Cerita Dewasa - Another suitcase in Another Hall

Another Suitcase in Another Hall
Another suitcase in another hall... Where am I going to? Where am I going to.... ? ~

Rose berdiri di peron stasiun Gambir. Saat itu pukul dua siang. Sebuah koper hitam teronggok dekat kakinya. Di bahunya tersampir satu traveling bag Elle, hitam juga. Asyik diamatinya orang yang lalu lalang dengan wajah berminyak dan tubuh berkeringat; hari yang panas dan terik. Tapi tubuhnya sendiri masih terasa sejuk, belum lima menit yang lalu saat ia keluar dari gerbong Eksekutif Tiga setelah perjalanan yang cukup panjang dari Surabaya.
"Tidak, terima kasih," ia menggelengkan kepala menolak tawaran layanan porter dan dengan santai menarik keluar tangkai trolley kopernya, beringsut pergi di antara kerumunan manusia yang juga baru tiba di ibukota.
Ia mengacungkan tangannya memanggil satu taksi biru, memasukkan koper di bagasi dan menghenyakkan tubuhnya di kursi belakang. "Sudirman", suara altonya menyebutkan nama sebuah Hotel di jantung kota Jakarta. Kota ini terakhir kali ia kunjungi tahun 1989 dan sudah menjadi salah satu target kunjungannya sejak enam bulan yang lalu. Kalau saja bencana banjir kemarin tidak melanda, kunjungan ini harusnya sudah terealisasi. Matanya menikmati pemandangan dari balik kaca jendela. Sudah tidak kelihatan lagi sisa banjir sebulan kemarin. Lalu lintas cukup lancar dan jalan-jalan protokol yang dilewati terbilang bersih. Sekali lagi ia bertanya pada diri sendiri, why Jakarta. Untuk melepaskan kepenatan kerja dan sekedar refreshing, kota ini bukan pilihan tepat. "Dante, itu jawabannya," ia tersenyum simpul sendiri. Senyum yang menurut lelaki itu, senyum kemenangan yang sudah dimilikinya sejak ia kecil. Istilah senyum kemenangan yang diberikan Dante saat pertama kali mereka bertemu.
Lamunan panjang itu membuainya lagi...

Denpasar - Bandara Ngurah Rai enam bulan yang lalu

"Para penumpang pesawat GA 249 jurusan Yogyakarta dipersilakan masuk ke pesawat melalui pintu 17"
Waktu sudah menunjukkan pukul 18:30, artinya ia baru tiba di Yogyakarta sekitar pukul setengah delapan malam. Rose bergegas bangun dari kursinya, sedikit terhuyung didera rasa kantuk karena terlalu lama menunggu dan bergegas mengambil antrian panjang di gate 17. Lalu tanpa sengaja matanya bertemu dengan seorang lelaki yang menjejeri antrean di sampingnya. Cuma sedetik, sebelum hampir berbarengan mereka membuang muka. Ia menyerahkan separuh bagian boarding pass dan melangkah cepat menuju ke pesawat.
Left window seat, 5th row. Ia meletakkan tubuhnya perlahan di situ. Penerbangan singkat membuatnya tidak terlalu gelisah. Jari tangannya mulai sibuk mengencangkan seatbelt saat seseorang yang semestinya duduk di sampingnya tiba. Ia melirik sekilas dan agak terkejut, ternyata pria yang tadi antre di sampingnya di gate 17. Dari sudut matanya Rose menilai pria yang akan menemaninya dalam satu jam penerbangan ini. Hhmm… tingginya cuma rata-rata pria Asia, sekitar 170 cm, kulitnya termasuk putih, tubuhnya kurus dan tipis. Wajahnya tirus dan dingin. Tapi mata itu sungguh menarik. Besar dengan bulu mata panjang dan lentik, pandangannya jauh menerawang, seolah tidak sedang menjejakkan kaki di tanah. Melihat wajahnya yang serius sedikit masam saat ia muncul tadi, membuat Rose merasa perjalanan kali ini akan membosankan tanpa teman berbincang.
