang. Aku tidak merasa malu sedikit pun meski aku baru mengenal mereka. Aku yang biasanya pemalu ini berubah seratus delapan puluh derajat! Aku merasa jadi superstar malam itu. Aku jadi bisa menari hingga membuat orang kagum atas diriku. Semakin keras goyanganku, semakin keras aplaus mereka. Tidak ada yang mampu menghentikan gerakanku. Badanku terasa gerah meskipun aku berada tepat di depan AC. Sedangkan mulutku terasa sangat kering sampai beberapa kali aku menghabiskan satu botol air mineral sekaligus. Aku goyang seperti orang kesurupan selama empat jam tanpa berhenti. Dan sama sekali tidak merasa lelah!
Martin mengajakku bergoyang bersama. Seharusnya aku menolak karena risih dipeluk oleh orang yang bukan pacarku. Namun malam itu aku merasa Martin adalah pasanganku. Martin memelukku dari belakang dengan kedua tangannya yang kokoh. Aku menggoyangkan kepalaku ke kiri dan ke kanan seperti angin puyuh. Tubuh ini rasanya ringan sekali. Disuruh diam tidak bisa. Lagu house music yang biasanya menemaniku aerobic terdengar jadi luar biasa enak di telinga. Membuat aku ingin terus bergoyang mengikuti iramanya.
Ling dan Sandy menghampiriku dan menanyakan perasaanku. "Enak?" tanyanya. Kujawab dengan mantap, "Enak Ling! Awas kalau kamu kesini nggak ngajak aku lagi!" Ling dan Martin mentertawakan aku habis-habisan. Aku juga ikut tertawa. Rasanya bahagia banget malam itu. Aku merasa perasaan suntukku hilang semua larut dalam kegembiraan bersama teman-teman baru. Martin melingkarkan lengannya di bahuku dan bahu Ling. Sandy berbuat hal yang sama. Kami membentuk lingkaran kemudian berputar sambil melompat-lompat. Senang sekali rasanya.
Sayangnya kalau kita merasa senang, waktu akan berjalan demikian cepatnya. Tak terasa sudah pukul 5 pagi. Aku melihat ke bawah dari balkon, pengunjung di hall sudah habis. Pengaruh inex pada kami semua juga mulai berkurang. Hanya beberapa orang termasuk aku dan Martin yang masih menggoyang-goyangkan kepala perlahan mengikuti irama music. Aku mulai merasa lemas. Dinginnya AC kembali terasa menusuk.
Ketika aku sudah benar-benar drop, Sandy menyalakan lampu VIP dan mengatakan kalau pesta sudah bubar. Semua orang bertepuk tangan seakan sadar kalau sudah saatnya pulang. Aku merasa geli juga melihat mereka berebutan menggunakan kamar mandi membetulkan pakaian maupun dandanan. Terutama para ceweqnya. Aku hanya bisa menebak dalam hati apa saja yang telah mereka lakukan dengan pasangannya masing-masing. Soalnya kulihat pakaian mereka acak-acakan semua. Bahkan beberapa dari mereka masih berciuman ketika lampunya dinyalakan.
Lalu tak disangka, mereka berebut menyalami aku dan menanyakan perasaanku setelah pertama kali triping. Ops... Rupanya mereka tahu kalau aku pendatang baru. Meskipun agak malu, aku berusaha bersikap ramah pada mereka karena mereka adalah teman-teman Ling. Aku katakan bahwa aku sangat suka dan ingin ikut pesta lagi lain kali. Mereka tertawa-tawa mendengar jawabanku yang begitu jujur dan terus terang.
Teman-teman Ling sungguh menyenangkan. Meski umur mereka berkisar 24-25 tahun, namun mereka tidak membosankan. Aku pikir orang umur segitu akan mulai tampil serius dan menjemukan. Namun nyatanya mereka tidak seperti itu. Mereka suka bergurau dan melucu. Antar teman masih suka meledek dan saling mentertawakan. Tingkah laku mereka saat dugem seperti masih mahasiswa saja.
Selesai membereskan tagihan, kami saling berpamitan pulang. Martin dan Sandy mengantar kami ke rumah Ling. Kali ini aku dan Ling duduk di bangku belakang. Aku baru merasa kalau tubuhku lemas. Rasanya ingin tiduran di tempat tidur. Kulihat dari jendela mobil hari mulai terang. Sudah pukul 5.30 ketika kami meninggalkan diskotik.
Selama perjalanan pulang hatiku campur aduk memikirkan diriku sendiri. Sungguh suatu ironi saat berpapasan dengan serombongan orang sedang joging di hari minggu pagi yang indah ini. Berpapasan dengan penjual sayur yang siap berkeliling menawarkan dagangannya. Berpapasan dengan orang-orang yang hendak beribadah ke gereja. Bandingkan dengan diriku yang jadi pengguna narkoba. Bersenang-senang hingga pagi hari. Berdandan seronok dan berpelukan mesra dengan cowoq yang bukan pacarku. Dikelilingi asap rokok dan gelas berisi minuman keras. Sungguh tragis! Aku agak menyesali keadaanku sekarang.
Namun penyesalan itu hanya datang sesaat saja. Detik berikutnya ketika Martin dan Sandy menceritakan tentang berbagai jenis inex dan efeknya, variasi cara meminumnya dan tempat-tempat yang asyik, aku jadi tergoda lagi. Aku antusias bertanya pada mereka tentang segala hal. Martin dan Sandy kelihatan senang akan rasa ketertarikanku dan berjanji akan mengajakku lagi. Menurut mereka, aku terlihat sangat gembira dan begitu antusias. Sehingga tidak rugi mereka menghabiskan banyak uang untukku.
Aku baru tahu kalau mereka punya kebiasaan tidak membebankan biaya apapun pada ceweq yang ikut pesta mereka. Bahkan mereka sesumbar pada Ling dan pada ceweq-ceweq lain kalau punya teman ceweq yang suka triping silahkan dibawa sebanyak apapun mereka. Pokoknya hanya ceweq. Tidak boleh membawa teman cowoq. Edan, pikirku! Emang dasar mata keranjang semua!
Mereka cowoq bertujuh memang suka bersenang-senang di diskotik. Minimal seminggu sekali menyewa VIP room. Kalau tidak minum ya triping sampai pagi. Persahabatan mereka juga sangat erat sebab mereka adalah teman sejak SD. Dari mereka bertujuh hanya dua orang yang sudah punya pacar sungguhan. Lainnya masih single.
Mereka bergantian membayar. Namun yang paling sering membayar adalah Martin dan Sandy. Dari kelakuan mereka bisa tampak siapa yang sering jadi bosnya. Martin adalah seorang pengusaha muda yang cukup berhasil. Di usianya yang baru 25 tahun dia sudah memiliki rumah dan mobil sendiri. Sedangkan Sandy adalah anak orang kaya. Papanya memiliki beberapa perusahaan yang cukup untuk membiayai Sandy dan adik-adiknya sampai tua. Selain Sandy dan Martin, lainnya hanya pegawai swasta dan mahasiswa.
Sampai di rumah Ling, aku tidak bisa tidur meski badanku terasa lemas. Aku masih merasa kedinginan. Aku lihat Ling dengan santainya berganti pakaian, mencuci muka, sikat gigi dan membuat dua gelas susu. Ling menyuruhku untuk minum susu untuk menghilangkan pengaruh inex. Sehabis minum segelas susu panas badanku jadi terasa lebih enak. Namun aku masih tak bisa tidur sampai jam tujuh pagi.
Baru tidur dua jam, kira-kira jam sembilan aku sudah terjaga. Mataku terbuka lebar seperti habis tidur dua belas jam. Kulihat Ling juga sudah bangun. Ling memberiku air kelapa muda. Aku menurut saja apa yang Ling berikan padaku. Aku merasa badanku lemas ingin tidur, namun mataku tetap terbuka lebar. Aku juga tidak merasa lapar. Biasanya jam setengah tujuh pagi aku sarapan. Sekarang sudah jam sepuluh tapi belum terasa lapar sedikit pun. Akhirnya tengah hari kupaksa makan meskipun sedikit. Aku baru tahu kalau sehabis menelan inex, jadi sulit tidur dan tidak mudah lapar. Ditambah satu lagi, panas dalam! Bibirku pecah-pecah dan tanggorokanku kering. Aku langsung minum obat panas dalam dan minum air putih sebanyak-banyaknya.
Selama seharian aku dan Ling yang sama-sama kurang tidur membahas tentang inex, dunia malam dan perilaku kelompok Ling. Aku baru tahu kalau inex itu sebenarnya obat diet. Dapat mengurangi napsu makan namun penggunanya tidak akan merasa lelah. Jadi memberi efek semacam doping. Tetapi bila dikonsumsi melebihi dosisnya bisa menimbulkan rasa senang dan gairah yang berlebihan. Selama inex masih berpengaruh, kita bisa terus triping tanpa lelah meskipun sebenarnya sudah melampaui batas kemampuan tubuh kita. Saat pengaruh obat itu hilang, kita baru merasakan kelelahan yang luar biasa!
Sebagai perbandingan, aku aerobic satu jam saja sudah cukup lelah. Bila diberi setengah tablet inex, aku bisa bergoyang selama kurang lebih empat jam tanpa henti. Itu berarti aku melampaui batas kemampuanku sendiri tiga kali lipat. Ling pernah bercerita bahwa temannya pernah over dosis akibat seminggu berturut-turut triping dengan dosis maksimum! Untung nyawanya bisa diselamatkan. Benar-benar edan!
Pergaulan Ling dengan teman-temannya cenderung agak bebas. Mereka biasa berganti-ganti pacar sesuka mereka. Sandy adalah pacar Ling saat dugem. Di luar jam dugem, Ling berhak pacaran dengan cowoq lain. Begitu juga Sandy. Hal seperti itu sudah biasa dalam kelompok dugem mereka. Tidak ada ikatan maupun hubungan serius selama di tempat dugem. Dalam diskotik Ling dan Sandy bisa berpelukan, berciuman dan bahkan `making love' kalau mau. Menurut Ling, mereka pernah ML di VIP room K diskotik. Di sana VIP roomnya lebih mewah dan disediakan bathup untuk mandi.
Aku bertanya pada Ling, apakah tidak menyesal setelah itu. Lalu Ling bercerita sambil tersenyum malu. Setelah ML, semalaman Ling memang menangis sampai matanya sembab dan suaranya habis. Namun besoknya saat Sandy datang menghibur, merayunya habis-habisan, dan akhirnya mengajak bersetubuh lagi dengan gaya yang berbeda-beda, penyesalan itu mendadak hilang dengan sendirinya. Sejak saat itu, Sandy menjadi partner ML tetap Ling. Apalagi menurut Ling, dia adalah ceweq yang hyper dan mudah terangsang. Kalau lagi kepingin, dia akan menelpon Sandy agar menginap di rumahnya. Kini dia sudah tidak ambil pusing dengan keperawanannya. Aku tertawa mendengar gaya ceritanya yang santai. Ling berkata padaku agar aku tidak meniru jejaknya dan mempertahankan keperawananku selama aku belum dewasa.