Maka setelah lepas landas yang mulus, ia mulai mengambil posisi duduk yang paling nyaman dan menikmati Just For Laughs di televisi sambil sesekali tersenyum sendiri.
"Senyummu itu penuh kemenangan," sebuah suara bariton di sampingnya membuatnya tersentak.
"Hah?" refleks ia menyahut dan berpaling ke samping, untuk sekali lagi bertemu dengan mata itu.
"Pernah kulihat senyum seperti itu," melemah suaranya, seolah mengeluh pada diri sendiri. "Sakit, itu yang kurasakan," katanya sambil tangannya bergerak menyentuh sisi kiri atas perut.
Rose terdiam, kata-kata yang hendak keluar ditelannya kembali. Sebaliknya, ia ganti menggigiti bibir bawahnya. Matanya memandang tajam, menyelidik sebentar. Kemudian pandangannya kembali ke monitor TV.
"Mengingatkanmu pada seseorang?" Rose bertanya dengan nada datar. Berusaha menghilangkan senyum yang biasanya mengiringi bicaranya. Apalagi senyum itu membawa masalah, kali ini.
Pria itu menarik nafas dalam.
"Sorry," Rose tetap tanpa ekspresi. Bukannya khawatir akan memperburuk keadaan dengan ekspresi yang bakal keluar. Tapi lebih karena kata "sorry" yang terlanjur terucap tanpa diperintah itu, "Haruskah aku ber-sorry untuk hal yang bukan salahku."
"Bukan salahmu, hanya senyum itu." Seolah dia dapat membaca pikiran Rose. Dia tersenyum pahit. "Boleh aku berterus terang?" kali ini nada suaranya merendah.
Rose masih terdiam, kebingungan oleh situasi yang di luar dugaan.
"Dulu senyum penuh kemenangan itu memang menyakitkan, karena aku dicampakkan."
Rose menggigit bibir bawahnya makin kuat, menunggu.
Pria itu bergeser menghadap Rose yang terduduk kaku. Sangat dekat, hingga Rose bisa merasakan sapuan nafas di kulit lehernya. Seolah berbisik kepada seorang kenalan lama, "Tapi senyum penuh kemenanganmu menggodaku."
Mau tak mau Rose tertawa lebar. "Kamu lucu, tapi kalau ini strategi rayuan, maaf saya tidak tertarik."
"Oh, sudah ada yang punya?" pria itu balik bertanya dengan wajah tanpa dosa.
Rose mengangguk cepat, "He eh sudah."
Sebuah "oooooooo" panjang pria itu mengakhiri perbincangan mereka. Selebihnya Rose menikmati snack dan memandangi awan berarak dari jendela pesawat, si lelaki malah merebahkan kursi ke belakang dan memejamkan matanya.

30 menit kemudian

Touch down yang mulus di Yogyakarta. Hari sudah gelap dan penumpang bersiap turun pesawat. Pria itu masih asyik tidur (atau pura-pura tidur). Mau tak mau ia harus membangunkannya untuk bisa segera keluar.
"Ehhmm… hey, Sudah sampai," ia menepuk telapak tangan pria itu sedikit, berusaha untuk tidak mengejutkannya dari tidur. Agak gelisah mengawasi antrian penumpang yang hampir habis sedangkan pria itu belum bergerak sedikit pun. Tiba-tiba ada rasa hangat menjalar di tangan kanannya. Rose terkesiap dan cepat menarik tangannya. Pria itu baru saja meremasnya. Kelengahannya yang beberapa detik itu benar-benar dimanfaatkan. Mukanya merah karena malu dan jantungnya berdesir. "Damned…"
Cepat ia beranjak berdiri dan melewati kursi lelaki itu duduk. Sedikit kasar dalam ketergesaannya, malah membuat sepasang pantatnya bergesekan dengan lutut kanan lelaki itu lagi.