Aku agak trenyuh melihat sahabatku ini. Di usianya yang masih semuda ini dia sudah kehilangan keperawanannya dan menjadi pengguna narkoba. Sekarang sudah lumayan hanya satu jenis yang digunakan. Dari ceritanya dia telah menggunakan SS, ptw, BS dan lainnya sejak kelas dua SMP!
Malam itu penyesalan dan keprihatinan boleh datang. Malam-malam berikutnya kami jadi semakin liar. Aku sudah tidak ambil pusing dengan segala efek samping yang diakibatkan. Aku berangkat seminggu empat kali. Sabtu berangkat, minggu berangkat lagi, lalu selasa, lalu jumat, sabtu lagi dan seterusnya. Aku menaikkan dosis inex menjadi satu tablet.
Aku dan Martin juga semakin liar. Aku sudah lupa dengan Andrew yang masih sibuk berkutat di Jakarta mengurus kepindahannya ke Amerika. Suatu malam kami berempat merencanakan untuk triping di rumah Sandy. Sandy memiliki ruang kedap suara yang didesign mirip VIP room di basement rumahnya. Lengkap dengan mini bar dan meja bilyard. Aku takjub saat melihat sendiri kemewahan `VIP room'nya. Wah, Sandy benar-benar anak orang kaya pikirku.
Ini pertama kali aku diajak triping bukan di diskotik. Kami mulai sejak pukul delapan malam. Setelah makan malam, kami berkaraoke sejenak sambil minum-minum. Aku sudah mulai bisa minum minuman keras. Padahal dulu aku mencium baunya saja sudah tidak tahan. Tapi sejak aku mengenal dugem, aku mulai bisa minum meski tidak sekuat Ling. Terus terang saja, dibanding mabuk, aku lebih suka triping. Kalau mabuk akibatnya pusing dan besoknya lupa kesenangan apa yang kita alami. Kalau triping, pulangnya aku akan membawa kesenangan yang jauh lebih mengasyikan.
Aku sudah tidak tahan ingin segera triping. Aku paksa mereka mulai sekarang. Awalnya mereka keberatan karena masih terlalu pagi. Namun melihat aku mulai cemberut dan diam saja, mereka menuruti aku. Aku memang anggota baru yang paling disayang oleh mereka. Keinginanku biasanya selalu dituruti. Karena malam masih sangat panjang, maka aku minum satu dulu. Setelah lewat tengah malam baru aku tambah lagi setengah.
Sebagai pemanasan menunggu on, aku bermesraan dengan Martin sambil berdansa pelan. Malam ini Martin terlihat romantis sekali. Berkali-kali dia memuji kecantikanku dan kebaikanku. Kubiarkan Martin bermanja-manja padaku. Kusuapi dengan buah-buahan, kutuangkan minuman, kunyalakan rokoknya. Bahkan kubiarkan dia meraba-raba tubuhku.
Martin memulainya dengan memelukku dari belakang dan mengelus-elus bagian dalam pahaku. Rasanya geli sekali! Kemudian dia meraba perut dan dadaku. Aku memang sengaja diam saja. Martin tampak seperti menikmati setiap inci permukaan kulitku yang disentuhnya. Aku diperlakukan dengan sangat lembut. Dia tidak meremas-remas payudaraku seperti yang sering dilakukan Andrew kalau sedang gemas. Dia hanya menyentuh dan mengelus buah dadaku dengan perlahan. Aku memejamkan mata menikmati belaian tangannya. Begitu panas membara.
Rupanya aku dan Martin terlalu banyak minum minuman beralkohol. Aku merasa wajahku panas dan kepalaku agak pusing. Lalu kami berciuman lamaaa... sekali sampai aku jadi terangsang. Aku sudah lama tidak orgasme. Keromatisan dan kelembutan Martin saat itu membuat diriku terlena.
Ketika Martin minta aku membuka pakaianku, entah kenapa, aku menurutinya. Aku begitu ingin membahagiakan dirinya dengan menuruti permintaanya. Aku membuka atasanku dan kukalungkan di lehernya. Lalu aku duduk di pangkuannya. Kuperlihatkan dadaku yang terbungkus bra coklat muda tepat di depan wajahnya. Martin menatap kedua payudaraku dan menciumnya sekilas. Aku tergelitik untuk menggodanya lebih lanjut. Kuturunkan celana jeansku perlahan-lahan sambil menggoyangkan pinggulku. Martin ternganga melihat pinggulku yang terbungkus triumph mini coklat transparan bergoyang goyang di hadapannya. Aku berputar membelakanginya lalu nungging. Kugerakkan perlahan pantatku ke kiri dan ke kanan tepat di depan wajahnya. Martin memegang pantatku dan menciumnya bergantian.
Sandy bertepuk tangan dari seberang ruangan dan menantang agar Ling turut membuka pakaiannya. Ling tidak mau kalah, dia membuka baju dan celananya sekaligus lalu duduk di pangkuan Sandy. Wah, pasti akan terjadi peperangan dashyat! Aku sudah sering melihat kelakuan liar mereka berdua saat on berat. Maka aku mengajak Martin ke kamar mandi agar kami bisa lebih leluasa.
Dalam kamar mandi itu, kami berciuman dengan hangat. Martin memelukku dan tangannya melepas kait braku. Aku agak malu dan menahan agar braku tidak melorot. Tapi Martin tidak menyerah. Dengan nakalnya dia malah menurunkan celana dalamku sampai bawah. Aku ingin menahan dengan tanganku tapi kalah cepat. Aku memukul bahunya dengan gemas lalu tertawa. Aku tidak merasa malu. Aku malah penasaran ingin tahu reaksi Martin ketika melihatku telanjang. Martin memandangi tubuhku dengan takjub. Ini pertama kali dia melihat seluruh tubuhku tanpa pakaian sehelai pun. Aku jadi semakin berani dan liar dipandangi seperti itu. Kubuka T-shirt Martin dan kuraba tubuhnya yang kekar. Kuelus wajahnya dan kucium mulutnya dengan ganas.
Martin membalas ciumanku sambil memegang buah dadaku. Telapak tangannya sedingin es. Rupanya dia mulai on. Aku merasa putingku geli sekali. Kubiarkan dia menjilati putingku sambil meremas-remas buah dadaku. Martin sungguh berpengalaman! Entah apa ini karena pengaruh inex ataukah memang Martin yang hebat. Dia bisa menimbulkan sensasi yang luar biasa hanya dengan merangsang buah dadaku. Apalagi ketika tangannya turun melewati perutku dan mengelus bulu kemaluanku. Rasanya tubuhku bergetar hebat. Aku jadi lupa diri. Kurasakan jemarinya yang besar itu mulai meraba daerah klitorisku dan membelah bibir vaginaku.
Tanpa terduga, Martin membisiki aku, "Kata Ling kamu masih perawan ya?" Aku terkejut mendengar perkataannya dan secara reflex menjauhinya. Lalu Martin tertawa dan menggoda agar aku tidak kuatir. Martin menceritakan kalau Ling sudah memperingati semua cowoq di kelompok ini agar jangan sampai ada yang berani menodai diriku. Bila sampai terjadi, Ling akan mengajakku meninggalkan kelompok ini. Martin mengatakan padaku bahwa dirinya juga tidak tega untuk memperdaya seorang ceweq semuda aku. Dia mengaku hanya ML pada ceweq yang memang benar-benar ingin. Bukan pada ceweq yang terbawa suasana gembira seperti aku.
Aku jadi agak lega mendengar perkataan Martin yang terkesan `bijaksana' itu. Memang aku masih sangat muda dibandingkan dirinya. Tiba-tiba aku sadar kalau aku telanjang bulat di hadapan Martin yang masih `berpakaian'. Aku membalikkan tubuhku seraya menutupi buah dadaku. Mendadak aku merasa malu. Apa memang aku terbawa suasana sehingga melakukan tindakan seperti ini tanpa merasa malu sedikit pun? Bahkan aku mungkin akan membiarkan Martin menyetubuhi aku bila keadaan tadi dibiarkan. Wah, akal sehatku mulai terganggu nih!
Kemudian Martin memelukku dari belakang dan menciumi leher dan belakang telingaku. Aku jadi mulai terangsang lagi. Habis ciumannya benar-benar luar biasa! Begitu lembut dan menggairahkan. Dia menjilati punggungku dari atas sampai bawah. Bahkan kedua pantatkupun dijilati olehnya. Aku makin terangsang ketika tangannya menyusup ke balik tanganku dan memegang kedua payudaraku. Aku merasakan kenikmatan yang menghanyutkan. Ciuman dan remasan pada buah dadaku membuat diriku melayang-layang.
Martin ingin membuatku orgasme rupanya! Dia meraba-raba dan menggelitik vaginaku dengan pola gerakan yang aneh namun menghanyutkan. Aku merasa geli sampai tubuhku mengejang-ngejang. Dibanding Martin, Andrew kalah jauh. Martin bisa menggelitik vaginaku sambil mulutnya menciumi puting susuku bergantian. Benar-benar luar biasa!
Lalu Martin minta ijin mencium vaginaku. Tentu saja aku mengijinkan dengan senang hati. Aku duduk di atas wastafel dan kubuka kakiku lebar-lebar. Martin tampak kagum melihat posisiku saat ini. Matanya bersinar-sinar nakal. Dia melihati aku terus menerus dari atas ke bawah sampai aku merasa risih. Aku berpura-pura mengatupkan kakiku dan menutupi kemaluanku dengan telapak tanganku. Dengan cepat Martin mencegah dan mulai mendekatkan mulutnya pada vaginaku. Hatiku berdebar-debar menantikan serangannya. Sedetik kemudian aku melenguh panjang sekali. Martin benar-benar hebat! Sangat hebat! Andrew tidak ada apa-apanya! Lidahnya menari-nari menjelajahi seluruh permukaan kemaluanku disertai kombinasi sedotan mulutnya yang kuat. Berbagai cara oral seks yang pernah kulihat di film BF dipraktekkan pada kemaluanku. Membuat diriku tak berdaya menghadapi serangannya.
Tak lama kemudian aku orgasme. Aku terengah-engah dan menyandarkan diriku pada dinding kamar mandi. Tubuhku lemas sekali rasanya. Martin menggodaku dengan bertanya bagaimana rasanya orgasme. Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaannya. Kemudian aku baru sadar kalau Martin tidak tahu aku sering peting dengan Andrew sampai orgasme. Dipikirnya ini pertama kali aku orgasme. Wah, Martin tampak sudah menunggu jawaban yang memuaskan dariku. Agar tidak mengecewakan Martin yang sudah berbangga hati dan berwajah `pongah' di hadapanku, aku memuji-muji kehebatannya dalam memuaskan aku. Hihihi.