"Sebentar..."
"Ya?" Rose menoleh.
"Datanglah ke Gallery Dante besok, jam dua siang. Pameran lukisanku. Ada yang ingin kuperlihatkan padamu."
"Aku sungguh belum tahu apakah aku..."
"Datanglah.. Kutunggu..." sambil menyerahkan kartu undangan. Dante Painting Exhibition.
"Jadi, namanya Dante?" dalam hati Rose merasa suka dengan nama pria itu.
Ada sesuatu dalam suara dan tatapannya yang membuat Rose tidak kuasa menolak. Saat mereka berpisah di sana, Rose tahu, rindu itu baru saja mulai menunjukkan wujudnya.

Suasana pembukaan pameran lukisan cukup ramai, Dante mengedarkan pandangannya dengan gelisah. Hingga satu jam berlalu, sebuah senyum yang ditunggu terlihat jelas di pintu utama. Seolah menjadi point of interest dari keseluruhan isi ruangan. Mereka bergerak perlahan saling mendekati.
"My dear lovely Rose," berbisik Dante mendekatkan wajahnya, sebelum berjalan lambat mengiringi langkah gadis itu.
Rose hanya bisa terperangah. "Dari mana kamu tahu namaku?" tanya Rose sambil berusaha menekan rasa terkejutnya.
Dante tersenyum menggoda, "Maksud kamu My Dear Lovely itu?"
"Hahaha… bukan itu, tapi Rose," kejar Rose makin penasaran.
"Kamu penulis itu kan?" tanya Dante.
"Sebenarnya aku sudah mengenalmu sejak di pesawat."
Rose membelalakkan matanya, merasa dipermainkan.
"Aku menikmati tulisanmu," kata Dante penuh hormat sekaligus senyum menggoda di ujung bibir melumerkan kemarahan Rose.
"Seperti dalam lukisan, gaya kamu menulis lebih ke realism. Kamu sangat peduli dengan semua detail yang mengambarkan suasana. Lingkungan keseluruhannya kamu gambarkan dengan sangat nyata seperti seorang pendongeng yang lihai, membuat orang ikut hanyut masuk ke ruang yang kamu gambarkan. Sedangkan aku, aku lebih ke ekspresionis, melepas semua rasa, emosi. Lihat lukisan ini, memperlihatkan brush stroke yang sangat kuat namun indah. Menari- nari dengan anggun, tapi juga tanpa melupakan emosi."
"Kamu adalah nyata, aku ekspresif, tapi dunia sekeliling kita impresionis, blur. Lihatlah sekeliling kamu, kamu akan mengerti."
"Jadi, My dear lovely Rose, maukah kamu membuat background itu nyata dengan kekuatanmu?"
"Hahahahaha… Dante, beginikah kamu jalani hidupmu?" Rose tertawa geli. "Merayu setiap wanita yang kamu kenal?"
"Kamu bukan bagian dari kata "setiap wanita" itu. Kamu adalah istimewa, membaca ceritamu seperti juga mengenali setiap sel yang membentuk dirimu."
"So, apa yang ingin kamu perlihatkan padaku?" Rose mengalihkan dengan cepat topik yang membuat wajahnya menghangat sejenak.
Dante memandangnya tajam, sekian detik.
"Kamu benar-benar ingin tahu?"
"Well, untuk itulah aku datang. Atau itu juga merupakan tipu muslihat lain?"
"OK, ada kelemahanmu dalam menulis. Selalu kutemui dalam tiap ceritamu. Mari aku tunjukkan," katanya sambil mengamit lengan Rose mendekati sebuah lukisan di sudut ruangan.
"Kamasutra judul lukisan ini, coba kamu perhatikan. Katakan, apa yang kamu rasakan."