Kemudian Martin menggendongku dari meja wastafel. Tak kusangka Martin membawaku masuk ke dalam ruangan lagi! Padahal aku masih telanjang bulat! Aku meronta-ronta minta diturunkan. Namun Martin tetap menggendongku masuk sambil tertawa-tawa. Sialan Martin! Ada Sandy dan Ling di dalam. Mereka akan melihatku telanjang! Aku memalingkan wajah dan kusembunyikan di leher Martin. Aku merasa malu sekali! Namun aku juga merasa tegang. Tegang ingin tahu bagaimana reaksi Sandy melihat tubuhku yang telanjang ini.
Martin tertawa menyadari aku menyembunyikan wajah di lehernya. Dia masih menggendongku saat berkata untuk melihat Ling dan Sandy. Aku menengok kearah tempat duduk mereka dan terkejut melihat mereka. Ya ampun, Sandy dan Ling sedang ML di sofa! Meskipun lampu diredupkan, namun aku masih dapat melihat perbuatan mereka. Sandy duduk bertelanjang dada dengan celana sedikit melorot. Sedangkan Ling, dalam keadaan bertelanjang bulat dia menduduki penis Sandy sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya naik turun. Ling memejamkan mata sambil mendesah-desah dengan keras. Sandy yang pandangannya ke arah kami tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Ling kemudian menoleh dan tersenyum sekilas pada kami, lalu kembali meneruskan gerakan pinggulnya.
Aku masih takjub melihat mereka yang bertindak seliar itu. Aku tak dapat mencegah mataku untuk melihat mereka terus. Aku belum pernah melihat orang ML secara nyata di hadapanku. Apalagi ini temanku sendiri. Aku jadi makin penasaran bagaimana rasanya kalau penis dimasukkan ke vaginaku. Seenak itukah? Ling tampak merasakan kenikmatan yang luar biasa! Ling bahkan tidak merasa malu dilihat oleh kami sedang bersenggama.
Beberapa saat kemudian kudengar Ling orgasme dan disusul oleh Sandy. Aku lihat Ling lemas dan ambruk di pangkuan Sandy. Sandy pun juga merasa lemas dan goyangannya melambat kemudian terhenti sama sekali. Mereka berpelukan dan saling menggoda. Lalu tertawa cekikikan dan berciuman panjang. Mereka terlihat bahagiaaa... sekali. Membuat aku makin penasaran.
Martin menurunkan aku di sofa kemudian memberikan T-shirtnya untuk kupakai. Aku memakai T-shirtnya tanpa menggunakan bra dan celana dalamku. Aku pikir supaya mudah bila Martin ingin peting lagi. Lalu dia memberiku segelas kratingdaeng dingin. Badanku terasa segar saat minuman dingin itu membasahi tenggorokanku. Kemudian badanku sudah kembali bersemangat. Bahkan jauh lebih bersemangat dari yang tadi. Aku rasa aku mulai on. Martin mengajakku bangkit dan mulai goyang bersama. Martin sudah mulai tampak kencang. Aku pun juga mulai kencang. Lagu-lagu house music koleksi Sandy benar-benar hebat dan lengkap. Bahkan lagu terbaru favoritku I Hide U juga dimilikinya!
Ruangan yang semula sangat dingin berubah jadi panas. Meski aku berdiri tepat di bawah AC, aku tetap merasa kepanasan. Keningku mulai berpeluh. Aku rasa aku lebih kencang dari biasanya. Aku menggoyangkan kepala dan tubuhku sekeras mungkin sampai Martin takut aku salah urat. Mungkin benar mitos yang beredar bahwa triping jadi lebih enak setelah orgasme.
Kemudian Ling dan Sandy menyusul kami. Ling masih belum mengenakan pakaiannya sama sekali. Alasannya karena panas. Sandy dan Martin tertawa mengejek dan menggoda Ling. Sebab menurut mereka kalau hanya mereka bertiga biasanya Ling memang suka striptease. Aku agak salah tingkah ketika Sandy melihati tubuhku dengan pandangan nakal. Ada perasaan senang berdesir di hati saat Sandy memuji kecantikan wajahku dan keindahan tubuhku. Martin rupanya segera tanggap dan mengajak Sandy bertukar tempat.
Kini Sandy berada tepat di hadapanku. Aku agak sungkan karena belum pernah berpasangan dengan Sandy. Aku tersenyum semanis mungkin padanya untuk menghilangkan kekakuan. Lalu dia bertepuk tangan menyemangatiku agar aku menari semakin hot. Secara tak sadar aku menaikkan kedua tanganku dan memejamkan mata. Begitu mataku terbuka, aku sadar kalau Sandy sedang berjongkok di hadapanku sambil melihati kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa. Rupanya T-shirt Martin terangkat ketika aku mengangkat kedua tanganku.
Aku menjerit gemas melihat tingkahnya dan mulai mengejarnya. Sandy bangkit menghindari seranganku sambil tertawa-tawa. Suasana jadi cair seketika. Lalu Sandy memelukku agar aku tenang dan menghentikan seranganku padanya. Ternyata itu hanya akal-akalannya. Setelah aku sedikit tenang dalam pelukannya, Sandy meremas pantatku yang telanjang sampai aku menjerit lagi. Sialan benar! Sandy memang suka melecehkan aku. Habis aku digodanya malam itu. Aku memeluknya dengan sayang dan mencium kedua pipinya.
Aku masih agak sungkan pada Martin dan Ling kalau aku terlalu mesra pada Sandy. Bagaimana pun juga Sandy biasanya selalu bersama Ling, sedangkan Martin bersamaku. Namun begitu aku tahu Ling dan Martin malah sudah berciuman dan saling meremas-remas, aku jadi tidak merasa risih lagi. Aku jadi tidak berpikir apa-apa. Sambil triping, kupeluk tubuh Sandy dan kuciumi leher, pipi dan bibirnya. Sandy membalas sambil memelukku dengan mesra. Malam itu partner tripingku adalah Sandy.
Sempat kulihat Martin dan Ling masuk ke kamar mandi. Aku tahu mereka pasti melakukan `itu' di dalam. Namun aku tidak merasa cemburu. Bahkan aku sempat berpikir toh aku beruntung tidak perlu memuaskan Martin yang berarti kehilangan keperawananku. Egois juga aku ya?
Malam itu kami triping sampai jam 6 pagi. Aku habis dua setengah tablet inex plus beberapa shoot minuman. Ling teler berat di sofa. Dia minum terlalu banyak sampai badannya panas dan wajahnya merah. Sedangkan Martin masih sibuk menghabiskan minumannya sambil mengoceh tak karuan. Aku membantu Sandy mengenakan pakaian Ling yang tercecer di mana-mana. Sandy terlihat paling sadar di antara kami. Dia memang tidak terlalu suka minum. Akhirnya tinggal aku dan Sandy yang tidak bisa tidur sampai jam sepuluh pagi. Kami tidur-tiduran di kamar Sandy sambil ngobrol sampai akhirnya terlelap.
Itu terakhir kali aku triping sampai aku menulis cerita ini. Sungguh suatu perubahan baru dalam hidupku. Perubahan yang sangat mendadak. Rasanya sebulan yang lalu aku masih belum mengenal narkoba. Saat aku menulis ini, aku sudah triping kira-kira lima belas kali. Benar kata Ling, kita bukannya ketagihan inex seperti yang ditakutkan, namun ketagihan perasaan senang seperti itu lagi. Kesenangan saat berpesta bersama teman-teman dalam VIP room. Melihat tingkah laku teman-teman Ling yang lucu-lucu.
Perubahan yang paling menyolok adalah, aku jadi suka mengoleksi lagu-lagu house music. Beberapa kali aku ke pasar atom untuk berburu koleksi CD house music terbaru. Mamaku sempat bertanya, namun kuberi alasan untuk latihan aerobicku. Jadi mama tidak curiga lagi. Gaya berpakaianku juga berubah jadi makin modis dan seksi. Soalnya malu dong kalau ke KW diskotik menggunakan busana yang `biasa-biasa' saja. Di sana tempat berkumpulnya anak muda Surabaya yang keren-keren. Kalau aku tidak tampil super trendy, bisa kalah pamor dong.
Saat ini aku masih senang-senangnya. Dalam seminggu aku bisa tiga sampai empat kali ke diskotik. Ada tiga tempat favoritku. Hari Sabtu pasti di KW diskotik, hari Minggu siang BO diskotik, kemudian K diskotik untuk hari-hari biasa.
Aku dan Ling tidak selalu triping bersama kelompok Sandy. Kadang kami ke KW diskotik bersama teman-teman sekolah Ling. Tapi tidak di VIP room. Melainkan di Hall berbaur bersama pengunjung lain yang rata-rata masih ABG. Ramai sekali memang. Tapi asyik. Kalau pas lagunya enak, semua akan mengangkat tangan dan berteriak bersama. Lalu goyang lagi. Wih, pokoknya seru habis! Apalagi bisa ngeceng sama cowoq-cowoq keren yang lagi triping. Mereka biasanya suka mengajak kenalan pada ceweq yang goyangnya keras. Dari KW aku jadi punya banyak kenalan baru. Sekarang aku punya banyak teman sehingga tidak kesepian lagi.
Kalau di BO diskotik, kami pergi bersama geng ceweq Ling yang tidak boleh keluar malam. Kami ke sana jam tiga sore, pulangnya jam sembilan malam. Sebenarnya aku kurang senang di sana meski pengunjungnya kebanyakan seusiaku. Soalnya tempatnya terlalu kecil dan kamar mandinya jorok.
K diskotik adalah tempat favorit kelompok Sandy. Kalau di K diskotik, aku malas berbaur dengan pengunjung lain. Sebab yang ke sana rata-rata sudah dewasa. Bahkan ada yang sudah agak tua! Paling-paling aku hanya triping di dalam VIP room dan tidak ke mana-mana. Sebab aku pernah bertemu teman papaku di sana waktu aku jalan-jalan ke Hallnya. Untung dia tidak melihatku. Kalau papaku tahu aku di sana bisa gawat! Malah Martin dengan santainya nyeletuk, bisa-bisa papaku juga sedang bersenang-senang di sana. Waduh, itu lebih gawat lagi!
Ling berjanji akan mengajakku ke Jakarta saat liburan akhir tahun ini. Aku akan diajak ke M diskotik. Diskotik paling ngetop di Jakarta. Aku pasti kagum melihat cowoq-cowoq keren di sana. Ling sudah pernah kesana sekali saat menghadiri pesta pernikahan temannya. Dan dia benar-benar tidak bisa melupakan kehebatannya. Baik kehebatan suasananya, kemegahannya, audionya maupun pengunjungnya. Jadi, bikin penasaran saja.
Yang agak kusesali, aku jadi suka membohongi orang tuaku untuk pergi ketempat-tempat dugem. Selama ini aku selalu memberi alasan menginap di rumah Ling. Aku tak tahu apakah bisa terus berbohong seperti ini. Jujur saja aku sungguh sangaaat menikmati `hobi' baruku ini. Namun kadang kala hati kecilku berontak ingin agar aku berhenti atau paling tidak mengurangi. Entahlah kita lihat saja kelanjutannya.