Sebuah sensasi dari gairah, dengan warna-warna hangat mengangkat kuat emosi dari kedua subyek yang bersenggama. Sangat ekspresif sekaligus juga sangat puitis. Tidak cuma gairah yang meledak-ledak, ada kelembutan. Darah Rose berdesir membayangkan adegan dari lukisan yang terpampang di hadapannya. Sejenak dia terbawa masuk dalam gairah aneh yang timbul dari lukisan itu. Ada kehangatan menjalar di bagian belakang lehernya, menambah getar halus, membuatnya menggeliat sejenak, mendongakkan kepalanya, memejamkan mata, berusaha menerima lebih banyak kehangatan, kemudian membiarkannya menyebar, menerobos memasuki setiap syaraf tubuhnya.
Dante berdiri rapat di belakangnya. Nafasnya berat menyapu leher jenjang Rose. Telapak tangannya meremas lembut jemari lentik gadis itu, memberikan kehangatan lain. Tanpa sadar, Rose balik meremas.
Tiba-tiba Rose tersentak sadar, ketika merasakan satu benda lunak menempel rapat di pantatnya. Seketika, bagaikan terlepas dari sihir, Rose membalikkan badannya dan mundur selangkah. Ingin memandang Dante dengan kemarahannya, tapi kehangatan itu masih tersisa begitu kuat memerahkan pipi. Sebaliknya ia hanya menundukkan kepala menutupi jengahnya.
"Begitu seharusnya kamu menuliskan keindahan persenggamaan," bisik Dante dengan kelembutan.
"Aku tidak bisa," Jawab Rose dengan perasaan yang tidak menentu.
"Tentu saja, jika kamu selalu menghindarinya. Atau kamu ingin aku mengajarimu lebih banyak?" senyum itu sedemikian nakalnya.
"Mari, kita keluar," ajaknya sekaligus melepaskan Rose dari situasi serba salah.
"Aku sudah cukup dengan keramaian ini, lagipula nampaknya kamu membutuhkan udara segar."
Berdua mereka berjalan menuju area kolam renang yang tersedia di Hotel tersebut. Kali ini, entah kenapa Rose membiarkan tangan Dante meraih jemarinya. Membimbingnya menuju ke sebuah balkon di satu sisi kolam itu.
Aroma senja mulai merebak. Sinar matahari lembut keemasan di ujung barat jatuh menimpa riak air kolam yang kebiruan, mengundang sensasi sejuk dan tenteram bagi mata mereka berdua. Angin semilir yang malu-malu menggelitik, sedikit basah membawa pesan akan datangnya hujan. Sesekali gemericik air yang jatuh dari mulut sepasang singa batu di kepala kolam membuat teduh suasana. Hanya dibatasi oleh pagar kecil dengan sejurus jembatan mungil yang melintasi balkon adalah bagian dari kamar yang ditempati Dante.
"Keindahan senja ini bisa kunikmati setiap hari, tapi tidak dirimu. Nggak keberatan kalau kita bicara di dalam? Terlalu banyak angin disini."
Rose mengamati Dante, sebelum memutuskan untuk mengikuti ajakannya. Perlahan melangkah menyusuri jembatan sempit dengan balutan tangan Dante dalam genggamannya. Ada rasa lemas tak berdaya digenggam tangan sekuat itu.
Mereka tiba di depan sebuah bungalow yang pintunya berukir Jawa kuno berwarna coklat tua, sinar temaram kekuningan mengintip dari dalamnya. Agak ragu Rose mengulurkan tangan menyentuh pintu dan perlahan mendorongnya ke dalam. Aroma melati sayup menerpa indera penciumannya. Kaki telanjangnya melangkah melewati selasar bungalow yang menghubungkannya ke ruang utama. Lalu secepat kilat menyambar, Dante menyergap tengkuk Rose dengan satu ciuman. Hanya satu ciuman, ingin ditarik kembali sesudahnya tapi bibir Dante berhenti di tengkuk berbulu halus itu.Tak ada penolakan. Dante melingkarkan tangannya di pinggang ramping Rose, memeluk dari belakang. Rose terdiam, memejamkan matanya. Melihat reaksi itu Dante mulai bermain dengan lidahnya, menjelajahi setiap inci leher Rose, menyibakkan rambut yang jatuh menutupinya. Sejenak Rose terseret dalam buaian. Tangan Dante bergerak naik meremas lembut payudara Rose.
"Sebentar," tapi kemudian Rose mendorong Dante, membuatnya mundur beberapa langkah, terhenti oleh dinding.
"This is not right."
Dante cuma menatapnya sembari terus menebarkan pesona. Ia masih tegak berdiri, memandang tajam, membuat lutut Rose kian lemas dan bergetar.
"Oh God. What am I doing?" Rose tanpa sadar menggumam, sambil menyapukan kedua telapak tangannya melewati rambut tebalnya dengan remasan kuat.
Sekian menit, dua pasang bola mata mereka saling terkunci, tak mampu berpaling. Rose menggigit bibirnya. Lalu, bagaikan dua zat kimia bersatu dan membentuk letupan hebat… Cepat, setengah berlari mereka mendekat. Bibir mereka bertemu. Dante bergerak sangat agresif, bibir Rose lumat dalam kuluman panjang serta permainan lidah Dante. Nafas mereka berkejaran. Rose melenguh.
Kemudian mereka terdiam, hanya bibir mereka masih bersentuhan, menetralisir nafas yang hampir terputus. Tangan Rose bergerak nakal, turun mencari penis Dante.
"Hmmm…" senyum tersungging saat ia menemukannya keras terbungkus di balik celana. Dante bergerak pelan membuka kemejanya. Satu kancing yang tanggal, satu kecupan didaratkan Rose di dadanya. Lidahnya bermain bergantian di kedua puting Dante ketika seluruh kancing baju itu terbuka, sambil melepaskan celana Dante dengan kedua tangannya. Tubuhnya bergerak turun mengikuti celana Dante yang lepas, lidahnya berputar melingkar membelai perut Dante. Lalu berhenti.
Rose dalam posisi berlutut. Di depannya, Dante berdiri telanjang dengan penis mengacung. Sesosok naga menggeliat, memamerkan lidah apinya yang merah kekuningan di antara bulu yang cukup lebat itu. Mata Rose melebar kagum, bibirnya separuh membuka.
"You turn me on, Dante." Separuh terpejam dikecupnya tatto itu, sambil menggenggam penis Dante. Bibirnya bergerak turun dan mengulum lembut kedua buah zakarnya bergantian, penuh kenikmatan.
"Lembut, Dante… So delicate… I like them in my mouth……" Rose berbisik separuh mengigau. Hasratnya meninggi merasakan gesekan buah pelir Dante di antara lidah dan bibirnya. Lama… dan perlahan. Puas dengan itu, lidah Rose menyapu naik sepanjang penis, berulang-ulang.
"Uuuhhhh… keras sekali…" Mulutnya menceracau, merengek, separuh menangis, mengeluskan ke wajahnya penis Dante yang menegang merah tua, pucuk penisnya berkilat dengan setetes cairan kenikmatan. Ia memandang sejenak reaksi Dante. Mata mereka bertemu. Rose tersenyum dan melepaskan satu sapuan lidah yang panjang di situ, sebelum akhirnya bergerak cepat menghisap.
Tiba-tiba Rose berdiri, mendorong tubuh Dante ke atas ranjang dengan posisi terlentang. Bertumpu pada kedua sikunya, Dante memandang Rose yang bergerak nakal, sensual gerakannya. Melepas satu-satu pakaiannya. Menggoyangkan pinggul seksinya. Menggoda sejenak saat hanya bra dan celana dalam yang tersisa.
Kemudian dengan cepat dilepaskan juga bra-nya namun dengan ditutupi oleh telapak tangannya. Segera dia bergerak naik ke atas tubuh Dante, menyembunyikan wajahnya yang terlanjur memerah.
"Duhhh, malu…," ia berbisik setengah tertawa.
Direngkuh mesra tubuh telanjang itu oleh Dante.