Cerita Dewsa - Selamat Pagi Cinta 2

Selamat Pagi Cinta 2
Tiga keindahan hakiki dari hidup,
kebebasan jiwa, bebas dan lepas
kehangatan hati, hangat dan nyaman
dan ketenangan pikiran, tenang dan damai

Takkan muncul bila ditunggu,
datang bila dicari,
terasa bila dipahami
Satu tiada lain tiada

Maka,
terkutuk yang merenggutnya,
jahanam yang mengendalikannya,
kasihan yang tak kuasa memilikinya

Kesadaranku adalah pengakuanku, bahwa,
betapa ingin ku mencintaimu, aku sungguh-sungguh
Namun cintaku takkan pernah bersemi
Berharap dibalas saja ia tak berani
Karena tahu itu menyakitkan

Karena cintalah si jahanam, si terkutuk,
dan si pembuat kemalangan itu

Lalu tersodor kasih sayang, hanya untukmu,
gadisku
Sejauh apa yang bisa kuberikan,
di dunia yang terbentuk oleh keberadaan
kau dan aku,

yang ter-nyata dari segala ilusi.........

--------hakekat dunia kecil--------------

"Kita terlalu berbeda," isak Audrey, menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
"Tapi apakah perbedaan itu membuatmu tak ingin menemuiku lagi?"
"Aku nggak bisa, Ray. Aku bukan orang yang bebas seperti itu."
"Aku tahu, Lan," sahut Ray berbisik, memanggil nama kecil si gadis, dan mendekap tubuh Audrey semakin erat.
Lama mereka terdiam, masih berpelukan, meresapi kejadian semalam yang tak disangka-sangka. Saat mereka bercinta, dan saat semua kesadaran kembali menggumpal dalam benak.
"Dan kukira aku takkan pernah jatuh cinta lagi," bisik Ray lirih.
Audrey masih terisak beberapa saat lamanya, sebelum bisikan keluar dari mulutnya,
"Kalau begitu...... cintai aku......"
"Ya."
"Selamanya...."
"Ya.Selamanya......"
"Walau itu sebuah kesalahan besar."
"..............."

Dunia kecil. Satu bagian dari kehidupan individu, dimana tak seorangpun bisa menjamahnya, selain individu itu sendiri. Dunia yang terlahir dari kesadaran akan sebuah luka, yang ditimbulkan dari kenyataan-kenyataan pahit dunia nyata. Keterikatan, pola pikir masyarakat, tata dan aturan. Semua tak ada di dunia kecil. Hanya ada kebebasan, kehangatan, dan ketenangan. Kebahagiaan hidup yang hakiki.

Orang bilang, dunia semacam itu hanya ada dalam mimpi. Dan memang, semua itu hanya sebuah ilusi. Sebuah mimpi yang akan lenyap menjadi kenangan, saat mata membuka.

Ray dan Audrey. Mereka bertemu dalam dunia itu. Dunia yang mereka bentuk bersama. Tak satupun yang mengganggu mereka di sana. Tempat dimana mereka bisa saling menyayangi, memeluk, memberi kehangatan, tanpa khawatir orang-orang itu akan merenggutnya.

Ray tak pernah tahu apa yang membuatnya melakukan kesalahan yang sama sebanyak dua kali. Yang ia tahu, sejak kepergian Enni, dan kemunculan Audrey, hanyalah bahwa ia tak sanggup melepaskan Audrey dari sisinya. Tidak bahkan untuk sehari pun dalam hidupnya. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa Audrey adalah milik keluarganya. Sang puteri yang sudah dipersiapkan sejak kelahirannya untuk mempertahankan keutuhan kerajaan keluarganya.
Gadis yang sama yang sudah menyaksikan bagaimana ia menangis. Gadis yang sudah memeluknya sepanjang malam, setiap hari, yang memberikan kehangatan dan kenyamanan luar biasa di hatinya yang kacau balau.

Audrey pun tak mengerti mengapa ia jatuh cinta pada Ray. Pemuda yang mampu membetot rasa sayang itu dari hatinya. Bukan Dendy, yang sehari-hari dipertontonkan sang ayah di depan matanya sebagai calon putera mahkota. Ia memuja pola pikir Ray yang penuh kebebasan, sebagai dampak dari keterikatan yang selama ini dihujamkan ke benaknya. Ray memberikan baginya sesuatu yang tak didapatkannya selama ini. Sebuah imaji tentang masa depan yang jauh berbeda dengan apa yang selalu didengungkan orang tuanya. Kehidupan yang bebas, pola pikir yang berasal dari diri sendiri. Keindahan yang selama ini selalu dirindukannya.

Mereka jatuh cinta, itu sebuah kesalahan yang meskipun mereka sadari namun tetap mereka jalani, dan terluka saat cinta itu memaksa mereka kembali pada kenyataan. Bahwa mereka takkan pernah saling memiliki. Ya. Memiliki. Sebuah hakekat menyedihkan dari kata cinta.

Lalu dunia itu pun berakhir.
Mata-mata pun terbuka.

----------------------------------------

Selamat Pagi Cinta (ep.2)

Sembilan tahun kemudian......

Day 1

Pengumuman untuk mengenakan kembali sabuk pengaman sudah terdengar. Ray mengencangkan sabuknya, dan memandang keluar jendela. Tak ada apapun yang bisa dilihatnya dalam suasana segelap itu, hanya sayap pesawat yang sedikit berguncang tergesek angin. Pikiran Ray terbang kemana-mana. Pada sebuah kejadian yang baru kemarin dialaminya.

-o-

"Hmm? Bali? Urusan kerja? Ah, hahaha....," gadis yang sibuk menjemur pakaian di halaman belakang tertawa terbahak-bahak. Ray merasa wajahnya memanas seketika.
"Hey, aku sungguh-sungguh," ucap Ray, mengangkat tubuhnya dari kursi dan melangkah keluar dari dapur. Pemuda itu berhenti di belakang gadis yang masih juga sibuk dengan pekerjaannya.
Lengan Ray terangkat, menyentuh lembut pundak Moogie.
"M...."
Moogie meletakkan kaus yang semula hendak dijemurnya, lalu berpaling sambil tersenyum. Bibirnya menemukan bibir Ray, lembut dan hangat.
"Aku tahu. Kamu hendak bersenang-senang, kan? Ya sudah, bersenang-senang saja lah. Aku kan ngga ngelarang kamu."
"Hmmm...," Ray hanya mengeluarkan gumaman panjang. Pemuda itu melumat bibir gadis yang dalam sekejap sudah dalam dekapannya. Tak berapa lama, sebelum Moogie mendorong tubuh Ray menjauh, lalu membalikkan tubuhnya sendiri untuk kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"M, kamu pikir aku bohong, ya?"
"Aku kan ngga perduli," ucap Moogie tanpa berpaling.
"Ngga peduli? Benar?"
"Iya. Aku tahu, dari sinar mata kamu, kalau ada gadis lain di sana. Seperti yang sudah pernah kita bicarakan tentang semua omong kosong ikatan, aku tak mau membicarakan hal itu lagi."
Ray tak mampu berkata apapun. Lama pemuda itu terdiam, memandangi punggung gadis yang ada di depannya.

"Bahkan kalau itu membuatku meninggalkan kamu?"
Moogie berhenti bergerak. Masih membungkuk, gadis itu menghela nafasnya dalam-dalam. Sesaat kemudian ia menegakkan tubuhnya, meneruskan pekerjaannya. Tak satupun kata yang keluar dari bibirnya.
Ray menundukkan kepala. Ia tak ingin Moogie tahu bahwa ini bukan sekedar kerja biasa. Meskipun Ray sendiri berusaha menganggapnya demikian, namun yang ada di balik semua cerita keberangkatannya ke Bali bukan sesuatu yang semudah dibayangkan.
Ada sebuah lukisan `masa lalu' di sana.
Ray ingin jujur. Tapi ia tak tahu harus mulai darimana.

Moogie tidak mengantar keberangkatan Ray, gadis itu sudah kembali ke Jakarta pada malam setelah perbincangan itu. Tak ada pesan lain dari si gadis, selain sebuah kecupan yang mesra di bibir dan sebuah kata-kata,
"Aku sayang kamu. Sampai minggu depan."
Ray, yang hanya menatap punggung gadis itu berlalu, tak pula bisa mengatakan apapun. Ia sendiri tak yakin apa yang akan terjadi.

-o-

Benturan antara roda pesawat dengan landasan menimbulkan sedikit guncangan. Ray tersadar dari lamunannya. Beberapa saat kemudian sirip pesawat diturunkan. Ray masih juga memandang lewat jendela. Menyaksikan lampu-lampu gedung yang merambat menghilang.
Lalu pesawat berhenti. Ray menarik nafasnya dalam-dalam, melepaskan sabuk pengamannya. Orang-orang sudah berdiri dan terlihat sibuk mengambil barang bawaan masing-masing. Ray mengamati wajah-wajah mereka. Ada yang terlihat gembira, ada yang terlihat sedih, ada yang tegang. Pemuda itu bertanya-tanya dalam hati, apa yang mereka lihat saat menatapku? Mungkinkah wajahku terlihat bingung?

Ray lalu bangkit berdiri, dengan tanda nomor bagasi pesawat di tangannya. Ia tak membawa banyak dari Surabaya, selain tas besar yang lebih cocok dimasukkan ke bagasi pesawat daripada dibawa-bawa. Tas itu pun hanya berisi ransel, tiga potong baju, empat celana dalam, dan dua celana panjang.

Beberapa pasang mata dari antrian orang menatapnya dengan pandangan ingin tahu. Siapa tidak? Ray lah satu-satunya di antara sekian banyak orang, yang terlihat begitu mencolok. Rambut panjang tersisir rapi ke belakang, janggut tebal di dagu, jas hijau tua dan celana hip-hop kebesaran. Penampilan yang menimbulkan kebingungan, apakah pemuda itu seorang eksekutif muda, ataukah seorang anak jalanan.
Seperti biasa, Ray memang tak pernah perduli dengan apapun yang menempel di tubuhnya selain rambut dan janggutnya.

Ray melangkah memasuki ruang kedatangan bandara Ngurah Rai. Matanya mencari-cari tempat pengambilan bagasi. Usai mengambil tas, matanya kembali mencari-cari. Kali ini ia mencari sosok yang sudah berjanji akan menjemputnya dari bandara.

Ternyata tak susah menemukan Rose, karena gadis itulah satu-satunya dari sekian banyak orang yang memandangnya sambil tertawa. Ray menghampiri gadis itu dan mengulurkan tangan.
"Halo, Rose."
"Halo, Ray."
Lalu tawa terdengar dari mulut mereka.
"Ray, jadi kamu bukan kampret tukang tipu," itu komentar Rose yang pertama, saat mereka berjalan menuju taksi. Ray kembali tertawa. Dunia memang penuh tukang tipu, tapi Ray bukan salah satu dari mereka.
"Ray, cuma ada satu. Ya aku," ucap Ray kemudian, disambut anggukan kepala Rose.

"Kemana kita?" tanya Rose di dalam mobil.
"Check-in. Makan. Lalu selanjutnya terserah."

Taksi segera melaju keluar dari kompleks bandara.

Day 2

Pegi itu Ray pulang ke hotel dengan tersenyum. Semalam yang ia habiskan bersama Rose terasa begitu membekas. Tanpa sadar Ray tertawa. Sopir taksi yang ada di sebelahnya terheran-heran.
"Kenapa, Mas?" tanya si sopir taksi. Ray menggelengkan kepala, masih tersenyum.
"Tidak ada apa-apa. Jalan pelan-pelan ya."
"Iya, Mas."
"Bali itu indah ya, Pak?"
Si Sopir langsung saja mulai bercerita tentang keindahan Pulau Bali, semenit sebelum ia meraih sebuah peta wisata kecil dari laci dashboard, lalu tangannya mulai menunjuk berbagai tempat yang menurutnya menyenangkan untuk disinggahi. Meskipun akhirnya Ray tertawa, kala mengetahui bahwa si Sopir ternyata berasal dari Nganjuk, namun tetap saja Ray harus mengakui bahwa apa yang dikatakan si Sopir benar. Pulau Bali memang indah, dan pasti tetap saja demikian, sejak lima tahun yang lalu terakhir kalinya ia menginjakkan kaki di sana.

Suasana memang indah di pagi yang lengang itu. Langit yang membiru dengan sdikit awan mendung. Sinar matahari pagi yang tak membuat kulit panas. Perbukitan membentang luas di sepanjang jalan sempit dari kompleks perumahan Rose menuju kembali ke Kuta, diselingi gedung-gedung kampus ber-arsitektur menarik. Hujan yang turun rintik-rintik menambah kesejukan hawa pagi itu.
Sebuah sisi lain dari kesunyian yang menurut Rose sebagai suatu keindahan yang mengandung makna tersendiri dalam kehidupan.