Dielus sebentar, menenangkan.
Hanya rasa yang bicara.
Rose menyunggingkan sebentuk senyum.
Mengingat kenakalannya tadi.
Perlahan Dante bangkit, membalikkan tubuhnya, mencium mesra bibir gadis itu. Dirasakannya gerakan bibir Rose membentuk seulas senyum dalam tangkapan mulutnya. Tak tahan ia segera melepas ciumnya dan memandangi wajah yang sedang tersenyum manis itu. Membuatnya ikut tersenyum.
"Napa senyam-senyum gitu?"
"Oh, Dante... Kamu jangan berpikir kalau aku seperti itu. Godaan yang kamu tebarkan terlalu berat untuk diacuhkan."
"I know," bisik Dante.
Dikecup lembut bibir yang bergetar itu, "Aku suka gaya kamu, not bad at all."
"Iya, tapi…"
"Ssstt, jangan…" Dante menyergap bibirnya yang separuh terbuka. Lebih mesra.
Remasan lembut di payudaranya. Lidah Dante bergerak menggelitik, bermain sejenak di leher, berputar perlahan di telinganya. Lembab dan basah, ketika jari Dante sampai di belahan vaginanya.
"Hmm…" perlahan Dante menarik turun celana dalam Rose yang telah bergurat basah. Jarinya mulai menari-nari di clitnya yang menegang. Rose menggeliat.
"Dan… Dante……" Rose mendesah saat dirasakannya kelelakian Dante membelai bibir vaginanya. Perlahan Rose melebarkan kedua tungkainya. Penis Dante menusuk cepat saat menemukan jalannya, agak tertahan setengahnya.
"Akkkhhh… Ssshhhhh…" Rose mendesis, liang kehangatannya mengejang sesaat, matanya terpejam rapat. Dante menarik sedikit penisnya, kemudian menekan sekali lagi untuk menyempurnakan penetrasinya. Saat membuka matanya kembali, Rose menemukan tatapan Dante menghujam dalam ke relung hatinya. Hanya mata mereka yang bicara. Percik gairah makin sempurna bermain di sana. Gairah yang meninggi dari perasaan yang lebih intim, keinginan untuk peduli dan memiliki. Dan itu mengakhiri kediaman mereka.
"Rose… bagaimana tidak kucintai dirimu," bisik Dante. Rose memejamkan mata, menekan emosinya saat mendengar ucapan Dante. Namun tetap saja air mata merebak, memenuhi rongga matanya. Kali ini tangis kebahagiaan menyergap, lepas, mengalahkan semua perasaan lain. Rose melingkarkan kedua lengannya di leher Dante, memeluk erat. Diantara isaknya Rose menciumi setiap bagian wajah Dante.
"I love you too Dante."
Sementara Dante masih menatap mesra wajah Rose, membelai pipinya, meletakkan jari telunjuknya dan bermain di bibir mungil Rose.
Rose tertawa di antara tangisnya, "Kamu nakal Dante. Bagaimana kamu bisa membujukku sampai berada di sini?" tanya Rose tak mempercayai keadaan mereka saat itu.
"Berada di mana? Maksud kamu berada di bawahku seperti saat ini?" Dante masih menggoda dengan nakalnya.
Rose jengah memikirkan dirinya telanjang dalam dekapan Dante yang memasuki tubuhnya. Rona merah mewarnai mukanya. Dan itu membuat Dante makin tertawa lebar.
"Hush… suka ya lihat Rose jadi malu begini, tadi bikin nangis juga."
"Kamu memang pintar bermain dengan perasaan orang, pasti sudah banyak yang berhasil kamu bawa ke sini," ia merajuk dengan pertanyaan klise.
"Rose, tanyakan pada dirimu sendiri. Tidakkah kamu merasakan kalau ini sangat alami. Rasa saling tertarik itu begitu kuat. Bahkan aku merasa kalau kita memang diciptakan untuk saling memiliki."
"Kamu serius dengan itu?" mata Rose mencoba mencari jawabannya. Dipandangnya reaksi Dante.
"Lihat ke dalam mataku, Rose sayang. Kamu akan menemukan jawabannya."
Sekali lagi Rose memeluk erat, lebih hangat, oleh kepercayaan yang perlahan mulai tumbuh. "Tak perlu Dante, aku mencintaimu, aku percaya padamu." Api itu memanas lagi, memaksa Dante mulai menggerakkan pinggulnya perlahan, berputar putar sambil sesekali menekan kuat. Rose menggeliat, mengejang, mendesah, merintih… Saling mengisi, saling menyentuh. Malam mulai pekat, lamat-lamat alunan gamelan Jawa menyapa udara. Mendung yang sore tadi menggelayut kini menghitam, desau angin makin kencang dan akhirnya membawa tetes air hujan. Gerimis pada awalnya sebelum lambat laun menjadi hujan lebat. Daun jendela kamar Dante bergemeretak diserbu angin. Desahan dan erangan sepasang anak manusia itu memenuhi ruangan. Membangun perlahan gelombang demi gelombang kenikmatan. Rose menggeliat lebih cepat. Dante melingkarkan tangan kanannya di bawah pinggang Rose. Sedikit mengangkat pinggulnya sambil menghujamkan penisnya sedalam mungkin. Berputar, kemudian menarik penis kearah atas. Mengelus klitorisnya dalam tarikan keluar masuk.
"Kamu bisa menikmatinya Rose? Jangan ditahan… Biarkan badai itu datang," bisik Dante sambil menjilati bagian kuping Rose. "Aku ingin membahagiakanmu, memuaskanmu, biarkan orgasme itu datang sebanyak mungkin."
Dante bangkit dengan posisi duduk bersimpuh, kedua telapak tangannya menarik pinggul Rose merapat. Menekan penisnya keras kearah bawah. Hingga tekanan ke klitoris semakin kuat, sentuhan dan gesekan semakin intens dengan goyangan cepat. Pinggul Dante maju mundur.
Rose menggeliat tanpa mendapatkan tubuh Dante. Tangannya bergerak menggapai setiap yang tersentuh oleh tangannya. Mencengkeram kuat pada sprei.
"Hhhh… Sssshh… Danteee…" makin tinggi diangkatnya pinggulnya yang berada dalam topangan tangan Dante. Digoyang-goyangkan seperti lepas kendali.
"Akkkkkhhhhh…" Tubuhnya mengejang. Kedua pahanya menjepit keras pinggang Dante.
Sekian detik, akhirnya tubuhnya bagaikan kehilangan rasa, terkulai lemah. Nafasnya memburu. Masih menggeliat lemah, Rose melepaskan penis Dante dari vaginanya. Bergerak pelan menggulingkan tubuhnya, memunggungi Dante. Bertumpu pada siku tangannya. Rose mengangkat pinggulnya, menahannya dengan kedua lututnya.
"Dante…," tangannya menggapai ke belakang mencari. Dante mengulurkan tangan, menerimanya, meremasnya dengan sayang. Mendekati wajah Rose yang menengok kepadanya. Memberikan sebuah ciuman teramat mesra.
"Masuki aku Dante, kamu belum kan sayang?" bisiknya lembut, masih gemetar oleh serbuan badai orgasme yang baru dialaminya. Sebuah ciuman lagi buat Rose, sebelum dia mundur, lalu berlutut di belakangnya, siap untuk memasuki.
Dielus dengan lembut kedua buah pinggulnya, lebar, indah. Dikecup sejenak keindahan itu. Memainkan jarinya di sekitar klitoris, mengusap naik dengan ketiga jari sekaligus. Hingga mencapai lubang anus, jari tengah Dante bermain di permukaannya. Kembali mendekatkan kelelakiannya pada bibir bawah yang basah mengkilat itu. Menekan lembut, keluar masuk beberapa kali sebatas kepala penis saja. Hingga kesabaran Rose tergoda. Ia mengulurkan tangan ke belakang menjangkau pinggang Dante, menariknya kuat. Cukup kuat penis itu menerjang masuk, bertahan sebentar di dalam, berdenyut-denyut, kembang kempis dipermainkan oleh Dante.