Ray membiarkan jendela pintunya terbuka, sehingga ia dapat menikmati udara pagi, dan tetesan lembut air yang menerpa wajahnya. Ray merindukan suasana seperti itu dalam hidupnya. Bukan angin yang membawa terlalu banyak racun knalpot, bukan tetes hujan asam yang bisa membuat kulit gatal-gatal.
"Pak," mendadak Ray berbisik pada si Sopir.
"Kenapa, Mas?" tanya si Sopir heran.
"Saya mau tidur, nanti bangunkan kalau sudah sampai."
"Iya, Mas."

Ray pejamkan matanya. Hari itu mungkin akan jadi hari yang melelahkan. Dan semalaman tanpa istirahat bukan sebuah awal yang baik.

-o-

Senyuman ramah menyambut kedatangan Ray di hotel. Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya yang lemas sambil balas tersenyum, lalu melangkahkan kakinya menelusuri lorong hotel. Baru saja ia hendak memutar kunci, saat telinganya menangkap debur ombak di kejauhan. Tertarik, Ray mengurungkan niatnya untuk segera menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Pemuda itu melangkah menuju bagian belakang hotel. Setapak demi setapak anak tangga, debur itu semakin jelas terdengar. Ray menyipitkan matanya yang lelah menatap kolam renang yang sepi. Waktu itu masih pukul setengah tujuh Indonesia barat, berarti pukul setengah delapan di Indonesia tengah. Tak ada seorangpun di sekitar kolam renang, hanya seorang bartender di pool-side-bar yang tersenyum padanya.

Ray melayangkan pandangannya jauh ke balik pepohonan. Senyum pemuda itu mengembang saat dilihatnya pantai dan ombak bergulung. Cepat-cepat dilangkahkannya kaki menuju ke sana.

Di hatinya menjerit sesuatu yang seolah lama hilang.... kebebasan.

Segala beban yang ada dihatinya seolah lenyap, saat kakinya menginjak pasir-pasir pantai. Ray berlari menuju air, tak perduli kalau ia masih mengenakan sepatu dan celana panjangnya. Dalam sekejap, air sudah membasahinya sampai ke paha. Pemuda itu tertawa-tawa. Membentangkan kedua tangannya, memejamkan mata. Sesaat kemudian jari tengahnya mengacung ke arah barat.

"FUCK YOU!!" pemuda itu berteriak, membuat seorang pria bule dengan surf-board berpaling ke arahnya sambil tertawa. Ray berteriak lagi beberapa kali sampai suaranya serak.
Entah pada siapa dia memaki. Yang pasti kepuasan ada di hatinya.

-o-

Lelah benar, saat ia melangkahkan kakinya kembali ke kolam renang. Senyuman di wajahnya. Ray merasa lebih segar dari biasanya. Nyeri-nyeri pikiran yang sering membuat benaknya jungkir balik setiap malam seolah terbang terhanyut ombak, tertanam di pasir, dan dibawa angin pantai.
Ray kembali ke hotel, masuk ke kamarnya, melepaskan baju dan celana, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.

-o-

"Ray? Ray?" suara-suara memanggilnya. Ray menggeliat, membuka matanya dan menemukan kegelapan menyelimuti pandangannya. Nafasnya terasa berat. Ray menurunkan tepian selimut, mendapati kamar yang masih terang benderang oleh cahaya matahari. Mata pemuda itu masih terasa lelah, sehingga ia memilih untuk terpejam kembali.
"Ugh," gumamnya, sekali lagi menggeliatkan tubuhnya, menikmati suara gemeratak yang keluar saat tulang-tulangnya bergesek.

"Ray?" satu suara lagi memanggilnya. Bagaikan disambar petir, Ray tersadar bahwa ada seseorang yang berada di luar pintu. Pemuda itu menyelinap dari balik selimut, sedikit mengeluh karena ia belum bersiap sama sekali.
"Ray? Ini aku. Buka dong?" lagi suara gadis itu terdengar.
Ray mengangkat bahunya dan melangkah ke arah pintu kamar. Saat pemuda itu membuka pintu, yang pertama kali dilihatnya adalah sepasang selop berwarna merah muda, lalu betis berkulit putih bersih, lalu...
"Ray?" suara gadis itu menyeret matanya ke atas. Ray mengangkat kepalanya, dan melihat sebuah senyuman yang mengembang.
"Audrey... Lan..?" Ray menggumam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Sudah lama sekali, Ray," gadis di depan Ray berkata.
Ray masih menatap Audrey. Lama. Masih juga tak percaya pada pandangannya.
Gadis dengan kaca mata minus, mata sipit yang menatap nakal di baliknya, rambut sepunggung berwarna kemerahan, wajah berbintik cokelat, bibir merah muda dengan senyum dikulum. Serasa baru kemarin Ray bertemu dengan gadis itu, yang sekarang berdiri di hadapannya, bukan sebagai bunga mimpi, melainkan dalam kenyataan.
"Lan....," bisik pemuda itu.
"Iya, ini aku," gadis di depannya berkata lagi, lalu mendorong tubuh Ray dari pintu.
"Eh?" Ray berseru pelan.
"Aku mau pee," Audrey berkata, langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ray menoleh, melihat sebuah koper berwarna hijau tua yang terlantar di depan pintu. Pemuda itu menundukkan kepalanya, lalu menyeringai dan tertawa.
Terkadang Ray merasa terlalu konyol untuk ber-romantis-ria.
Lagipula apa yang sebetulnya ia harapkan?

Ray meraih koper dan membawanya ke dalam. Pemuda itu lalu mendudukkan tubuhnya di pinggir tempat tidur. Pintu kamar mandi terbuka beberapa saat kemudian. Audrey keluar sambil mengibas-ngibaskan kaki. Saat Ray menatapnya, pemuda itu melihat Audrey sudah melepas kacamatanya. Ray tersenyum, mendapati raut Audrey yang ternyata masih juga tak berubah, masih manis dan menggemaskan. Gadis itu membalas tatapan matanya, lalu memiringkan tubuh sambil berkecak pinggang. Lama mereka bertatapan, sampai sekali lagi tawa mereka berderai. Lalu mendadak Audrey berlari dan melompat ke pangkuan Ray.

"Raaaayy!! I miss you soooo much!!" seru si gadis, memeluk Ray yang masih tertawa-tawa, membuat pemuda itu terguling terlentang di atas tempat tidur.
Lalu mereka sama-sama diam. Ray pejamkan matanya, memeluk tubuh gadis yang menindih separuh tubuhnya. Sampai ia sadari tubuh gadis itu berguncang, dan dadanya basah oleh air mata.

"It's been so long, Lan," bisik Ray. Gadis yang terisak itu mengangguk.
"Let me stay like this," Audrey menyahut tak lama kemudian. Ray menganggukkan kepalanya. Jemarinya mengelus lembut punggung Audrey, menenangkan hati si gadis, sekaligus hatinya sendiri.

Ada sejuta rasa yang berkecamuk dalam satu dekapan.
Ada selaksa kata tak terungkap dalam diam.

.........

"Ray, kamu berpikir, atau sedang menikmati?" terdengar Audrey berbisik.
Ray tersenyum, ternyata gadis itu masih ingat makna ke'diam'an yang sering diutarakannya pada semua orang.
"Aku di ambang batas," bisik Ray. Audrey menggesekkan pipinya di dada Ray.
"Aku boleh cium kamu?" mendadak gadis itu bertanya. Ada nada keragu-raguan dan rendah diri yang amat sangat di sana.
Ray tahu mengapa, tapi ia tak bertanya.
"Sebuah pertanyaan yang bodoh," Ray menjawab. Audrey mengangkat kepalanya, gadis itu tersenyum. Ray menggunakan punggung jemarinya untuk menghapus sisa air di sudut mata si gadis. Audrey menundukkan kepalanya, mengecup bibir Ray, begitu lembut sampai tanpa sadar Ray memejamkan matanya.
Tak ada kecanggungan di sana. Meski bertahun-tahun sudah lamanya.
Hanya kehangatan. Hanya sebuah kerinduan.
"I miss you.. I miss you...." bisik Audrey berulang-ulang.
"Aku juga. Lebih dari yang kamu kira," bisik Ray.

-o-

Ray baru terbangun saat handphone-nya berbunyi. Sebuah pesan dari Jay, yang mengingatkannya untuk tak lupa memakai kondom. Ray tertawa, dan menghentikan tawanya saat merasakan tubuh Audrey bergerak di sampingnya. Ray mematikan handphone lalu menopang kepalanya dengan tangan. Matanya menelusuri garis-garis wajah Audrey. Ia memang masih Audrey yang dulu, batin Ray dalam hati, namun garis-garis itu menunjukkan sesuatu yang sudah jauh lebih dewasa. Beberapa guratan kecil di samping leher si gadis, yang hanya bisa terlihat saat rambut panjang gadis itu tertarik ke samping, mirip bekas-bekas jahitan yang tak rata. Ray tahu, itulah sisa yang ditimbulkan oleh kerusuhan massal beberapa tahun yang lalu di Jakarta. Serpihan kaca yang bertebaran saat sebuah bom molotov meledak. Ledakan yang sama yang membuat Audrey kehilangan segalanya. Keluarga, dan menyusul semua kemewahan itu. Ray tahu semua ceritanya, dari mulut demi mulut. Bahkan saat Audrey terlihat berduaan dengan Mr. X di dalam foto yang disodorkan David, foto yang juga menjadi salah satu alasan mengapa ia berangkat ke Bali, Ray tahu itulah bukti nyata dari gossip yang selama ini berusaha tak diacuhkannya.

Audrey menjadi wanita simpanan, itu kata sahabat-sahabatnya dari Jakarta di penghujung tahun 2000. Kabar yang sempat membuatnya mengerang dalam hati. Waktu itu Ray bertahan, tidak memikirkan segalanya, dan tetap memelihara beku di hatinya. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang bergolak di hatinya saat ini, yang memaksanya untuk berpikir tentang hal itu. Tentang Audrey, yang mencari duit dengan sodoran kenikmatan. Pekerjaan berkedok yang paling hina yang bisa dilakukan seorang wanita. Bahkan lebih hina dari pelacur yang tanpa kedok menjajakan dirinya di jalanan. Sesuatu yang membuat Audrey terkucil dari pergaulannya. Tak ada yang bisa mengerti alasan `terpaksa' dalam kata `simpanan'.

Ray tak pernah mengira bahwa dirinya masih punya perduli, saat apatisnya sudah melebihi ambang batas manusia normal. Itu membuatnya sedikit ketakutan.

Ray mengangkat sebelah lengannya yang bebas, membentangkan jemarinya, menempelkannya di wajah Audrey, lalu mulai menelusurinya dari kening sampai ke dagu.
"Kenapa?" bisik pemuda itu lirih. Tak ada sahutan. Ray tersenyum kecut, menundukkan kepalanya dan mengecup pipi si gadis.
"Katakan kalau itu salahku," bisik Ray sekali lagi, sebelum mengangkat tubuhnya dan menuju kamar mandi. Ray membasuh dirinya di bawah siraman shower. Mungkin tanpa sadar ia menitikkan air mata, tapi air mata itu menjadi kabur saat terbawa titik-titik air.

.................

Ia telah bercinta dengan gadis itu. Dulu dan baru saja. Saat Audrey masih menjadi sosok sempurna di matanya, dan saat gadis itu menjadi cerminan keputusasaan dan kebodohan manusia.
Entah mengapa ia mau bercinta dengan gadis itu, Ray berusaha menemukan jawaban di tengah tirai air yang mengguyur tubuhnya.
Tanpa sadar emosi menguasai batinnya.