Akhirnya Dante mulai bergerak memompa dengan irama konstan, sebelum makin cepat… makin cepat… Tubuh Rose terguncang-guncang oleh koyakan Dante yang menerjang masuk dan keluar. Ia berteriak, merintih, mendesah hebat, mendongakkan kepala, menggelepar. Mengejang sebentar, kemudian menjatuhkan kepalanya ke ranjang. Berusaha bertahan dari serbuan kenikmatan yang mendesak datang dalam hitungan detik. Tangannya mencengkeram kuat pada sisi pinggir ranjang.
'Akkkhh… Dannn…" Rose menggigit bantal tempat dia meletakkan kepala. Menggeleng kuat pada puncak ekstase, melemparkan bantal yang digigitnya saat dia harus berteriak keras. Ekspresi wanita dalam puncak kenikmatan dunia, salah satu pemandangan terindah di mata Dante. Keindahannya mengisi penuh jiwa Dante yang haus, membuatnya makin terstimulasi. Perlahan ia bergerak meluruskan kedua kakinya, untuk mendapatkan gerak yang lebih leluasa. Setengah berdiri dengan posisi kuda-kuda, diangkatnya pinggul Rose lebih tinggi. Semua sisa tenaga Dante yang terakhir akan dipertaruhkan di sini. Bergerak cepat, menggoda kembali kenikmatan yang belum sepenuhnya tuntas meninggalkan Rose saat orgasme tadi. Sebentar saja, Rose kembali menggeliat. Antara kenikmatan yang mendera, serta keinginan untuk menyerah, juga untuk membahagiakan Dante. Belum pernah Rose merasa ingin melewati batas kemampuannya. Tapi ini adalah yang pertama, keingintahuan tentu lebih dominan. Keinginan menikmati sensasi yang melewati batas yang mungkin diterima oleh tubuhnya. Melayang oleh desakan orgasme, mengejang sesaat.
Reaksi tubuh Rose disambut Dante. Dipersiapkannya orgasmenya sendiri. Bertahan dengan sperma yang menerjang menumpuk dalam rongga kejantanannya. Bertahan dengan nafas yang makin tersengal.
"Aaaahhh…" Dante mendesah berat, saat dia melepaskan pertahanannya. Saat bersamaan ia melihat Rose mengejang dalam desisan panjang. Segera kepala Dante terasa melayang, membuatnya terdongak kebelakang, mencari udara sebanyak mungkin. Diisinya dadanya penuh-penuh oleh oksigen dalam jumlah besar yang sesaat tadi hilang.
Perlahan Dante menjatuhkan tubuhnya menindih tubuh Rose yang lebih dulu terkulai. Dengan kelelahan yang mendera tubuhnya, dia tersenyum memandang Rose, yang maskara hitamnya meninggalkan noda di bawah mata. Dahinya berkilat oleh keringat dan rambutnya terburai liar di atas bantal. Dielusnya tubuh kekasihnya, mesra.
Bergerak Dante meraih bungkus rokoknya. Dinyalakannya satu untuk Rose, satu untuk dirinya. Hujan telah lama reda, alunan gerimis tinggal satu satu menitik di lantai batu teras bungalow. Udara sejuk dengan bau tanah basah dan dedaunan yang baru tersiram air.
Rose masih memandangnya, "Dante, I`m a married woman."
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerita Dewasa / Cerita Seks dengan judul Cerita Dewasa - Another suitcase in Another Hall. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://belajartrikjitu.blogspot.com/2011/12/cerita-dewasa-another-suitcase-in.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Monday 5 December 2011

Belum ada komentar untuk "Cerita Dewasa - Another suitcase in Another Hall"

Post a Comment