Ray teringat, hanya ada dua pesan dari Ibunda Ray, sosok moderat yang menjadi panutannya dalam hidup. Salah satunya adalah tentang bercinta.
"Ray, kamu boleh dan Mama yakin bisa bercinta dengan siapapun juga yang kamu mau, karena kamu anak Mama. Tapi ingat tiga hal: jangan hamili anak orang, jangan pernah membeli, dan jangan pernah dibeli."
Lalu apa yang terjadi sekarang? Ia bercinta dengan Audrey! Sosok yang sama dengan sosok-sosok lain yang sehari-hari menempati kolom `hina' di hatinya.
Lebih rendah dari pelacur yang bisa dibeli!!
Pengacau rumah tangga orang!!
SIMPANAN!!
LEBIH RENDAH DARI PELACUR-PELACUR KOTOR ITU!!

.....................

HEY RAY!! Batin pemuda itu berteriak. Ray tersentak.

SETAN SIAPA KAMU YANG BISA MENILAI ORANG?
"Aku... aku...," Ray terbata, matanya menatap sosok kabur dirinya sendiri di cermin yang tertutup embun.
KAMU JAHAT!
"Aku....tidak...jahat...," bisik Ray, melangkah keluar dari bath-tub, menggunakan lengannya mengusap permukaan cermin.
KAMU PERNAH MENCINTAINYA!
"Mencintainya... hampir...iya...aku.. cinta...," bisik Ray lagi, dan ia sudah menatap wajahnya sendiri. Sebuah rasa mencuat dari lubuk hatinya. Ia tak bisa munafik lagi sekarang, ia memang `pernah' mencintai Audrey. Bukan `hampir' seperti yang selalu diserukannya pada otaknya yang bebal.
CINTA ITU YANG MEMBUAT KAMU MEMBENCINYA!
"Ya... itu benar.. ," bisik Ray, dan pemuda itu tersenyum. Lagi-lagi cinta, yang selalu membuat orang-orang dipenuhi cemburu, rasa tidak terima, egoisme. Kebodohan nalar.

SEGALA SESUATU PASTI ADA ALASANNYA!!
JANGAN BIARKAN EGO MEMBUATMU BUTA!!!

"Tapi kenapa aku bercinta dengannya?" Ray bertanya pada sosok di cermin.

Karena kamu masih simpan kehangatan untuknya.
Karena kamu menginginkannya.
Karena kamu merindukannya.
Dan sejuta alasan lain.

Ray tak lagi bertanya pada `skizo-man' yang sempat muncul di cermin. Pemuda itu mengeringkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar mandi. Mendapati Audrey masih terlelap, Ray membaringkan tubuhnya di belakang si gadis, dan memeluk gadis itu dari belakang. Audrey menggeliat, Ray mengencangkan pelukannya dan berbisik, "Ssshh, biarkan aku peluk kamu dari belakang."
Tak ada sahutan, tapi Audrey berhenti bergerak.

Ray melirik ke arah arloji yang tergeletak di atas meja lampu samping tempat tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh waktu Indonesia barat. Ray merasa lapar, tapi setelah ia memejamkan mata dan menempelkan kepalanya di bekas-bekas luka di leher Audrey, laparnya lenyap. Yang ada cuma keinginan untuk memberikan seluruh kehangatannya pada si gadis. Semua kerinduan yang ia harus akui dalam dirinya. Juga sebuah pernyataan maaf atas pemikiran yang egois di benaknya beberapa menit yang lalu.
"Aku...," bisiknya, "...tak ingin berpikir."

Kemudian hari kedua yang panjang dan melelahkan berlalu.

Day 3

"Hahahaha," Ray tertawa-tawa, kakinya menghempas di atas air. Audrey mengikuti di belakangnya, juga berlari sambil tertawa-tawa. Sesekali mereka berhenti, hanya untuk saling menyiramkan air asin ke tubuh masing-masing.
Pagi itu memang indah sekali. Langit cerah tak berawan. Angin berhembus sepoi-sepoi. Pantai yang masih sepi dengan matahari yang belum terik. Hanya ada beberapa orang pejogging di pagi itu, bahkan penjual jasa pijat bermomor dada belum muncul. Tapi keramaian yang dirasakan Ray dan Audrey lebih bermakna di dalam dada, daripada sekedar pandangan mata. Dan itu membuat pagi semakin indah, seiring dengan canda dan tawa yang keluar dari mulut mereka.

Ray berhenti setelah ombak menyapu lututnya. Audrey berhenti juga, tak berapa jauh dari Ray. Tertawa, si gadis meraih air dengan talapak tangannya.
"Ray, lihat sini!" seru si gadis, tapi Ray tak bergerak. Audrey menjatuhkan air yang sudah di dalam telapak tangannya. Gadis itu melangkah sampai ke samping si pemuda. Membungkuk, gadis itu melihat mata Ray mengambang menuju horison.
"Kenapa, Ray?" tanya Audrey sambil berbisik. Ray tak menyahut beberapa lama, sampai akhirnya pemuda itu menoleh dan tersenyum.
"Aku jadi ingat, waktu kamu dulu pernah bilang alasan kenapa kamu manjangin rambut," ucap si pemuda kemudian. Audrey balas tersenyum, lalu menyusupkan sebelah lengannya ke ketiak Ray. Kepala Audrey menyandar di bahu si pemuda.
"Jadi mermaid," bisik Audrey. Ray mengangguk perlahan, lalu memalingkan kembali wajahnya jauh ke barat.
"Puteri duyung," desis Ray.
"Mau lihat ada apa di dalam laut...."
"Kebebasan."
Audrey mengangguk,"Ya, kebebasan."
Mereka sama-sama diam, sama-sama memandang jauh.

"Ray, kamu tampak begitu, uh, aneh....," bisik Audrey, membuang keheningan.
"Kenapa?" tanya Ray, "Karena aku tak bertanya-tanya?"
Audrey tak menyahut beberapa lama, lalu mengangguk.
"Lan, ini Bali. Tempat ini namanya Pantai Kuta."
"Lalu?"
Ray menundukkan kepala, menekan wajah Audrey ke atas dengan pipinya. Satu kecupan lembut mendarat di bibir si gadis.
"Aku ngga bisa ngelakuin ini di jalanan Surabaya."
"Di Jakarta juga tak pernah," bisik Audrey, matanya terpejam.
"Di sini aku bisa," ucap Ray kemudian.
"Aku tak paham."
"Inilah kebebasan. Jangan pikirkan apa-apa lagi."
Audrey tersenyum, mengangguk lalu melumat bibir Ray. Hanya semenit sebelum Ray menarik tubuhnya menjauh. Pemuda itu lalu mengedipkan mata dan berkata, "Jadi, mau lihat apa yang ada di dalam laut?"
Audrey menatap heran, saat pemuda itu mengangkat sebelah lengannya yang memegang sandal, lalu melontarkan sandal itu jauh-jauh ke tepian pantai.
"Hey, tunggu!" seru Audrey, ketika Ray berlari ke tengah air laut. Gadis itu tertawa saat Ray menerjang ombak.
"Lemparkan sandalnya!" seruan Ray terdengar, "Nanti kita beli lagi!"
Audrey terkekeh, melemparkan sandalnya ke pantai sekuat tenaga, lalu berlarian menuju Ray.

Ombak memainkan jiwa mereka, tubuh mereka.
Tapi ombak menghapus semua beban mereka.
Tertawa, bercanda, bersenda gurau.
Terseret dan terhanyut ke tepian, untuk maju lagi menerjang.

Satu kesempatan, Ray memeluk tubuh Audrey erat-erat. Berdiri membelakangi arus, Ray membiarkan tubuhnya melindungi Audrey dari tamparan ombak.
"Lan," bisik Ray, matanya menatap mata gadis di depannya, "ini satu kenyataan dari impian yang belum pernah kita wujudkan. Kamu dan aku."
Audrey mengangguk, "Tapi sekarang kita di sini."
"Ya, kita di sini. Menikmati segala sesuatunya."
"Ray, aku rindu........."
"Ssshhhh," Ray berbisik, membekap bibir Audrey dengan bibirnya. Tepat saat sebuah ombak setinggi kepala menghantam dari belakang. Ray terseret enam langkah menuju pantai. Bibir mereka terasa asin, dan mata memanas. Ray menyembul keluar dari air, nafasnya tersengal. Didapatinya Audrey beberapa langkah lebih jauh darinya, sibuk menyeka wajahnya sendiri. Ray tertawa, berjalan menuju Audrey dan meraih lengan gadis itu.
"Ayo, kita terjang ombak sialan itu, terus kita ciuman lagi di sana."
Audrey terkekeh, mengangguk, mengikuti langkah Ray.
Mereka berciuman lagi, dan ombak kembali menerjang.

Persis seperti dulu, saat pertama kali mereka bertemu.
Banyak hempasan, saat kemesraan itu datang.
Mungkin lebih dari sekedar air yang membelah saat kaki kokoh menancap.
Tapi tetap saja membangkitkan semangat pemberontak yang lama lelah lenyap.

-o-

"Jangan jauh-jauh, Lan," ucap Ray, mendudukkan tubuhnya di belakang Audrey. Jemari pemuda itu lalu memijat kepala gadis di depannya. Busa-busa mulai bermunculan di sela jemarinya.
"Hmmm, enak," sahut Audrey. Ray tersenyum, meraih rambut panjang si gadis, dan mulai membersihkannya. Beberapa menit Ray membuat gadis itu diam, menikmati pijatan-pijatan lembut di kepalanya. Audrey mengerang saat jemari Ray terangkat.
"Lagi," bisik Audrey. Ray tertawa, mengambil shower dan mulai membasahi rambut si gadis. Audrey mengerang protes, tapi Ray malah mengguyur seluruh tubuh gadis itu. Gusat, Audrey membalikkan tubuhnya, merebut shower dan ganti membasahi tubuh Ray. Pemuda itu terkekeh-kekeh.
"Aku yang keramasin kamu sekarang," ucap Audrey. Ray mengangguk. Gadis itu meletakkan shower, lalu mengambil botol kuning dari pinggir bath tub. Semenit kemudian ia mulai sibuk mengeramasi Ray.

"Hey, Ray," Audrey memanggil, sementara jemarinya masih sibuk bekerja.
"Hmmm?"
"Bagaimana kamu bisa?"
"Bisa apa?"
"Tidak menanyakan apapun? Bahkan kabarku?"
"Aku sudah bilang tadi kan?"
"Apa?"
"Ngga mikirin apapun?"
"Uhh," Audrey menggumam, "tapi ngga ngerasa kalau itu aneh benar?"
"Kenapa aneh?"
"Yah, kamu dan aku bercinta semalam. Juga tanpa ada pertanyaan apapun. Begitu saja terjadi. Semua canda tawa. Seolah tak ada masalah apapun."
"Lalu, ada masalah apa?"
"Entahlah. Setidaknya, tanyakan bagaimana kabarku."
"Ya, bagaimana kabarmu, Lan?"
Audrey tertawa, mendorong pelan kepala Ray.
"Konyol."
"Lha, aku kan bertanya, kok malah salah?"
"Iya ya?" sahut Audrey, tersenyum, "Aku baik-baik saja. Kamu?"
"Aku? Mungkin kalau aku sebulan di sini aku bakal bilang baik-baik saja."
"Hmm. Masih penuh problema dan misterius."
"Eh...?" Ray menggumam. Audrey tertawa, meraih shower dan mulai membersihkan kepala si pemuda. Ray ikut tertawa, lalu menempelkan pipinya di lengan Audrey. Gadis itu menghentikan gerakannya dan menarik kepala Ray ke dalam pelukan. Lama mereka terdiam dalam posisi demikian.

"Lan," akhirnya Ray berbisik, "aku memang merindukan kamu."
"Hmmm," Audrey mengecup kening basah Ray.
"Aku punya sejuta pertanyaan. Mungkin sejak dulu kusimpan. Tapi...."
"Kenapa ngga nanya?"
"Aku....," Ray terdiam sejenak, ".....aku takut akan merusak segalanya."
"Segalanya?"
"Ya. Pertemuan ini. Semuanya. Aku cuma takut."
Audrey tertawa kecil, mendekap kepala Ray erat-erat, menciumi ubun-ubun kepala pemuda itu. "Ray," bisik si gadis, "kamu lebih bodoh daripada aku."
"Mungkin," bisik Ray, "aku ngga mau membebani otakku dengan pemikiran yang macam-macam. Aku ngga mau kehilangan setiap waktu pun, aku ngga...."
Audrey menarik kepala Ray mundur, melumat bibir pemuda itu.
"Aku tahu. Aku paham benar. Tapi sekarang...aku... mau....," desah Audrey.
Mereka lalu bercinta. Dari kamar mandi sampai ke tempat tidur. Dari siang sampai gelap menjelang. Satu lagi senja terlewatkan.

Petang itu mereka habiskan dengan berjalan-jalan sepanjang Kuta Center. Memesan tiket pesawat untuk hari Jumat. Lalu dinner di R.Aja's, sebuah rumah makan yang pertama kali direkomendasikan Rose pada Ray. Tak ada perbincangan yang menjurus pada apa yang terjadi selama tahun-tahun terakhir. Semua seputar masa lalu yang bahagia. Tentang sahabat-sahabat yang sudah menjalani kehidupan masing-masing. Perbincangan yang ber-setting masa kini cuma cerita tentang Jay, `soul brother' Ray, dan hubungan unik yang terjadi antara Jay dan Kat di Surabaya. Audrey tergelak saat Ray menceritakan bagaimana terkejutnya Kat saat melihat Ray datang bersama Jay, lalu segala kejadian a la film Cruel Intentions.

Setelah itu mereka berjalan-jalan dan berbelanja. Ray sempat menggeleng-gelengkan kepala melihat Audrey berbelanja tanpa menawar. Mungkin Ray sempat sedih melihat penuhnya dompet si gadis dengan lembaran-lembaran merah proklamator, tapi Ray menepis semua imajinasi buruknya dengan tertawa, bercanda, dan merokok.

Malamnya mereka bercinta lagi, dan terbaring kelelahan sampai datangnya telepon dari Rose, yang mengatakan bahwa ia dan sahabat-sahabatnya ada di lobi hotel.
Ray mengenalkan Audrey, dan Rose mengenalkan teman-temannya. Setelah perbincangan yang diselingi gelak tawa, Rose dan teman-temannya pulang.

Ray dan Audrey kembali berdua. Satu senyuman nakal, dan Ray menggandeng Audrey kembali ke kamar. Bercinta, dan bercinta terus seperti orang gila.

Tak ada pemikiran yang membebani.
Tak ada titik-titik yang harus diisi.
Tak ada tanda tanya yang harus terjawab.
Ray tahu ia sudah kembali dalam ruang kecil itu.
Ray tahu Audrey pun menyadarinya.
Di `dunia kecil'.
Dunia yang penuh kebebasan.
Dunia yang terasing dari dunia masing-masing.
Persis seperti apa yang pernah mereka berdua jalani. Ray dan Audrey.

Day 4

Ray terbangun, tersenyum saat mendapati Audrey sedang menatap dirinya. Pemuda itu menekuk tubuhnya, lalu menyusupkan kepalanya di dada telanjang si gadis. Audrey tertawa kecil, membetulkan letak selimut, dan memeluk kepala pemuda itu.
Tak ada satu katapun yang terucap di antara mereka. Tak satupun yang ingin. Semua seolah tersedot oleh kemesraan yang luar biasa, yang muncul di sela kehangatan yang keluar dari tubuh masing-masing.
Lama kemudian, sampai terdengar Audrey bersenandung lirih.
"My love... there's only you in my heart.. the only thing that's right..."

Ray tak bergerak, mendengarkan dengan mata terpejam, kata demi kata yang keluar dari bibir Audrey. Lirik yang dahulu mereka sering nyanyikan bersama. Saat-saat mereka berdua menatap jauh ke arah langit tanpa batas, mencoba membayangkan apa yang terjadi seandainya mereka bertemu dalam kondisi yang `pas' di mata orang-orang. Seandainya tak perlu ada dunia kecil sebagai syarat untuk terus bersama.

Lalu lagu itu pun berakhir. Ray sadar, matanya sudah basah. Luka itu melebar lagi di hatinya. Perasaan tak ingin berpisah itu mencuat kembali. Kebekuan yang sudah lama terbentuk seolah beroleh secercah kehangatan untuk mencair, membebaskan sebuah jiwa yang selama ini terbelenggu.
"Ray," Audrey berbisik, jemarinya meraba rambut pemuda di pelukannya.
"Hmmm?" gumam Ray.
"Kamu menangis? Menangis untukku?"
Ray menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku hanya mengantuk."
"It's okay, Ray. Semua orang yang mengalami duka sudah wajar untuk menangis."
"Aku hanya mengantuk."
Audrey tertawa lirih dan berkata, "Kamu mau aku nyanyi lagi?"
"Mau," bisik Ray, "tapi lagu yang lain."
"Apa, Sayang?"
"Hmmm. Ray bobo..oohh... Ray bobo...."
"Hihihi."
Ray tersenyum. Kehangatan itu nyata.
"Ray?"
"Ya?"
"Aku sayang kamu. Meskipun itu berat. Tapi aku lebih suka mengatakannya daripada menyimpannya dalam hati."
"Berat...hmmm....," Ray menggumam, "ya... itu memang berat. Tapi itu satu-satunya yang tak salah untuk diucapkan."

"That's how darling.. it's incredible... how someone is so unforgetable...," Audrey bersenandung lagi. Ray mengangkat lengannya, memeluk pinggang Audrey erat-erat. Membiarkan semuanya lepas kini. Air matanya, isaknya yang menyusul kemudian. Suara Audrey pun semakin serak. Keheningan menjadi akhirnya.
Lama. Lama sekali. Hanya berdekapan. Menangisi nasib yang tak menentu. Semuanya terjadi persis seperti saat pertama kali mereka berjumpa. Ray dengan masalahnya. Audrey dengan masalahnya. Dan kehangatan yang muncul juga sama persis. Tak ada bedanya. Kenyamanan itu juga.

Tapi tak ada ketenangan.

"Malam nanti malam terakhir," gumaman Audrey terdengar. Ray menganggukkan kepalanya, tak menjawab dengan kata-kata.
"Ray, bertanyalah," bisik Audrey, "apapun tentang diriku yang kamu ingin tahu."
"Kenapa aku harus?"
"Itu berarti kamu memikirkan aku."
"Aku ngga mau. Itu akan membuatku luka."
"Ray. Kita sudah terluka sejak dulu. Sejak kita berpisah. Kamu juga tahu itu. Luka itu ngga bakal bisa menutup. Apapun yang terjadi," ucap Audrey, menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan, "Kecuali kamu menarikku. Tapi kamu takkan melakukannya, bukan? Kurasa halangan bukan lagi dariku. Tapi dari dirimu sendiri."

Ray termenung. Apa yang dikatakan Audrey memang benar. Semua sekarang ada di dirinya. Ia bisa saja merengkuh Audrey, mendapatkan cintanya yang telah lama hilang. Takkan ada lagi yang menghalangi mereka, terutama dari pihak Audrey. Tapi dari dirinya? Ray sadar, itu semua tak semudah yang ia inginkan.

"Aku tahu, Ray. Bahkan sejak dahulu aku memutuskan untuk menerjang semuanya bersama kamu. Kamu terluka. Luka yang amat parah. Sakit di otak dan di hatimu. Aku sudah tahu, aku takkan bisa memiliki kamu.
"Waktu itu kamu memaksakan dirimu untuk menyeretku. Aku juga tahu itu. Kamu tak menginginkannya. Tapi kamu tak melawannya. Lalu kamu terluka lagi. Sekarang, aku bahkan tak punya secuil pun pikiran kalau kamu mau menyeretku sekali lagi."

"Lan....."

"Ssshhh, Ray. Kamu menciptakan dirimu menjadi seorang bayi besar. Polos. Tanpa kebencian. Tanpa rasa suka. Tanpa bahagia. Tanpa sedih. Hanya kebiasaan yang membuatmu tetap hidup. Katakan kalau aku salah."

"Tidak... kamu benar...."

"Makanya aku ingin kamu bertanya padaku. Sehingga bisa kuceritakan tentang lukaku padamu. Seperti yang sudah pernah kau ceritakan padaku dulu. Sesuatu yang membuat perbedaan antara kamu dan aku. Sesuatu yang membuatku tetap hidup dan berjalan di atas kedua kakiku."

"Kamu tak perlu cerita. Aku sudah tahu."

"Hmm," Audrey menghela nafasnya, "pemahaman dirimu jauh berbeda. Tidakkah kau sadar bahwa pemahaman seorang bocah, yang tahunya bahwa hidup hanya hitam dan putih, tak berlaku di dunia nyata?"

"Kelabu....."

"Bagus. Kamu tahu. Tapi kamu tak mau paham. Bertanyalah, Ray."

"Aku cuma ingin tahu kenapa."

"Karena....," Audrey mulai bercerita. Ray terpukul. Ia tak mengerti. Dan tak mau mengerti. Semua yang diceritakan Audrey seperti sebuah kebodohan tak berdasar. Satu demi satu kata menghantam lubuk nalarnya. Gadis itu berjalan. Berjalan terus. Maju ke depan. Tak sekalipun mundur atau berkelit dari kenyataan. Ia mencari celah sempit di antara semak berduri. Kulitnya terluka, tapi tak sampai ke daging. Sesuatu yang bertolak pikiran dengan Ray, yang lebih memilih untuk melompati semak, atau mencari jalan memutarinya.

"........itulah Ray. Kepedihan yang membuatku semakin kuat hari demi hari. Tapi aku bukan zombie. Bukan pula seorang bayi yang polos. Bukan bocah yang lugu. Aku seorang wanita. Itulah bedanya. Kamu mengerti?"

"Tidak, aku tidak mengerti. Dan aku tak mau tahu."

"Baiklah, tapi boleh aku bertanya, mungkinkah kamu menyeretku?"

"Aku tidak tahu."

"Oke. Satu lagi, bagaimana kita akan menghabiskan hari ini?"

"Dengan tak memikirkan apapun."

"Baiklah, Ray. Baiklah."

Audrey tak lagi mengungkit perbincangan pagi itu. Ray juga tak ingin memikirkannya. Hari itu mereka habiskan dengan bersenang-senang. Berenang, ke pantai, menerjang ombak, berbelanja di Poppis Lane. Mencobai berbagai kalung dan baju. Membuat para penjual geleng-geleng kepala dengan tawaran yang menyakitkan kuping. Tertawa bersama saat Ray membelikan asbak totem sebagai oleh-oleh untuk Jay, dengan alasan bahwa Jay sangat mirip dengan sosok hitam si totem.

Ketika malam tiba, mereka berangkat ke Hard Rock Cafe. Menghabiskan waktu di sana. Bergembira. Bergoyang di floor sampai pukul tiga pagi waktu Indonesia tengah.

-o-

"Hahahaha," Ray tertawa, "kamu jojing seperti orang gila."
Audrey ikut tertawa, lalu mengencangkan pelukannya di lengan Ray. Ray tersenyum, dan tawa mereka pun terhenti. Ada sesuatu dalam diam yang membuat masing-masing menikmatinya. Mereka berdua melangkah menelusuri trotoar, kembali ke hotel yang letaknya tak terlalu jauh.

"Aku dingin," bisik Audrey. Ray menarik lengannya dari pelukan Audrey, lalu melingkarkannya ke bahu si gadis.
"Seperti dulu, waktu di puncak," gumam Ray. Audrey merapat ke dada pemuda itu.
"Aku ngga pernah lupa rasanya," bisik si gadis lagi.
Beberapa langkah kemudian, Ray berhenti. Pemuda itu melepaskan pelukannya, memutar tubuh menghadap Audrey. Mata mereka berdua bertatapan.
"Aku nyaris lupa rasanya, dan itu kesalahanku," Ray mendesah, lalu mengecup bibir gadis di depannya. Mata keduanya terpejam. Tubuh mereka merapat. Ada gejolak dalam hati masing-masing. Ada kerinduan, ada kasih sayang, ada kehangatan, ada bahagia, ada sedih, dan mereka sadari........ bahwa cinta itu ada di sana.

"Lan, ikut aku ke Surabaya. Jangan kembali ke Jakarta," Ray lah yang pertama kali mengungkapkannya. Tak ada satupun lagi yang mampu menghalangi si pemuda dari berkata demikian. Beberapa menit tak ada jawaban dari Audrey, hanya kepala si gadis yang tertarik dari hadapan Ray, dan jatuh ke dada si pemuda.
"Ray," Audrey akhirnya berbisik, "kamu akan mengulangi kesalahan yang sama?"
Ray terdiam. Tak mampu mengatakan apapun. Sekarang baru ia merasakan betapa kesedihan itu muncul setelah sekian lama mengintai dari sudut-sudut sempit hatinya, menunggu sampai ia merasakan kembali cinta di hatinya.

Semuanya kesalahan yang sama. Cinta. Sumber dari egoisme.
Egois, saat ia tak memikirkan apapun selain kepuasan diri sendiri.
Saat ia lupa, bahwa banyak hal yang berkutat di luar `dunia kecil'.
Hal-hal yang tak dapat lagi disatukan secara paksa.
Yang kalaupun bisa, hanya akan menimbulkan lebih banyak konflik.
Lebih banyak duka.

Kesedihan Ray yang paling mendalam, saat ia menyadari bahwa hal-hal itu sekarang berasal dari dirinya sendiri. Terlalu banyak yang terjadi selama ini. Semenjak perpisahannya dengan Audrey. Ada Upay, Jay, Andre. Ada Nia, Meta, Aya, dan gadis-gadis lain.

Ada Moogie...........

Audrey mendadak menarik tubuhnya dari dekapan Ray. Gadis itu tersenyum, meskipun Ray bisa melihat matanya yang basah. Ray menggunakan ibu jarinya untuk mengusap air mata di wajah si gadis.
"Ray," ucap Audrey, "bukankah kamu yang bilang jangan mikir apapun?"
Ray tersenyum, mengangguk walau hatinya pedih. Audrey membalikkan tubuh dan berseru sebelum berlari, "Ayo, Ray. Kejar aku sampai ke hotel."
"Hahaha. Lari yang kencang!" seru Ray, menggerakkan kakinya mengejar.

Di hotel, mereka bercinta sampai matahari terbit.

Day 5

Dua pasang mata itu menatap jauh ke landasan pacu. Ada pantai di kejauhan, dengan ombak yang silih berganti. Langit terlihat begitu cerah, dengan awan biri-biri yang menggumpal dari arah horizon. Pohon-pohon di sepanjang landasan terlihat bergoyang, menandakan angin bertiup sedikit kencang.

"Kita pulang," bisik Audrey. Ray, masih menatap jauh, mengangguk sambil tersenyum.
"Ya, kita pulang," ucap Ray kemudian. Jemari pemuda itu semakin erat menggenggam jemari gadis di sampingnya.
"Aku ke Jakarta, kamu ke Surabaya," lagi Audrey berbisik.
"Cuma setengah jam lagi."
"Ya."
"Aku ngga tahu mesti ngapain di sana."
Audrey menoleh dan tersenyum, mendekatkan tubuhnya dan mengecup pipi Ray. Pemuda itu menoleh, dan balas tersenyum.

"Ray bodoh, kamu akan hidup seperti biasa," ucap Audrey. Ray memalingkan wajahnya kembali ke jendela dan menggeleng, "Entahlah. Aku mungkin bisa kembali seperti biasa. Tapi kurasa empat hari ini, bersama kamu, akan membuat segalanya lebih berbeda."
"Aku tidak bisa munafik, dengan mengatakan bahwa aku takkan demikian," Audrey berkata, menempelkan keningnya di pundak Ray.

"Semua terlalu cepat. Tapi menyisakan terlalu banyak," bisik Ray, setelah keduanya terdiam beberapa saat. Audrey tak menyahut, menggesekkan pipinya di lengan si pemuda.
"Tapi kurasa kita tidak salah lagi, Ray," Audrey berkata lirih.
"Aku ngga yakin masalah itu. Kamu?" tanya Ray.
"Entahlah. Mungkin hanya itu yang bisa kukatakan."
"Kita lihat saja. Kalau itu salah?"
"Kamu harus hubungi aku secepatnya."
"Kalau itu benar?" tanya Ray sekali lagi.
"Berarti........," Audrey berhenti berkata-kata.

"Berarti kita sudah dewasa," bisik Ray.
"Ya. Kita sudah dewasa," sahut Audrey, juga berbisik.

Dan keduanya termenung. Mencoba memahami apa yang telah terjadi selama empat hari yang mereka habiskan bersama. Dari kenangan yang terusik, dari segala rasa yang kembali terungkap, dari kebahagiaan yang tak dapat dipungkiri, sampai sesuatu yang membuat mereka merasa seperti orang bingung di jalan tak berujung.

-o-

Ray melepaskan sabuk pengamannya. Mengangkat tubuh dan hendak mengambil tas yang ia letakkan di bagasi penumpang, saat matanya menatap sosok Audrey dua deret di belakang tempat duduknya. Mereka memang tak duduk bersama, seperti yang sudah mereka sepakati di biro perjalanan. Waktu itu, entah mengapa, keduanya merasa itulah yang terbaik, memberikan waktu bagi masing-masing untuk berpikir dan merenung.

Ray tersenyum saat melihat Audrey asik berbincang dengan seorang pria bertubuh tambun, bermata sipit, dan berpakaian eksekutif warna kuning. Pemuda itu mengambil tasnya dan melangkah menghampiri.
"Lan," panggil Ray, gadis itu menoleh dan tersenyum tipis ke arahnya. Begitu juga dengan si lelaki tambun, yang menatap dengan pandangan kurang senang.
"Sepertinya kamu tidak turun di Surabaya," ucap Ray.
Audrey menganggukkan kepalanya.
"Jadi," kata Ray sambil menunduk, "aku pulang, ya?"
Usai berkata demikan, Ray mengangkat kepalanya dan menyeringai.
"Jangan khawatir, Lan," katanya, "I will survive."
"Ray," Audrey memanggil, lalu menyodorkan selembar kertas yang dilipat dua.

"Jangan dibuka sebelum turun," ucap si gadis sambil tersenyum. Ray mengangguk, memandang sekilas pada si lelaki tambun, lalu membalikkan tubuh. Ada cemburu di hati si pemuda, yang harus segera dihilangkannya.

Ray membalikkan tubuh di depan pintu masuk bandara. Melihat pesawat yang masih diam di tempatnya. Sepuluh menit lagi pesawat itu akan lepas landas. Membawa serta semua yang tak mungkin lagi bisa diraihnya. Semua merupakan bagian dari masa lalu yang pahit. Seorang gadis bernama Audrey yang pernah membuatnya merasakan bagaimana cinta itu benar-benar ada dalam dirinya, dan yang membuktikannya sekali lagi setelah sembilan tahun berselang.

Teringat sesuatu, Ray merogoh kertas di sakunya. Pemuda itu membuka dan membaca kata demi kata yang tertulis rapi:

"Aku mencintaimu, Ray. Dahulu, sekarang, dan selamanya. Kejarlah pesawatku. Ambil aku dan mari kita merasa bersalah karena saling mencintai. -lan-."

Ray tersenyum, matanya lembali menatap nanar ke arah pesawat. Masih cukup waktu baginya untuk mengambil keputusan.

Tapi kakinya begitu kuat menancap di tanah.

Ini Surabaya. Ini kehidupannya.
Banyak yang mengharapkannya, lebih banyak lagi yang tak bisa dikesampingkannya.

Jemarinya meremas kertas itu menjadi gumpalan. Ray membawa gumpalan itu ke bibirnya, mengecup, lalu membuang kertas itu jauh-jauh.
"Thanks, Lan, tapi jangan lagi dunia kecil," bisiknya pada udara. Ia tahu Audrey masih bisa melihatnya dari tempat dimana gadis itu duduk.

Membalikkan tubuh, Ray merasa kakinya tak lagi berat. Menyeringai, pemuda itu melangkahkan kakinya. Mantap. Tanpa ragu-ragu. Sejenak ia merasa sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Mungkin kebekuan yang selama ini bersarang di hatinya berkurang lagi beberapa persen. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa benar-benar menjadi seorang manusia biasa.

Ray tak perduli lagi dengan David, yang pasti menunggu kabar baik darinya di Surabaya. Ia sudah berkata tak ingin memikirkan apapun selama bersama Audrey, dan ia benar-benar melakukannya. Lagipula Ray berpikir, untuk apa? Sementara ia bisa saja menelepon Audrey setiap saat dan meminta bantuan, yang ia tahu takkan ditolak oleh si gadis.

Jay menjemput Ray di bandara. Pemuda itu tertawa melihat sahabatnya bertambah hitam. Setidaknya sampai beberapa minggu ke depan, mereka akan benar-benar menyandang predikat `saudara kembar'.

Satu pertanyaan Jay di dalam mobil.
"Apa yang terjadi di Bali?"
Ray hanya tersenyum, menatap ke arah pohon-pohon dan gedung yang berlari.

"Apa? Hanya sebuah proses menyadari bahwa cinta itu sifat manusia yang takkan pernah hilang. Dan yang terpenting, ada satu sisi baik sekaligus yang menakutkan dari cinta selain hasrat memiliki, yaitu: keabadian. Aku sudah lupa tentang hal itu, tapi seseorang mengingatkannya lagi padaku."

Jay mengangguk, "Cinta memang rumit."
"Ya. Begitulah. Omong-omong, mana mobilku?"
"Dipinjam Hendro. Eh, ngerokok dulu! Ngerokok dulu!"
"Whoaa!!!!"

Demikianlah, Ray mencoba melupakan segala kesedihan dan beban pikirannya, dengan tertawa, bercanda, dan merokok.

Entah dia bakal lupa atau tidak, hanya waktu yang bisa menjawabnya.